BSPS di Errabu, Cuma ‘Salah Peruntukan’.. Asudalah..

Oleh
Baca 5 Mnt
BSPS di Errabu, Cuma 'Salah Peruntukan'..  Asudalah.. (Ilustrasi)
BSPS di Errabu, Cuma 'Salah Peruntukan'.. Asudalah.. (Ilustrasi)

Negara ini memang luar biasa. Saking luar biasanya, bantuan yang seharusnya ditujukan untuk orang miskin agar bisa punya rumah layak, malah dipakai untuk bangun dapur, musolla, dan toko.

Bukan oleh rakyat kecil, tapi oleh aparat desa yang kerjanya cuma tahu dua hal: ngemis anggaran dan nyolong bantuan. Kasus BSPS di Desa Errabu, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep ini adalah potret paling menjijikkan dari watak birokrasi lokal yang sekarat.

Bayangkan, program yang tujuannya mulia itu—membantu rakyat miskin—malah dikangkangi oleh kepala desa dan kroni-kroninya. Ini bukan dugaan lagi. Kepala desa sendiri, Hafidatin, terang-terangan mengaku bahwa bantuan itu digunakan tidak sesuai peruntukannya.

Dan yang lebih sinting lagi, itu dianggap hal biasa. Seolah salah sasaran itu hanya persoalan teknis, bukan kejahatan. Padahal, dalam logika hukum yang paling sederhana, itu korupsi. Titik.

Tapi jangan heran. Di negeri ini, pengakuan bersalah dari pejabat bukan pintu menuju penjara, tapi tiket menuju kebebasan. Karena selama pelakunya punya jabatan dan jaringan, hukum hanya jadi dagelan. Penegakan hukum tidak lebih dari teater absurd, tempat para jaksa dan penyidik bermain drama pura-pura sibuk, pura-pura adil, padahal yang diurus hanya teknis dan kerahasiaan.

Lihat saja Kejaksaan Negeri Sumenep. Dihadapkan pada pengakuan terang-terangan dan desakan dari warga, jawaban mereka cuma satu: “Itu teknis dan masih rahasia.” Rahasia kepala bapakmu! Kalau semuanya dianggap rahasia, buat apa ada lembaga penegak hukum? Bungkus saja kantor kejaksaan pakai spanduk “Kantor Pura-Pura Sibuk.”

Foucault pernah bilang bahwa kekuasaan bukan cuma berada pada siapa yang memegang senjata atau jabatan, tapi juga pada siapa yang bisa menentukan mana yang dianggap normal.

Dan di Sumenep, norma yang berlaku adalah, mencuri uang negara itu halal asal dilakukan oleh pejabat. Begitu kepala desa bilang itu hanya “salah peruntukan,” seolah-olah itu cuma kesalahan logistik, bukan penipuan yang merampok hak rakyat miskin.

Apa gunanya ada program seperti BSPS kalau akhirnya dinikmati oleh orang-orang yang sudah punya rumah, sementara warga miskin tetap tidur beratap langit dan beralaskan tikar sobek? Apa gunanya negara kalau birokrat lokalnya kerjaannya cuma maling dana bantuan?

- Advertisement -

Dan jangan lupa, ini semua bukan terjadi di hutan, tapi di dalam sistem yang katanya demokratis dan transparan. Tapi sistem yang katanya demokratis ini malah jadi kartel oligarki kecil di level desa. Kepala desa jadi raja kecil, jaksa jadi pemadam kebakaran yang nyalakan api sendiri, dan rakyat? Rakyat disuruh tepuk tangan sambil tetap bayar pajak.

Ini adalah contoh sempurna dari teori klasik tentang banalitas kejahatan—sebagaimana dikatakan Hannah Arendt—di mana kejahatan dilakukan bukan oleh monster, tapi oleh orang biasa yang hanya mengikuti aturan busuk dalam sistem yang lebih busuk lagi. Kepala desa bukan psikopat, tapi penjilat sistem yang memberi ruang lebar untuk maling anggaran dengan dalih “pengabdian masyarakat.”

Dan lucunya, ada juga yang bilang, “Sudah dilaporkan ke kejaksaan kok.” Seolah-olah laporan itu adalah akhir dari cerita. Padahal semua orang yang masih punya otak tahu: laporan tanpa tindakan cuma buang waktu. Masyarakat sudah bosan dengan narasi “akan ditindaklanjuti,” karena artinya cuma satu: lempar ke laci, tutup kasus pelan-pelan, tunggu rakyat lupa.

- Advertisement -

Tidak ada alasan bagi Kejari Sumenep untuk diam. Tidak ada alasan untuk pura-pura tidak tahu. Kalau mereka masih punya sedikit harga diri, kasus ini harus jadi prioritas. Tapi kalau ternyata mereka justru bagian dari jaringan penikmat dana BSPS, ya wajar kalau diam. Karena siapa yang mau menghukum teman sendiri?

Dan kepada kepala desa serta perangkat desa Errabu yang menikmati dana bantuan ini, tahniah. Kalian berhasil jadi cermin paling kotor dari mental pejabat busuk di republik ini. Kalian bukan sekadar gagal menjalankan amanah, tapi sukses menjadikan jabatan sebagai alat kejahatan. Negara tak butuh orang seperti kalian. Dan rakyat tak akan pernah lupa: bahwa di balik setiap genteng rumah layak milik kalian, ada peluh dan air mata orang miskin yang ditipu hidup-hidup.

Topik:
Share This Article