Ayat al-quran yang bisa kamu baca secara terang benderang dengan mata melotot adalah Afala ta’qilun?” (Tidakkah kalian berpikir?), disitu bukan tertulis “Apa kamu sudah ke dukun?”.
Islam, agama yang konon katanya sempurna, malah dipenuhi umat yang sibuk dengan ritual tradisional tanpa guna, mistifikasi budaya yang basi, dan sikap jumud yang memalukan. Apa yang terjadi dengan klaim “kalian adalah umat terbaik”? Jika ini yang terbaik, maka umat Islam jelas perlu bercermin, atau lebih baik lagi, bertanya apakah mereka benar-benar memahami ajaran Islam itu sendiri.
Satu hal yang jelas: umat ini butuh perubahan radikal—sekarang juga. Tidak ada ruang untuk sentimentalitas atas tradisi yang sudah tidak relevan. Mistifikasi harus dihancurkan, logika mistik harus dipreteli, dan fokus harus diarahkan pada Scientific Culture: pendekatan yang didasarkan pada akal sehat, sains, dan pemikiran filosofis. Kalau umat Islam masih bertahan di level “warisan nenek moyang”, mereka layak menjadi pengikut dalam peradaban dunia.
MISTIFIKASI, PENYAKIT YANG MEMBUNUH PERADABAN ISLAM
Mari kita bicara tentang mistifikasi tradisi. Apa itu? Itu adalah upaya memasukkan elemen-elemen budaya lokal ke dalam agama, membungkusnya dalam label “Islam,” lalu menjadikannya doktrin yang tidak bisa dipertanyakan. Contohnya? Ritual adat dengan sesajen, keyakinan bahwa tempat-tempat tertentu punya “penunggu”, atau upacara-upacara lokal yang dilapisi ayat-ayat Al-Qur’an untuk terlihat islami.
Ini adalah virus intelektual. Mistifikasi menciptakan umat yang malas berpikir kritis. Alih-alih mencari tahu bagaimana dunia bekerja, mereka sibuk dengan tahayul. Alih-alih berinovasi, mereka sibuk mempertahankan tradisi konyol yang tidak ada manfaatnya. Dan, jangan lupa, mistifikasi ini sering dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk mempertahankan kekuasaan atas masyarakat.
Yang lebih menyedihkan adalah bagaimana mistifikasi ini menipu umat dengan kedok “melestarikan budaya.” Apanya yang dilestarikan? Kebodohan? Kalau tradisi itu tidak membawa manfaat nyata, bahkan bertentangan dengan syariat, kenapa harus dipertahankan? Tradisi yang benar adalah yang mendukung kemajuan umat, bukan yang mengikat mereka dalam kebiasaan usang. Mistifikasi adalah tameng bagi mereka yang takut perubahan, dan lebih parah lagi, ia menjadi jebakan bagi masyarakat yang sudah lelah dan tidak punya pilihan untuk berpikir kritis.
Apa dampaknya? Lihat saja statistiknya. Berapa banyak ilmuwan Muslim yang membuat penemuan besar dalam seratus tahun terakhir? Hampir tidak ada. Umat ini sibuk bertahan di level ritual dan tradisi sementara dunia lain meluncurkan teleskop luar angkasa, menciptakan AI, dan menemukan energi terbarukan. Kalau ini bukan kebodohan, lalu apa?
DIMENSI MISTIK, JALAN UNTUK TAUHID
Ada yang akan protes, “Tapi Islam punya dimensi mistik. Keimanan kepada hal ghaib adalah bagian dari rukun iman.” Ya, benar. Tapi ada garis tegas antara keimanan dan kemalasan intelektual.
Dimensi mistik dalam Islam, seperti roh, malaikat, atau takdir, memang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Tapi itu bukan alasan untuk menghentikan eksplorasi intelektual. Justru, keterbatasan manusia dalam memahami dimensi mistik adalah panggilan untuk belajar lebih keras. Misalnya, fisika kuantum menunjukkan betapa kompleks dan misteriusnya alam semesta. Itu bukti kebesaran Allah. Tapi bagaimana umat Islam meresponsnya? Sebagian besar tidak peduli, sibuk dengan perkara-perkara remeh yang bahkan tidak relevan dengan kehidupan mereka.
Menyingkirkan logika mistik yang tidak produktif bukan berarti menyerang dimensi spiritual dalam Islam. Sebaliknya, itu adalah upaya untuk mengembalikan fokus umat kepada apa yang penting: mengeksplorasi keajaiban ciptaan Allah. Al-Qur’an sendiri sering menantang manusia untuk melihat tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta. Jadi, kenapa umat ini sibuk dengan ritual yang membingungkan akal, sementara dunia di luar sana penuh dengan pengetahuan yang menunggu untuk ditemukan? Ini adalah kontradiksi yang harus dihancurkan.
Mistifikasi berbeda dari dimensi mistik. Mistifikasi adalah upaya menjadikan hal-hal non-mistik (seperti tradisi lokal) terlihat suci, padahal tidak ada kaitannya dengan Islam. Ini harus dihancurkan. Dimensi mistik? Itu tetap ada, tetapi harus ditempatkan pada tempatnya: sebagai bagian dari keimanan, bukan alasan untuk berhenti berpikir atau mencari penjelasan logis tentang dunia.
SCIENTIFIC CULTURE, SEBUAH IMPIAN
Mari kita perjelas: Scientific Culture bukan “opsi menarik.” Ini adalah keharusan. Kalau umat Islam mau terus relevan di dunia modern, mereka harus bertransformasi menjadi masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan, logika, dan filosofi.
Scientific Culture adalah platform berpikir yang berfokus pada eksplorasi rasional, penerapan metode ilmiah, dan keterbukaan terhadap kritik. Dalam konteks Islam, ini berarti:
- Pisahkan mana yang mistik dan mana yang ilmiah. Jangan bawa tahayul atau tradisi lokal ke dalam agama, apalagi sampai mengganggu kemampuan umat untuk berpikir logis.
- Prioritaskan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an sendiri penuh ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir, merenung, dan memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Jadi, apa alasan umat Islam untuk terus mengabaikan pendidikan sains?
- Hancurkan tabu terhadap kritik. Kalau tradisi atau bahkan tafsir agama tertentu tidak relevan lagi, buang. Umat ini butuh diskusi yang terbuka, tanpa takut disebut kafir hanya karena mempertanyakan sesuatu.
Yang harus dimengerti adalah, Scientific Culture bukanlah ancaman terhadap agama, melainkan penyelamatnya. Dengan sains, Islam bisa kembali relevan di panggung dunia. Dengan logika ilmiah, umat bisa membuktikan bahwa agama ini bukan sekadar kumpulan ritual kosong, tetapi panduan hidup yang nyata. Apakah ini akan sulit? Ya, tapi tidak ada jalan lain. Umat ini sudah cukup lama terjebak dalam kebodohan kolektif; sekarang waktunya bangkit atau tetap menjadi bayang-bayang sejarah.
SATU-SATUNYA JALAN KELUAR
Transformasi menuju Scientific Culture tidak akan terjadi tanpa perlawanan. Akan ada mereka yang menjerit bahwa perubahan ini adalah penghancuran budaya, atau lebih buruk lagi, penghinaan terhadap agama. Mereka akan mencoba mempertahankan status quo dengan segala cara.
Jawabannya? Biarkan mereka berteriak. Perang pemikiran adalah harga yang harus dibayar untuk kemajuan. Kalau umat Islam takut dengan konflik intelektual, maka mereka akan terus berada di pinggir peradaban.
Perang pemikiran bukan tentang menyerang individu, tetapi menghancurkan gagasan-gagasan usang yang menjadi penghambat. Ini adalah proses yang tidak bisa dihindari. Dunia bergerak maju, dan siapa pun yang menolak perubahan akan tertinggal. Kalau ada konflik yang timbul, anggap itu sebagai tanda bahwa perubahan sedang berjalan. Sebab, yang benar-benar mematikan adalah diamnya pikiran dan pudarnya kritik.
BERPIKIR ATAU MATI
Umat Islam punya dua pilihan. Mereka bisa terus bertahan dalam kebodohan kolektif, sibuk dengan tradisi yang tidak relevan, dan perlahan menjadi fosil sejarah. Atau mereka bisa bangkit, membuang semua yang tidak berguna, dan membangun Scientific Culture yang berbasis pada akal, ilmu, dan filsafat.
Mistifikasi harus dihancurkan—tidak ada kompromi. Dimensi mistik tetap ada, tetapi jangan pernah dijadikan alasan untuk malas berpikir. Dan yang paling penting, umat Islam harus berhenti merasa nyaman dalam stagnasi.
Islam sejati adalah Islam yang berani berpikir, berani berubah, dan berani menjadi pemimpin peradaban. Kalau umat Islam tidak mulai sekarang, maka mereka tidak layak menyebut diri sebagai “umat terbaik.”