jlk – Kita semua adalah anak-anak tanah ini, yang menggantungkan hidup pada setiap helai daun yang terhembus angin, pada setiap tetes air yang mengalir di sungai-sungai kecil desa kita.
Ada sesuatu yang tak bisa diingkari, sesuatu yang sering kali kita sembunyikan di balik doa-doa panjang dan seremonial agung yang penuh makna suci: kita adalah pelaku dosa lingkungan yang kian hari kian merajalela.
Di desa-desa yang bernafas Nahdiyin, di mana setiap orang bangga menyebut dirinya bagian dari Nahdlatul Ulama, kita menemukan paradoks yang mencengangkan—kebanggaan yang terpatri dalam iman, namun terbelenggu dalam kebiasaan yang menodai tanah tempat kita berpijak.
Mari kita ambil contoh sederhana, sebuah desa kecil di pelosok Sumenep, tepatnya di Andulang, Gapura. Pagi itu, ketika suara azan memanggil untuk shalat Jumat, seorang penduduk—mungkin Anda sendiri—berjalan menuju masjid. Langkah demi langkah di jalan setapak itu, ia dihadapkan pada tumpukan sampah yang berserakan di jurang-jurang kecil, yang oleh masyarakat setempat disebut battungan.
Di sinilah, antara aroma debu jalanan dan bau menyengat plastik terbakar matahari, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: tumpukan sampah ini bukan sekadar sampah, melainkan simbol dari ketidakpedulian yang semakin dalam mengakar.
Di depan rumah Anda sendiri, di sebuah kubangan yang sudah menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga, tumbuh tiga batang pohon pisang yang malang. Di tengah pusaran sampah yang mengitari akar-akarnya, pohon-pohon ini berdiri seolah-olah menjadi saksi bisu atas pertengkaran kecil Anda dengan mertua—bukan tentang apa-apa, tetapi tentang siapa yang paling berhak membakar sampah di sana.
Api yang berkobar dalam insiden kecil ini, jika ditafsirkan lebih dalam, adalah cerminan dari api yang lebih besar, api ketidakpedulian yang menghanguskan tanggung jawab kita terhadap bumi. Di sini, kita melihat bukan hanya kebakaran fisik, tetapi juga kebakaran moral yang sulit dipadamkan.
Lanjutkan perjalanan ke masjid, dan tak jauh dari pertigaan menuju madrasah Ruhul Islam, Anda akan menemukan battungan lain yang sama menyedihkannya. Di bawah pohon-pohon jati yang menjulang, tumpukan sampah bertambah setiap harinya, menjadi bukti nyata dari siklus kebiasaan buruk yang tak pernah benar-benar dipecahkan.
Bagaimana mungkin kita berharap pohon-pohon ini terus hidup, jika akar mereka diracuni oleh limbah plastik dan kertas yang tak pernah bisa terurai? Bahkan, di depan kantor BMT yang sering dijadikan pusat kegiatan masyarakat, sampah berserakan, menguarkan bau busuk yang menusuk hidung, seolah-olah menggugat kita semua—ke mana perginya tanggung jawab yang kita nyanyikan dalam setiap acara pengajian?
Inilah potret keseharian kita, masyarakat Nahdiyin, yang dikenal sebagai penjaga tradisi dan moralitas. Ironi muncul ketika di setiap acara pengajian, nikahan, atau haflatul imtihan, setelah keramaian usai, yang tersisa hanyalah sampah.
Serpihan kertas, plastik bekas botol air mineral, hingga bungkus makanan berserakan di lapangan, seolah-olah menjadi saksi bisu dari seruan-seruan moral yang baru saja disampaikan oleh para kyai.
Begitu suci dalam kata-kata, namun begitu kotor dalam tindakan. Bukankah ini suatu paradoks yang sulit ditelan? Ketika kita berbicara tentang surga, apakah kita pernah memikirkan tentang bumi yang kita tinggalkan dalam keadaan tercemar?
Kita sering mendengar para kyai berbicara tentang pentingnya menjaga hati, tentang bagaimana membersihkan jiwa dari noda-noda dosa, tetapi hampir tidak pernah kita mendengar seruan yang sama kerasnya tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Padahal, bukankah kebersihan itu sebagian dari iman?
Kita begitu terobsesi dengan kebersihan rohani sementara kita membiarkan kebersihan jasmani kita tercoreng oleh sampah yang kita hasilkan setiap hari. Mungkin, kita telah terjebak dalam dualitas yang menyesatkan, di mana kita memisahkan antara yang spiritual dan yang material, seolah-olah satu bisa ada tanpa yang lain.
Seharusnya kita bertanya lebih dalam: Apa artinya menjadi seorang Nahdiyin, jika kita tidak mampu menjaga kebersihan lingkungan kita sendiri? Percuma kita mengaku sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama, jika kita membiarkan lingkungan kita tenggelam dalam sampah.
Percuma kita berbicara tentang surga, jika kita tidak bisa menjaga bumi ini tetap layak untuk dihuni. Bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk anak cucu kita yang akan datang. Apakah kita ingin meninggalkan dunia yang lebih baik, atau kita justru akan meninggalkan dunia yang penuh dengan sampah yang tak bisa terurai?
Mungkin sudah saatnya kita memaknai kembali ajaran kebersihan dalam Islam, bukan hanya sebagai sesuatu yang bersifat personal, tetapi juga sebagai sesuatu yang bersifat sosial dan lingkungan.
Kebersihan bukan hanya tentang bagaimana kita menjaga tubuh kita tetap suci, tetapi juga bagaimana kita menjaga lingkungan sekitar kita tetap sehat dan bersih. Kita perlu bergerak dari sekadar wacana, dari sekadar ceramah, menuju tindakan nyata yang bisa kita lakukan bersama-sama.
Bayangkan jika setiap acara pengajian, setiap acara nikahan, setiap haflatul imtihan, diakhiri dengan tindakan bersama untuk membersihkan lokasi. Bukan hanya untuk meninggalkan tempat dalam keadaan bersih, tetapi juga sebagai simbol dari tanggung jawab kita sebagai umat Islam, sebagai Nahdiyin, terhadap bumi yang kita tempati.
Bayangkan jika setiap rumah tangga di desa-desa kita, mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar, memiliki kesadaran yang sama akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Ini bukan utopia, ini adalah sesuatu yang bisa kita capai jika kita mau bergerak bersama.
Sudah saatnya kita menggeser pandangan kita dari sekadar ritual menuju aksi. Sudah saatnya kita menyadari bahwa surga yang kita dambakan bukan hanya ada di akhirat, tetapi bisa kita ciptakan di bumi ini, sekarang, melalui tindakan-tindakan kecil yang membawa dampak besar.
Dan salah satu tindakan kecil itu adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan, dengan tidak membiarkan lingkungan kita tercemar oleh kebiasaan buruk yang telah lama kita biarkan tumbuh.
Kita perlu mengingat, bahwa ketika kita menjaga kebersihan lingkungan, kita bukan hanya menjaga kesehatan fisik kita, tetapi juga kesehatan spiritual kita. Kita sedang melaksanakan salah satu bentuk ibadah, bentuk pengabdian kepada Tuhan yang sering kali kita lupakan. Jangan biarkan sampah menjadi cerminan dari hati yang kotor.
Ketika kita bicara tentang surga, mari kita juga bicara tentang bumi. Ketika kita bicara tentang iman, mari kita juga bicara tentang tanggung jawab kita sebagai manusia. Karena pada akhirnya, iman tanpa tindakan adalah hampa. Dan surga tanpa bumi yang bersih adalah mimpi yang mustahil tercapai.
Mari kita mulai dari diri kita sendiri, dari rumah kita sendiri, dari desa kita sendiri, dan kita wujudkan bersama-sama surga di bumi ini. Mari kita buktikan bahwa menjadi Nahdiyin bukan hanya tentang identitas, tetapi juga tentang tindakan nyata yang menjaga keindahan dan kebersihan bumi ini. Sebab, percuma NU tapi jorok.