GAGAL TOTAL! Michael Hudson: AS Bukan Contoh Demokrasi, Tapi Dalang Plutokrasi Global—Ini Buktinya!

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 8 Mnt
guard, greece, athens, houses of parliament, parliament, the shade, soldier, guards, evzones, evzone, changing of the guard, tradition, greek parliament, democracy, vacations, city trip, tourism, city tourism, syntagma, syntagma place, to travel, greek, independence, guard, guard, greece, greece, athens, soldier, soldier, soldier, soldier, democracy, democracy, democracy, democracy, democracy, greek

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Di tengah gegap gempita wacana demokrasi yang didengungkan sebagai “pemerintahan terbaik umat manusia”, Michael Hudson—ekonom heterodox kelahiran Chicago—berdiri di pinggir panggung dengan senyum skeptis.

Bagi Hudson, demokrasi modern, terutama versi yang dipromosikan oleh Amerika Serikat, bukanlah kisah heroik “kemenangan rakyat”, melainkan drama ironis di mana uang, kekuasaan, dan retorika kosong berkolusi membungkus kepentingan elit dalam kemasan kebebasan.

Dalam narasi Hudson, demokrasi bukanlah akhir perjalanan, melainkan medan pertarungan yang terus bergolak antara idealisme dan keserakahan.


Amerika Serikat: Sang Pencerah atau Penjaja Mimpi Palsu?

Hudson memulai kritiknya dengan membedah paradoks utama demokrasi ala AS. Di satu sisi, AS mengklaim diri sebagai “penjaga demokrasi global”, tetapi di sisi lain, mereka mempersempit definisi demokrasi menjadi sistem yang tunduk pada kepentingan geopolitik dan ekonomi mereka.

“AS menyebut negara yang menolak kebijakan Washington sebagai ‘otoriter’, tetapi jika suatu negara memberlakukan pajak progresif atau nasionalisasi sumber daya alam, itu langsung dicap ‘sosialis’—sebuah istilah yang sengaja dikosongkan maknanya untuk menakut-nakuti dunia,” ujar Hudson dalam sebuah kuliah umum.

Survei global yang dirilis lembaga independen pada 2022 memperkuat tesisnya: 71% responden di 53 negara menilai sistem politik AS “cacat demokrasi”, sementara 70% menolak menjadikan Negeri Paman Sam sebagai model.

Bagi Hudson, angka ini bukan sekadar kritik terhadap praktik politik AS, tetapi bukti bahwa demokrasi telah direduksi menjadi alat legitimasi hegemoni. “AS ingin semua orang menari di pesta demokrasi, tetapi mereka yang menentukan musiknya—dan memonopoli distributor minumannya,” sindirnya.


Demokrasi vs. Plutokrasi: Saat Wall Street Menjadi Parlemen Bayangan

Sebagai ekonom yang menghabiskan puluhan tahun meneliti sejarah utang dan imperialisme finansial, Hudson menohok jantung masalah: demokrasi modern telah dikhianati oleh kekuatan uang. Dalam bukunya Super Imperialism: The Economic Strategy of American Empire (1972), ia mengungkap bagaimana AS membangun imperium global bukan melalui pendudukan militer, tetapi lewat dominasi finansial—sebuah sistem yang ia sebut “imperialisme tanpa koloni”. Dollar AS menjadi senjata, sementara IMF dan Bank Dunia berubah menjadi algojo yang memaksa negara-negara membuka pasar dan menjual aset strategis.

“Di AS sendiri, demokrasi telah berganti rupa menjadi plutokrasi,” tegas Hudson. Sistem one person, one vote dikalahkan oleh one dollar, one influence. Contohnya, pada pemilu 2020, total dana kampanye di AS mencapai $14 miliar—angka fantastis yang hanya bisa diakses oleh kandidat yang didukung korporasi atau oligarki.

- Advertisement -

Hasilnya, kebijakan publik seringkali mengabdi pada kepentingan donor besar, seperti keringanan pajak untuk perusahaan teknologi atau deregulasi sektor finansial. “Jika seorang anggota kongres menghabiskan 70% waktunya untuk menggalang dana, bisakah kita berharap mereka benar-benar mewakili rakyat?” tanyanya retoris.


Legitimasi: Fondasi yang Retak di Bawah Podium Demokrasi

Bagi Hudson, demokrasi tanpa legitimasi ibarat bangunan megah di atas tanah longsor. Mengadopsi teori ilmu politik David Easton, ia merinci tiga pilar legitimasi yang sering diabaikan:

Legitimasi Personal: Bergantung pada kharisma pemimpin, seperti Nelson Mandela atau Soekarno di era revolusi. Namun, Hudson mengingatkan: “Kharisma bisa memudar jika tak diikuti kebijakan konkret.”

- Advertisement -

Legitimasi Ideologis: Narasi bersama seperti “Pancasila” atau “American Dream”. Tapi di AS, impian itu kini lebih menyerupai ilusi—upah stagnan, biaya pendidikan melambung, dan kesenjangan yang menganga.

Legitimasi Struktural: Sistem hukum dan institusi yang transparan. Di sinilah Hudson menyoroti krisis terbesar: ketika Mahkamah Agung AS membatalkan hak aborsi atau mengizinkan donasi kampanye tanpa batas, kepercayaan publik pada institusi demokrasi pun terkikis.

Di Timur Tengah, krisis legitimasi ini meletus menjadi tragedi. Pasca-Arab Spring 2011, banyak rezim terjebak dalam transisi demokrasi yang gagal. Di Mesir, pemilu bebas justru melahirkan pemerintahan yang kemudian dikudeta militer.

Di Suriah, Bashar al-Assad bertahan bukan karena dukungan rakyat, tetapi karena legitimasi eksternal dari Rusia dan Iran. “Inilah paradoks demokrasi import: ketika struktur politik tak dibangun dari bawah, revolusi hanya mengganti aktor, bukan naskahnya,” ujar Hudson.

Demokrasi Substansial: Mimpi yang (Masih) Mungkin?

Namun, Hudson bukanlah nabi yang hanya meratapi kehancuran. Ia menawarkan visi demokrasi substansial yang melampaui ritual pemilu. Pertama, negara harus menjadi penjaga kepentingan publik, bukan kaki tangan korporasi. “Lihatlah Jerman pasca-Perang Dunia II,” katanya.

“Mereka membangun soziale Marktwirtschaft (ekonomi pasar sosial) dengan regulasi ketat pada sektor finansial dan jaminan kesejahteraan. Hasilnya? Legitimasi demokrasi mereka tetap tinggi meski dihantam krisis global.”

Kedua, Hudson menekankan redistribusi kekuasaan ekonomi. Dalam esainya The Collapse of Antiquity (2023), ia menelusuri sejarah Romawi kuno yang jatuh karena kesenjangan antara elit kaya dan rakyat yang terjerat utang. “Peringatan yang sama berlaku hari ini,” katanya. “Ketika 1% populasi menguasai 50% kekayaan, demokrasi hanyelahtheater untuk meninabobokan 99% sisanya.”

Ketiga, ia mendorong pembangunan institusi independen—mulai dari pengadilan yang bebas hingga media yang tak dikendalikan oligarki. “Di Skandinavia, pers bebas bisa menginvestigasi korupsi politisi tanpa takut dituntut. Di sana, demokrasi bukan sekadar slogan, tapi praktik hidup,” ujarnya.

Epilog: Demokrasi sebagai Proses yang Tak Pernah Selesai

Kritik Hudson bukanlah seruan untuk menyerah pada pesimisme, melainkan pengingat bahwa demokrasi adalah proyek yang belum selesai. Ia mengajak kita untuk menolak penerimaan buta pada narasi dominan. “Demokrasi sejati,” katanya, “adalah ketika seorang nelayan di Wakatobi punya suara setara dengan CEO di Wall Street—bukan hanya di atas kertas, tapi dalam kebijakan yang mengatur hidup mereka.”

Dalam era ketimpangan ekstrem dan krisis iklim, pemikiran Hudson menjadi lentera. Ia mengingatkan: demokrasi takkan pernah lahir dari intervensi asing atau paket kebijakan IMF. Ia harus dibangun dari dalam—dengan keberanian mengoreksi diri, memutus rantai utang yang membelenggu, dan mengembalikan negara pada mandatnya: menjadi pelayan rakyat, bukan jongos pasar.

Seperti kata Hudson dalam akhir salah satu pidatonya:
“Demokrasi bukanlah hadiah yang diberikan dari atas. Ia adalah hak yang direbut lewat perjuangan—dan hanya bisa dipertahankan dengan kewaspadaan yang tak pernah tidur.”

Pada akhirnya, kisah demokrasi versi Hudson adalah cerita tentang harapan yang gigih—bahwa di balik kabut hegemoni, selalu ada ruang untuk membayangkan dunia yang lebih adil.

Share This Article