jfid – Gapura Timur adalah desa saya, meski KK saya sudah Andulang. Baru kali ini saya melihat protes dikemas dengan cara yang santun.. saking santunnya pemerintah tidak mungkin ngeh kalau tidak saya tulis jadi artikel ini.
Gotong royong adalah solusi sejuta umat ketika infrastruktur desa terabaikan, begitu kira-kira komentar teman saya yang disebut Jalaluddin dalam diskusi warung kopi kala itu.
Kali ini, warga dusun Dik-kodik memutuskan untuk menggelar aksi swadaya memperbaiki jalan utama menuju Madrasah Al-Huda.
Saya tahu, yang mungkin tuan tidak tahu, Al-Huda punya segudang prestasi dari tingkat kecamatan hingga Internasional.
Namun prestasi ditingkat desa adalah gotong royong ini. Setuju? Bukan untuk pertama kalinya mereka berjuang sendiri, dan sepertinya juga bukan yang terakhir.
Sejak saya sekolah dulu, kira-kira abad 21 milenium ketiga, kerikil dan lubang sudah jadi pemandangan biasa dam motor sudah bergetar-getar seperti kesetanan ketika melaluinya.
Kini, 2024. Akhir dari dinasti Jokowi, dimana era dana desa dan birokrasi yang yaaa begitulah, mereka memilih jalur ninja: dua sak semen dan kerja lembur malam hari, memperbaiki jalan yang kemudian bisa dicap sebagai barokah.
Jangan baca sampai selesai, nanti makin tersinggung. Tersinggung berarti…
Mari sejenak kita tengok aturan main yang ada. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024, desa memiliki wewenang besar dalam mengelola wilayahnya, termasuk infrastruktur.
Sementara itu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145 Tahun 2023 menjabarkan secara rinci bagaimana dana desa seharusnya dikelola dan digunakan.
Tuan-tuan lebih tahu aturannya, saya tidak perlu menggurui. Apalah saya, di tengah orang-orang terhormat di desa ini.
Tuan-tuan boleh berkata, “Kalau cuma bicara, siapapun bisa”. Dan jujur, saya tidak ada dalam daftar orang yang ikut kerja bakti perbaiki jalam tersebut.
Tuan tentu setuju, seperti kertas LPJ, berteori di atas kertas terlihat ciamik, memang, dan, prakteknya sering kali bagai mimpi di siang bolong.
Bayangkan saja, dana desa yang diharapkan mengalir lancar ternyata lebih sering tersendat. Tak heran jika warga dusun Dikkodik memutuskan untuk tidak menunggu (itupun kalau ada yang ditunggu)
Kalau menunggu dana cair, mungkin jalan rusak ini sudah berubah jadi lubang neraka. Maka, Luthfi dan Faridi menggalang kekuatan untuk aksi jalan malam hari yang lebih dramatis dari sinetron Jailangkung.
Pada malam yang tidak biasa, tanggal 30 Juni 2024, sekitar pukul 23.00, Luthfi dan Faridi mulai bekerja dengan semangat yang lebih panas dari terik matahari siang. Berbekal dua sak semen, mereka mulai menambal jalan di depan rumah mereka.
Aksi yang sederhana, namun sangat berarti. Malam kedua, semangat mereka menular, warga lain pun bergabung membawa sumbangan. Meski mungkin mereka uangnya pas-pasan atau bahkan harus mengutang untuk jajan anaknya besok.
“Awalnya saya hanya berniat memperbaiki di depan rumah saya dan Faridi karena rusak parah. Beberapa hari lagi ada acara Pawai Ta’aruf santri Al-Huda yang kebetulan akan melalui akses ini. Alhamdulillah di malam kedua sumbangan dari masyarakat yang lain mulai berdatangan, hingga kami mampu memperbaiki beberapa titik yang rusak parah di sepanjang jalan ini secara swadaya,” ungkap Luthfi.
Namun, usut punya usut, ada bumbu lain yang menambah rasa dalam cerita gotong royong ini. Ternyata, kisah perbaikan jalan ini tidak lepas dari konflik Pilkades yang baru-baru ini (eh dulu ding) memanas.
Desa Gapura Timur terpecah menjadi dua kubu: pendukung calon kepala desa petahana (stuck leader) dan pendukung calon baru yang ingin perubahan radikal (juga katanya, sih).
Jalan yang rusak parah ini sempat menjadi simbol tarik ulur kekuasaan di tingkat desa. Siapa sangka, perbaikan jalan bisa jadi ajang unjuk kekuatan politik? Tapi saya kira, hanya murid bu Sus di TK yang bisa bersikap dengan egosentrisme yang belum dewasa.
Luthfi dan Faridi, yang kebetulan berada di kubu oposisi, mungkin merasa bahwa menunggu pemerintah desa saat ini untuk memperbaiki jalan adalah buang-buang waktu.
Ah, saya tidak yakin anda bisa membaca sampai di tulisan ini. Masih baca? lanjutkan sampai selesai, dan sikapi dengan cara santri yang berakal, bukam dengan cara bar-bar seperti Tsar Nicholas II.
Alih-alih meratapi nasib, mereka memilih untuk menunjukkan bahwa tindakan nyata lebih berharga daripada janji manis kampanye. Sebuah langkah yang, meskipun terpaksa, berhasil menyatukan warga di tengah konflik batin yang ada.
Swadaya ini adalah solusi kreatif namun juga refleksi dari keputusasaan. Bayangkan, di era digital dan katanya dana desa melimpah, warga masih harus gotong royong di malam hari dengan modal seadanya.
Permendesa PDTT No. 7 Tahun 2023 memang sudah mengatur prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan dan pemberdayaan.
Tapi, kenyataannya? Prosesnya lambat dan berbelit-belit alias geniko lambe’ pon, seperti menunggu jodoh yang tak kunjung datang.
Di akhir cerita, tapi bukan penutup, kisah warga dusun Dikkodik ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Mereka membuktikan bahwa dengan kemauan dan sedikit kreatifitas, jalan rusak bisa diubah menjadi layak pakai.
Tapi, apakah warga harus terus-menerus bekerja keras memperbaiki infrastruktur yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah? Tentu tidak.
Harapan kita semua, semangat gotong royong ini tetap ada, tapi bukan karena terpaksa. Warga desa seharusnya bisa menikmati hasil kerja keras mereka, bukan terus-menerus menambal lubang yang ditinggalkan oleh ketidakberesan birokrasi.
Apakah para petinggi akan mulai bertindak lebih cepat? Atau ini hanya akan menjadi episode berikutnya dari sinetron panjang perjuangan warga desa?
Jadi, mari kita angkat topi untuk warga dusun Dikkodik. Semoga semangat mereka menginspirasi kita semua dan menjadi pengingat bahwa gotong royong adalah kekuatan kita.
Tapi ingat, gotong royong bukan solusi permanen untuk masalah yang seharusnya bisa diatasi dengan kebijakan dan implementasi yang lebih baik.
Kepada tuan yang duduk di atas sana, maaf, anak muda seperti kami bisanya hanya menulis dan mengabadikan sejarah. Sebab dalam politik dan kekuasaan, anak muda tidak diberikan ruang meskipun dikasih tempat.
Demikian kura-kura. old mind maha benar.