Ada satu kalimat yang pantas dijadikan monumen kebodohan birokrasi dalam sejarah republik ini: “Bukan urusan kita.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut seseorang yang kebetulan menjabat sebagai Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo. Ya, sekadar orang yang menjabat, bukan pemimpin.
Sebab dari semua indikator kepemimpinan, yang bersangkutan tidak memenuhi syarat paling dasar: tanggung jawab. Kalimat itu melukiskan dengan terang benderang betapa tidak pentingnya sosok ini dalam denyut kehidupan publik di daerah yang seharusnya ia pimpin. Ia tak lebih dari pengisi bangku kosong, pelengkap penderita dalam struktur pemerintahan.
Mari kita perjelas, program BSPS memang berasal dari pusat. Tapi ketika menyentuh tanah Sumenep, tanggung jawab moral dan sosialnya otomatis berpindah ke pemimpin daerah.
Namun karena yang duduk di kursi bupati hari ini bukan seorang pemimpin, melainkan sekadar penonton dengan gaji negara, maka masalah sebesar apa pun bisa dengan mudah ia sebut “bukan urusan kita.” Seolah-olah ia hanya ditugasi meresmikan taman dan memotong pita, bukan menjaga integritas pelayanan publik.
Inilah wajah bupati yang paling tak relevan. Dalam teori kekuasaan Foucault, penguasa semestinya hadir dalam jaringan pengawasan, mengontrol aliran kuasa dari pusat ke masyarakat.
Tapi Fauzi? Ia bahkan tak cukup penting untuk hadir dalam struktur itu. Ia sendiri mengaku tidak menemui rombongan inspektorat kementerian. Mengapa? Karena ia sadar bahwa keberadaannya di mata para pengambil kebijakan pun sama tidak signifikannya seperti pendapatnya sendiri soal korupsi: nihil.
Ini bukan hanya soal penghindaran tanggung jawab. Ini adalah bukti bahwa jabatan Fauzi tak punya gravitas, tak punya daya dorong, dan tak punya arti.
Ia bukan penggerak kebijakan. Ia bukan pelindung rakyat. Ia bahkan bukan juru bicara publik. Ia cuma simbol kosong yang kebetulan masih ada di atas struktur, seperti ornamen bangunan yang tak pernah disentuh siapa pun.
Dalam konteks Hannah Arendt dan banalitas kejahatan, kita bisa melihat Fauzi bukan sebagai pelaku, tapi sebagai pelancar jalannya kejahatan lewat ketidakhadirannya. Ia terlalu tidak penting untuk menciptakan solusi, tapi cukup abai untuk membuat masalah membusuk.
Kejahatan terjadi karena orang-orang seperti dia memilih diam, memilih tidak terlibat, memilih mencuci tangan. Dan itu membuat kehadirannya tak hanya tak relevan—tapi justru menjadi beban publik.
Sikap “bukan urusan kita” bukan saja pengkhianatan terhadap tanggung jawab, tapi juga testimoni tentang betapa tak pentingnya peran seorang Fauzi dalam pemerintahan daerah. Jika esok ia menghilang dari struktur pemerintahan, barangkali tak akan ada yang berubah. Rakyat tetap miskin. Dana tetap disunat. Rumah tetap reot.
Kehadirannya tak membuat segalanya membaik, dan ketidakhadirannya tak membuat segalanya lebih buruk. Ia adalah definisi sempurna dari pejabat yang bisa diganti dengan papan nama kosong dan hasilnya akan sama saja.
Dan yang lebih menyedihkan: ia tidak tahu bahwa ia sudah tak penting. Masih merasa berkuasa, masih bicara di media, masih mengira bahwa suara “bukan urusan kita” adalah bentuk sikap tegas, padahal itu cuma teriakan orang yang sudah lama ditinggalkan oleh makna kepemimpinan.
Di tengah krisis integritas, ketika publik butuh kompas moral, Fauzi tak lebih dari jarum kompas yang rusak: berputar-putar tanpa arah, tak menunjukkan jalan, dan pada akhirnya dibuang karena tak berguna.
Sumenep tak butuh bupati yang sekadar hadir di acara protokoler. Sumenep tak butuh pejabat yang hanya muncul saat panen raya atau seremonial. Sumenep butuh pemimpin yang penting—penting dalam tindakan, penting dalam keputusan, penting dalam keberanian. Dan sejauh ini, Fauzi gagal menjadi penting bahkan dalam skala terkecil: mengakui bahwa nasib rakyat adalah “urusan kita.”