Lihatlah Jokowi, sang “orang baik” yang di awal kariernya dipuja sebagai pemimpin rakyat kecil. Seorang mantan pengusaha mebel, sederhana, merakyat, tanpa beban dinasti politik. Narasi ini dibangun dengan cermat—ikon orang baik yang muncul dari arus bawah, konon tak tersentuh oleh korupsi dan ambisi pribadi yang berlebihan.
Namun, kita semua tahu bagaimana cerita itu berakhir, kan? “Orang baik” ini, yang digadang-gadang sebagai pembawa angin segar di tengah kelesuan politik Indonesia, ternyata hanyalah komoditas lain di tangan oligarki.
Citra kesederhanaannya tetap terjaga di depan kamera, tapi di balik layar, para kapitalis tambang, pengembang properti, dan cukong besar merajut benang nasibnya dengan teliti.
Apa yang tersisa dari janji-janji perubahan itu? Tidak lebih dari sebuah etalase kosong—kebaikan yang terjebak dalam belitan kepentingan kelas atas.
Narasi Jokowi hancur persis karena ia terlalu percaya pada mitos “orang baik.” Mitos yang mengharuskan seseorang untuk bermain sesuai aturan, untuk tetap berada dalam koridor moral yang katanya mengikat semua pihak.
Ketika kekuasaan dipertaruhkan, aturan moral adalah benda yang paling pertama ditendang keluar jendela. Jokowi—dengan segala niat baiknya, mungkin—terseret dalam permainan yang terlalu besar baginya.
Alih-alih memotong jalur dan menghancurkan struktur kekuasaan lama, ia berkompromi, terjebak dalam labirin kekuasaan yang sudah sejak lama dikuasai oleh pemain-pemain lama yang jauh lebih kejam.
Akhirnya, dia hanya menjadi pion lain dalam narasi palsu yang membuat rakyat percaya bahwa orang baik masih bisa menang di dunia politik yang sudah busuk sampai ke tulang.
Maka dari itu, kenapa kita harus terus mempercayai narasi ini? Kita melihat bagaimana Jokowi, sang simbol kesederhanaan, berubah menjadi alat bagi para oligark. Kita melihat bagaimana upaya reformasi tenggelam dalam negosiasi, konsesi, dan persekongkolan dengan elite bisnis yang sudah mencengkeram negara ini sejak Orde Baru.
Apa yang tersisa dari janji-janji manis itu? Relokasi masyarakat kecil demi pembangunan infrastruktur yang dibiayai modal besar. Pelepasan tanah untuk tambang yang merusak lingkungan, semuanya atas nama “kemajuan.”
Orang baik, pada akhirnya, tidak lebih dari wajah bersih yang dipakai untuk menutupi transaksi gelap di belakang panggung.
Jokowi menjadi bukti hidup bahwa narasi “orang baik” sudah tidak lagi relevan di zaman ini. Ia dikurung oleh tuntutan untuk tetap terlihat bersih, padahal dalam dunia kekuasaan, siapa yang tetap bersih akan segera tenggelam dalam lumpur permainan politik.
Sementara itu, rakyat yang dulu menaruh harapan padanya kini hanya bisa melihat dari jauh, kecewa, dan tidak bisa lagi membedakan antara orang baik dan tiran yang bersembunyi di balik topeng kesederhanaan.
Itulah sebabnya kita perlu narasi baru, narasi pemimpin “jahat” yang tak gentar memotong simpul kekuasaan tanpa basa-basi.