Presiden Prabowo Subianto, dengan semangat bak salesman Black Friday, menjajarkan mimpi “pendidikan merata” lewat Smart TV di setiap sekolah. Rp2 triliun diguyurkan untuk membeli layar ajaib ini—seolah-olah menggantung televisi di dinding kelas bisa mengubah gubuk reyot di pedalaman menjadi Harvard cabang Papua.
Luar biasa! Daripada mempekerjakan guru bersertifikat, lebih baik siswa menatap layar guru Jakarta yang bersuara bak presenter podcast, sambil duduk di bangku yang kakinya sudah dimakan termite. Siapa butuh manusia ketika kita punya rekaman?
Prabowo Masih Melabeli Guru ‘Rendah’
Prabowo bersyukur kepada guru—”pahlawan tanpa tanda jasa”—sambil sambil menyelam minum air: menggantikan mereka dengan televisi. Data Kemendikbud 2024 mengungkap 1,3 juta guru belum tersertifikasi, 23% di antaranya cuma lulusan SMA.
Tapi, bukannya meningkatkan kualifikasi guru, pemerintah malah mengadakan acara TV edukasi. Logikanya? Daripada melatih guru biologi, lebih baik siswa menonton video fotosintesis di layar 32 inci—meski listrik di sekolahnya hanya hidup saat kepala desa ulang tahun.
Di daerah 3T, di mana guru matematika sering kali merangkap tukang ojek online, kehadiran Smart TV ini tentu akan jadi hiburan tersendiri. Bayangkan! Anak-anak bisa belajar trigonometri dari guru bersertifikat, sambil berharap tegangan listrik tidak drop saat penjelasan sudut 45 derajat.
Apalagi, menurut laporan Kemdikbud 2025, 55% sekolah di wilayah tersebut belum punya listrik stabil. Tidak masalah! Televisi bisa dipakai sebagai lampu darurat saat mati listrik.
Rp2 Triliun untuk TV Memang Lebih Murah Dibandingkan Rp49 Triliun untuk Buku
Sementara 244.342 sekolah tak memiliki perpustakaan (Dapodik 2023), pemerintah memilih menghamburkan dana untuk televisi—alat yang lebih cepat rusak daripada niat baca siswa. Dengan Rp2 triliun, kita bisa membangun 10.000 perpustakaan (asumsi Rp200 juta per unit), tapi Prabowo memilih membeli 443.000 TV.
Prioritas? Jelas! Lebih baik siswa di NTT menonton video tentang pentingnya literasi, ketimbang memegang buku yang rasio per siswanya 1:15—angka yang membuat UNESCO menangis di sudut.
Hasil PISA 2024 (skor literasi 396) seharusnya jadi tamparan, tapi di mata para visioner, itu hanya kurangnya tontonan edukatif. Ah, tentu! Anak-anak yang tak bisa memahami bacaan sederhana pasti akan terselamatkan oleh animasi PowerPoint guru di TV.
Apalagi, 72% tenaga perpustakaan di Jakarta hanya lulusan SMA—layaklah jika koleksi bukunya lebih banyak yang dimakan tikus daripada dibaca siswa.
Digitalisasi ala Kadrun: Ketika Listrik Masih Barang Mewah
Program ini diagungkan sebagai solusi bagi sekolah terpencil, tapi lupa bahwa 55% daerah 3T masih bergulat dengan listrik yang lebih fluktuatif daripada harga kripto.
Smart TV di sekolah-sekolah ini akan menjadi monumen gagap teknologi: dipajang di ruang guru karena tak ada yang bisa mengoperasikan, atau bingung memanfaatkannya atau jadi sasaran empuk pencuri kabel tembaga, atau paling tidak hanya jadi alat nobar ala bioskop.
Studi kasus di MTs Yapit Taretta yang disebut-sebut berhasil meningkatkan nilai siswa justru mengundang tawa, penelitian itu hanya berlaku untuk pelajaran TIK—masa bodoh dengan fisika atau sastra yang butuh eksperimen dan diskusi.
Lagipula, apa gunanya nilai TIK bagus jika siswa tak bisa menyalakan komputer karena sekolah tak punya stop kontak? internet lemot dan listrik sering padam.
Dari Smart TV ke Guru Hologram, Sebelum Sekolah Roboh
Jika kebijakan ini terus berlanjut, tahun 2030 kita akan punya sekolah virtual dengan guru hologram, mirip sekolah-sekolah futuristik di china dan negara maju lainnya, sementara atapnya bocor dan dindingnya dihiasi jamur. Prabowo mungkin sedang merancang “Ruang Murid, Edisi AR”, di mana siswa bisa belajar sejarah lewat filter Instagram.
Saran untuk Istana Sebelum menjadikan sekolah sebagai showroom elektronik, cobalah hitung: 1 Smart TV = 1.000 buku + 1 guru bersertifikat + listrik 24 jam. Kalau tak sanggup, lebih baik uangnya dipakai membeli generator atau traktor—agar guru honorer bisa sambil bercocok tanam di halaman sekolah yang masih ditumbuhi rumput liar.