Indonesia telah menjadi laboratorium eksperimen kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang menggunakan demokrasi dan HAM sebagai alat untuk meraih hegemoni global, sebuah permainan geopolitik yang dimainkan dengan cerdik namun mematikan.
Sejak era kemerdekaan hingga kini, intervensi AS di Indonesia tidak pernah benar-benar berhenti—hanya berubah wajah, dari operasi militer terbuka ke rekayasa sosial yang lebih halus, dari dukungan pada diktator ke pendanaan aktivis pro-demokrasi. Kisah ini bukan sekadar persoalan masa lalu, melainkan jejak kaki kolonialisme gaya baru yang terus membayangi kedaulatan bangsa.
Pada dekade 1950-an, ketika Indonesia masih berjuang membangun fondasi negara, AS sudah mencium aroma bahaya dari kebijakan non-blok Sukarno. Dokumen NSC 5518 tahun 1955—sebelum Konferensi Asia-Afrika di Bandung—telah menyebut Indonesia sebagai “domino pertama” yang harus dicegah jatuh ke komunisme.
Operasi Haik 1958 bukan sekadar upaya kudeta, melainkan uji coba pertama teori “perang asimetris” AS di Global South. CIA tak hanya menyuplai senjata ke PRRI/Permesta, tetapi juga merekrut pilot bayaran asal Polandia dan Filipina untuk menjatuhkan pesawat sipil, menciptakan atmosfer ketakutan psikologis. Kegagalan operasi ini mengajarkan AS pelajaran berharga: menggulingkan Sukarno membutuhkan strategi lebih halus daripada sekadar perang konvensional.
Tragedi 1965 menjadi babak paling kelam dalam buku hitam intervensi AS. Dua bulan sebelum G30S, Kedutaan AS di Jakarta melaporkan adanya “kelompok progresif dalam Angkatan Darat” yang perlu dimanfaatkan. Pelatihan militer di Fort Leavenworth dan Fort Bragg yang diterima perwira seperti Suharto dan Benny Moerdani bukan sekadar transfer teknologi perang, tetapi indoktrinasi doktrin “keamanan nasional” ala AS yang menganggap aktivis kiri sebagai musuh dalam selimut.
Saat pembantaian massal terjadi, Duta Besar AS Marshall Green sengaja menunda laporan ke Washington agar proses “pembersihan” tak terganggu. Ironisnya, senjata M16 yang digunakan pasukan RPKAD dalam operasi penumpasan PKI di Blitar merupakan bagian dari paket bantuan militer AS tahun 1962.
Era Orde Baru (1967-1998) menunjukkan wajah sebenarnya dari “persekutuan strategis” AS-Indonesia. Kontrak Freeport 1967 yang ditandatangani hanya 6 minggu setelah Suharto berkuasa—sebuah rekor dalam sejarah korporasi transnasional—menjadi contoh sempurna simbiosis antara kekuasaan militer dan modal asing.
Sementara Suharto mengirim pasukan ke Timor Timur dengan helikopter Bell UH-1 buatan AS, perusahaan minyak Caltex (kini Chevron) mengeruk minyak dari Riau dengan bagi hasil 85% untuk AS. Laporan Bank Dunia tahun 1990 mengungkap 70% utang luar negeri Indonesia digunakan untuk proyek infrastruktur yang mendukung eksploitasi SDA oleh perusahaan AS.
Pasca Reformasi 1998, AS menemukan formula baru: demokrasi sebagai komoditas. National Endowment for Democracy (NED)—yang sebenarnya merupakan “CIA versi sipil”—mengucurkan dana $15-20 juta per tahun ke 2.000 lebih LSM dan media.
Program “pemberdayaan masyarakat sipil” ini dirancang cerdik: aktivis diajari membuat petisi online, jurnalis dilatih membuat berita “independen”, tapi semua harus dalam koridor pro-kapitalisme. Pada 2016, NED mendanai seminar yang mendorong pelarangan simbol komunisme, sementara korban 1965 yang menuntut keadilan justru dianggap “mengganggu rekonsiliasi”.
Intervensi melalui ekonomi tak kalah licik. Program USAID di bidang tata kelola pemerintahan seperti ERAT (2022-2027) menggunakan jargon “good governance” untuk mendorong privatisasi BUMN. Pelatihan hakim oleh AS melalui Mahkamah Agung (2010-2015) menghasilkan yurisprudensi yang memenangkan 78% sengketa lahan untuk korporasi asing. Liberalisasi sektor pertambangan melalui UU Minerba 2020—yang disusun dengan asistensi konsultan AS—telah membuka 54% cadangan mineral Indonesia untuk perusahaan asing.
Dampaknya seperti bom waktu: demokrasi elektoral yang kosong, ekonomi yang tergantung pada investasi asing, dan masyarakat terpolarisasi. Pendanaan AS pada organisasi Islam moderat seperti NU justru memicu reaksi kelompok radikal yang menggunakan isu anti-AS untuk mobilisasi massa.
Di Papua, pelatihan militer oleh AS melalui program IMET menciptakan tentara yang mahir counter-terrorism tapi buta terhadap HAM. Sementara itu, 75% royalti Freeport masih mengalir ke Amerika—cukup untuk membeli 10 pesawat tempur F-16 setiap tahun.
Pelajaran sejarah menunjukkan bahwa intervensi AS selalu memiliki tiga wajah: pembebasan palsu, stabilitas semu, dan kemitraan timpang. Dari Operasi Haik hingga NED, motifnya tetap sama: menjadikan Indonesia sebagai “negara client” yang menyediakan sumber daya murah, pasar bagi produk AS, dan benteng anti-komunisme. Tantangan terbesar kini adalah membongkar mentalitas inferior yang terinternalisasi selama 78 tahun merdeka—bahwa demokrasi harus mengikuti resep Washington, bahwa modernisasi berarti westernisasi.
Solusinya bukan anti-AS, tetapi membangun kedaulatan epistemik: sistem pendidikan yang tak tergantung pada beasiswa Fulbright, sistem hukum yang tak dirancang oleh USAID, dan sistem ekonomi yang tak dikendalikan oleh rating agency Wall Street.
Seperti kata Bung Karno di Konferensi Asia-Afrika 1955: “Kita bukan sekadar menjual karet dan minyak, kita menjual harga diri sebuah bangsa.” Inilah pertarungan abad 21—bukan dengan senjata, tapi dengan kesadaran bahwa demokrasi sejati harus lahir dari rahim kebudayaan sendiri, bukan dikirim dalam paket bantuan asing yang penuh syarat terselubung.