Ribut-Ribut Soal Komite OSIS Nasional, Ada Apa?

Oleh
Iskil Fatih
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 6 Mnt
(Ilustrasi)
(Ilustrasi)

Sinetron itu Bernama Komite OSIS Nasional, Ketika kebodohan diformalisasi dan etika dikubur hidup-hidup seolah belum cukup dunia pendidikan Indonesia dipermalukan oleh drama gelar palsu, guru cabul, dan kepala sekolah korup, kini panggung kebodohan diambil alih oleh sebuah entitas bernama Komite OSIS Nasional.

Bayangkan, organisasi pelajar yang katanya mewakili suara siswa se-Indonesia, justru menjadi cermin paling memuakkan dari kegagalan moral dan intelektual bangsa. Mereka mencatut logo Pramuka seenak jidat, menggelar kegiatan abal-abal, dan saat ditegur? Bukannya minta maaf, malah berlagak sok jago di Instagram.

Komentar yang mereka tulis seperti diketik oleh bocah tolol yang baru kenal internet—“Anjai, numpang tenar kah?”—apa ini? Debat pelajar atau keributan di kolom komentar akun gosip?

Kebodohan yang mereka pertontonkan tidak berhenti pada sekadar konten, melainkan menjalar sampai ke serangan pribadi bernada rasis dan kedaerahan yang menjijikkan. Seorang aktivis muda Pramuka dihina hanya karena berasal dari Madura dan PMII—apakah ini level intelektual pemimpin pelajar sekarang? Sudah tidak tahu aturan, tidak tahu etika, dan kini juga tidak tahu malu.

Komentar seperti, “Untuk awakmu anake wong Duro lih,” bukan hanya tolol, tapi juga memperlihatkan betapa dangkalnya otak yang mengendap di balik akun @komiteosis_nasional. Ini bukan lagi kelalaian, ini penghinaan terstruktur yang dibungkus dalam kebodohan kolektif.

Ketika publik meminta klarifikasi, mereka malah bermain api dengan menyalakan bensin. Alih-alih menampilkan sikap ksatria layaknya pelajar terdidik, mereka memilih bersembunyi di balik arogansi digital dan komentar nyinyir. Sudah salah, malah ngegas.

Sudah mencatut nama institusi resmi, malah bacot di medsos. Kalau begini, kita layak bertanya: apakah mereka benar-benar pelajar, atau cuma badut-badut putus sekolah yang dibungkus jas almamater? Tindakan mereka memperlihatkan satu hal: bangsa ini sedang sakit keras jika kebodohan seperti ini tidak ditertibkan sejak dini.

Skandal makin busuk saat terkuak bahwa ketua Komite OSIS Nasional, seorang bernama H. Ahmad Wahyu Saputra, S.IP, M.H., MM., M.IP.—panjang banget gelarnya, tapi sayangnya semua kemungkinan besar palsu—tidak tercatat di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti). Gila nggak sih? Gelar segambreng tapi tidak ada satu pun yang bisa diverifikasi.

Ini bukan lagi sekadar manipulasi, ini bentuk penipuan publik secara terang-terangan. Dunia pendidikan sedang dijadikan panggung stand-up comedy oleh para penipu berkedok pelajar. Dan tidak cukup sampai di situ. Si empunya gelar palsu ini juga mengaku sebagai Ketua Umum DPP Komite OSIS Nasional periode 2020–2026, dan lebih konyol lagi, mengklaim ditunjuk langsung oleh Presiden Jokowi.

- Advertisement -

Kita perlu tanya balik: Jokowi yang mana? Jokowi di dunia nyata atau Jokowi versi halusinasi dalam lamunan si penipu ini? Gaya megalomania murahan seperti ini hanya bisa lahir dari otak yang setengah matang, dididik bukan untuk berpikir, tapi untuk ngibul demi panggung kosong. Bangsat betul kalau dunia pendidikan dijadikan lahan pencitraan selebritas karbitan semacam ini.

Aktivis Pramuka, Moh Iskil El Fatih, dengan garang membongkar semua kepalsuan ini. Lewat penelusurannya, semua gelar Ahmad Wahyu dinyatakan tidak ditemukan—alias fiktif. Titik. Tidak ada ruang untuk penafsiran. Dan jika benar klaim tersebut palsu, maka itu bukan hanya melanggar norma akademik, tapi juga menabrak Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Ini penipuan, ini kejahatan. Dan mereka harus mempertanggungjawabkannya di depan hukum, bukan cuma di depan kamera saat konferensi pers murahan.Kegiatan “Pendidikan Kader Pramuka Bela Negara” yang diselenggarakan Komite OSIS Nasional pun jadi bukti betapa organisasi ini beroperasi tanpa otak dan tanpa izin.

- Advertisement -

Mencatut nama Pramuka tanpa restu Kwartir Nasional adalah tindakan sembrono yang bisa dijerat dengan pasal pidana. Tapi seperti biasa, alih-alih minta maaf, mereka memilih diam sambil berharap netizen lupa. Maaf, Bung, netizen sekarang bukan bodoh seperti yang kalian kira. Publik makin cerdas, dan kalian hanyalah lelucon usang yang sebentar lagi tamat masa tayangnya.

Apa yang bisa kita simpulkan dari semua ini? Dunia pendidikan kita sedang digerogoti oleh makhluk-makhluk oportunis yang memanfaatkan struktur kelembagaan demi pencitraan. Komite OSIS Nasional, dalam kasus ini, bukan lagi representasi siswa, melainkan representasi pembodohan sistemik.

Mereka bukan pelajar masa depan bangsa, tapi penumpang gelap yang sedang mengangkangi cita-cita pendidikan nasional. Dan selama negara masih diam, selama lembaga pendidikan masih bungkam, kita akan terus disuguhi tontonan memalukan macam ini: pemuda-pemuda yang lebih piawai memalsukan gelar ketimbang membaca buku.

Sudah cukup kita dibodohi. Sudah cukup nama-nama besar seperti Pramuka, Presiden, dan Kementerian dicatut tanpa izin. Sudah cukup pendidikan dijadikan panggung sirkus oleh segerombolan badut yang bahkan tidak tahu malu. Jika negara masih punya nyali, saatnya membersihkan sampah ini dari dunia pendidikan.

Dan jika hukum masih punya taring, inilah saatnya menggigit. Karena bangsa yang membiarkan kebodohan berkuasa adalah bangsa yang sedang menggali kuburnya sendiri—dengan sekop bernama apatisme dan semen bernama pembiaran.

Di tataran ini sudah begini, apa kabar di level atas, makin busuk lagi kah?

NB: Tulisan ini bersifat opini, anda boleh menjawabnya melalui tulisan juga.

Topik:
Share This Article