jlk – Ketika kita bicara tentang visi Indonesia Emas 2045, ada semacam getaran semangat, seolah kita sudah bisa mencium aroma kemajuan dari jarak jauh. Siapa sih yang nggak mau Indonesia jadi salah satu raksasa ekonomi dunia?
Dari Sabang sampai Merauke, visi ini dibicarakan dengan penuh antusiasme, sampai rasanya mimpi tentang perekonomian super tangguh itu sudah di depan mata.
nggak ceritanya mimpi datang tanpa tantangan, salah satunya adalah generasi Boomer yang masih bercokol di banyak kursi penting negeri ini. Pertanyaannya, apakah generasi Boomer ini benar-benar jadi penghalang, atau mereka sekadar kambing hitam untuk segala kegagalan kita?
Boomers di Ujung Senja
Sebelum kita main mulai, mari kita lihat fakta demografis. Di tahun 2045, Indonesia diperkirakan akan dihuni oleh sekitar 324 juta jiwa, dengan 68% di antaranya berada di usia produktif .
Artinya, kita punya bonus demografi yang harusnya bikin negara ini meloncat ke level berikutnya. Tapi ada satu masalah, populasi yang usianya 65 tahun ke atas juga akan meningkat dua kali lipat jadi sekitar 14,61% .
Siapa mereka? Ya, generasi Boomer kita yang sekarang memegang banyak posisi penting di pemerintahan, pendidikan, dan bisnis.
Generasi Boomer ini akan mencapai usia senja, tapi bukan berarti pengaruh mereka otomatis memudar. Mereka masih bisa menahan roda perubahan melalui kebijakan dan keputusan yang mereka buat dan di sinilah letak masalahnya.
Kita tahu, kan, kebiasaan buruk itu susah hilang, apalagi kalau sudah jadi kebiasaan puluhan tahun. Generasi Boomer ini tumbuh di zaman di mana teknologi belum merajalela seperti sekarang, dan mindset mereka mungkin masih terpaku pada cara-cara lama.
Boomer “Sudah Biasa Begini!”
Generasi Boomer di Indonesia dikenal dengan gaya kepemimpinan yang cenderung konservatif dan hierarkis. Ini generasi yang tumbuh di bawah bayang-bayang orde lama dan orde baru, jadi nggak heran kalau mereka punya naluri untuk mempertahankan status quo.
Masalahnya, Indonesia nggak bisa maju dengan berpaku pada pola pikir “sudah biasa begini”. Kalau generasi ini tetap keras kepala dan menolak perubahan, ya jelas mereka bakal jadi penghambat.
Contoh sederhananya, dalam dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia masih terjebak dalam sistem yang ketinggalan zaman. Kurikulum yang penuh hafalan dan minim inovasi ini adalah cerminan dari kebijakan yang dipegang oleh generasi yang nggak bisa lepas dari pola pikir lama.
Kalau Boomer ini nggak bisa melihat pentingnya reformasi pendidikan yang berbasis teknologi dan inovasi, generasi mendatang bakal susah untuk beradaptasi dengan perubahan global yang semakin cepat.
Bandingkan dengan negara-negara seperti Finlandia atau Swedia, yang sudah menerapkan sistem pendidikan yang memprioritaskan pemikiran kritis dan inovasi sejak dini. Apa hasilnya?
Generasi muda di negara-negara itu jauh lebih adaptif terhadap teknologi dan perubahan. Di sini? Kalau Boomer terus memegang kendali tanpa perubahan, siap-siap aja generasi kita tersesat dalam jurang ketertinggalan.
Dunia Kerja, Antara Kolaborasi atau Friksi?
Di tempat kerja, perbedaan generasi ini juga jelas terasa. Boomer cenderung suka dengan struktur hierarkis yang jelas dan tegas. Ada atasan, ada bawahan, dan jarak di antara mereka seperti langit dan bumi.
Mereka percaya pada kerja keras yang terlihat, lembur sampai malam, bahkan kalau bisa tidur di kantor biar dianggap serius. Sementara itu, generasi milenial dan Gen Z datang dengan pola pikir yang jauh lebih fleksibel.
Bagi mereka, kolaborasi adalah kunci. Struktur yang terlalu kaku? Buang aja! Mereka lebih suka bekerja dalam tim yang dinamis dan inovatif.
Kalau Boomer terus mempertahankan gaya manajerial lama mereka, yang ada cuma friksi. Generasi muda bisa merasa terkungkung, sementara para Boomer merasa kewalahan dengan cara kerja yang lebih cepat dan digital.
Ini problem klasik yang sering kali nggak disadari oleh para atasan. Kalau nggak segera diatasi, ini bisa jadi penghambat besar bagi inovasi dan perkembangan perusahaan.
Teknologi
Selain soal gaya kerja, teknologi adalah masalah lain yang sering menjadi jurang pemisah antara generasi Boomer dan generasi yang lebih muda. Para Boomer tumbuh di zaman di mana komputer masih jadi barang langka, dan ponsel pintar?
Mimpi di siang bolong. Jadi wajar kalau banyak dari mereka merasa gagap menghadapi teknologi digital yang terus berkembang.
Data menunjukkan bahwa generasi yang lebih tua cenderung lebih lambat dalam mengadopsi teknologi baru dibandingkan generasi milenial dan Gen Z. Ini bukan cuma soal gap teknis, tapi juga gap mindset.
Mereka sering kali nggak melihat pentingnya teknologi dalam dunia kerja atau kehidupan sehari-hari. Padahal, di era sekarang, inovasi teknologi adalah kunci untuk bersaing di tingkat global.
Contoh gampangnya adalah penggunaan teknologi di sektor pemerintahan. Banyak negara maju sudah menerapkan digitalisasi penuh dalam layanan publik, sementara di sini? Masih banyak Boomer yang lebih percaya pada tumpukan berkas fisik dan tanda tangan basah.
Kalau pola pikir seperti ini nggak berubah, bagaimana kita bisa mengejar ketertinggalan dan menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia?
Kesenjangan Pemikiran
Salah satu karakteristik lain dari generasi Boomer adalah kecenderungan mereka untuk terikat pada nilai-nilai tradisional yang sering kali lebih berdasarkan mitos ketimbang logos.
Mereka cenderung lebih mengandalkan pengalaman dan tradisi daripada data dan analisis rasional. Ini bisa jadi masalah besar di era yang semakin kompleks dan didorong oleh data.
Di dunia yang semakin digerakkan oleh data dan algoritma, pola pikir berbasis mitos bisa menjadi penghalang besar.
Misalnya, dalam pengambilan keputusan di level kebijakan. Generasi Boomer mungkin lebih mengutamakan intuisi dan pengalaman pribadi kadang harus bersilaturahmi ke dukun, sementara generasi yang lebih muda lebih percaya pada analisis berbasis data.
Kalau pola pikir yang berbasis mitos ini tidak digantikan dengan pemikiran yang lebih rasional dan berbasis bukti, maka upaya untuk mencapai Indonesia Emas 2045 bisa terhambat.
Kolaborasi Antar-Generasi atau Mengulang Sejarah?
Jadi, apa solusinya? Apakah kita harus menyingkirkan generasi Boomer dari semua posisi penting? Tentu tidak. Meskipun mereka mungkin menjadi penghalang dalam beberapa aspek, mereka juga bisa menjadi aset yang berharga jika digunakan dengan benar.
Yang kita butuhkan adalah kolaborasi antar-generasi. Boomer bisa berperan sebagai mentor yang membimbing generasi muda, sambil tetap terbuka terhadap ide-ide baru dan inovasi.
Kolaborasi ini bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Misalnya, melalui program mentorship di dunia bisnis, di mana para pemimpin senior bekerja sama dengan profesional muda untuk menciptakan sinergi yang kuat antara pengalaman dan inovasi.
Dalam pemerintahan, generasi yang lebih tua bisa memberikan bimbingan, sementara generasi muda yang lebih melek teknologi bisa mengambil peran lebih besar dalam pengambilan keputusan.
Membuat Sejarah atau Terjebak dalam Nostalgia?
Akhirnya, apakah generasi Boomer ini benar-benar penghalang menuju Indonesia Emas 2045? Jawabannya tergantung pada mereka sendiri.
Jika mereka mampu beradaptasi dengan perubahan dan bekerja sama dengan generasi muda, maka mereka bisa menjadi salah satu pilar penting dalam mencapai visi tersebut.
Namun, jika mereka terus bertahan pada cara-cara lama dan enggan beradaptasi, maka mereka bisa menjadi salah satu faktor penghambat utama.
Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, semua generasi harus bekerja sama. Boomer dengan kebijaksanaan dan pengalaman mereka, dan generasi muda dengan inovasi dan semangat perubahan mereka.
Jika kita berhasil menciptakan sinergi antar-generasi ini, maka kita tidak hanya akan mencapai Indonesia Emas, tapi juga menciptakan sejarah yang akan dikenang oleh generasi-generasi berikutnya.
Tapi kalau tidak? Ya, siap-siap saja kita terjebak dalam nostalgia masa lalu yang indah, sementara dunia terus melaju tanpa menunggu kita.