jlk – Indonesia, negeri dengan populasi yang mengklaim dirinya religius, penuh dengan kontradiksi yang kadang bikin kepala geleng-geleng. Di satu sisi, Pancasila menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan utama, tapi di sisi lain, lihatlah apa yang terjadi tiap Agustusan.
Dari yang awalnya lomba makan kerupuk atau panjat pinang, sekarang lomba makan pisang aja udah bisa jadi bahan bokep dadakan. Apa ini tanda bahwa masyarakat kita makin religius atau justru makin absurd?
Dualitas Budaya: Religius di KTP, Ngeres di Lapangan
Coba renungkan, masyarakat kita suka membanggakan diri sebagai bangsa yang religius, penuh moral, tapi lihat tingkahnya. Saat lomba Agustusan, kita seringkali melihat lomba-lomba yang mulai ngeres.
Misalnya, lomba makan pisang dengan cara yang jelas-jelas mengarah ke simbolisme seksual. Ini bukan sekadar lomba, ini fenomena yang menunjukkan adanya kognitif disonansi di masyarakat kita.
Di mana mereka berpegang pada keyakinan agama, tapi praktik sehari-hari justru bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Ini bukan hal baru. Ini dualitas budaya yang konyol, di mana orang merasa “aman” secara spiritual dengan melakukan ritual agama, tapi di saat yang sama, membiarkan pola pikir ngeres merasuk ke dalam tindakan sehari-hari.
Contoh paling nyata? Humor seksual yang selalu nongol dalam kegiatan yang sebenarnya netral seperti lomba Agustusan.
Pengaruh Media: Dari TV ke Meme, Semua Jadi Ngeres
Apa penyebabnya? Salah satunya adalah media yang semakin permisif. Dari sinetron, komedi di TV, hingga konten di media sosial, semuanya berlomba-lomba menyelipkan humor seksual seolah-olah itu adalah bagian dari “hiburan yang normal.”
Yang dulu tabu, sekarang jadi bahan ketawa-ketiwi. Dan ya, masyarakat kita tampaknya semakin desensitisasi terhadap konten seksual.
Jadi, jangan heran kalau lomba Agustusan berubah jadi ajang ngeres dadakan. Dari perspektif ilmiah, ini adalah hasil dari efek habituasi, di mana orang-orang yang terus-menerus terekspos pada konten seksual akan kehilangan sensitivitas terhadapnya.
Simbolisme seksual pun dianggap sebagai bagian dari humor sehari-hari, bukan sesuatu yang perlu dihindari.
IQ Rendah atau Pendidikan yang Payah?
Ada pandangan bahwa orang-orang yang sering kali terjebak dalam humor ngeres mungkin adalah mereka yang punya IQ rendah atau tingkat pendidikan yang minim.
Ini bukan soal menghina, tapi kenyataannya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mereka mampu menyaring informasi dan menolak pengaruh negatif dari luar, termasuk humor seksual yang tidak pantas.
Tapi kalau kita lihat realitanya, humor ngeres ini justru sering dinikmati oleh semua kalangan. Dari anak muda di media sosial sampai bapak-bapak di warung kopi, semua terlibat dalam “kebiasaan ngeres” ini.
Jadi, masalahnya mungkin bukan sekadar IQ atau pendidikan, tapi lebih kepada budaya permisif yang sudah kadung mengakar.
Religius di Bibir, Tapi Ngeres di Otak
Meskipun mengklaim diri sebagai negara religius, masyarakat kita sering kali lebih religius di bibir ketimbang di hati. Internalisasi nilai-nilai agama tampaknya masih dangkal di banyak kalangan, dan agama lebih menjadi identitas sosial daripada pedoman hidup sehari-hari.
Buktinya? Humor seksual dan perilaku ngeres tetap bertahan meskipun banyak yang rajin ibadah.
Fenomena ini menunjukkan ada jurang besar antara nilai-nilai religius yang dianut secara formal dan perilaku yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dan yang lebih parah, masyarakat tampaknya menerima ini sebagai normal, seolah-olah tidak ada kontradiksi antara menjadi religius dan terlibat dalam humor seksual yang terang-terangan.
Bokep dan Kebingungan Identitas Bangsa
Apakah benar bokep atau humor ngeres adalah pemersatu bangsa Indonesia? Ini jelas provokatif, tapi ada kebenarannya. Ketika humor seksual sudah jadi bagian dari norma sosial, itu menunjukkan betapa bingungnya kita dengan nilai-nilai yang seharusnya kita junjung tinggi.
Pendidikan kritis dan internalisasi nilai-nilai religius perlu lebih ditekankan, kalau kita memang ingin benar-benar menjalankan kehidupan yang sejalan dengan identitas religius yang kita klaim.
Sampai kapan kita mau terus hidup dalam dualitas ini? Mungkin sudah saatnya kita berhenti membiarkan humor ngeres menjadi bagian dari perayaan nasional kita dan mulai lebih serius memikirkan apa yang sebenarnya kita yakini.
Atau kita akan terus bertanya-tanya, apakah yang benar-benar menyatukan kita sebagai bangsa adalah Pancasila atau bokep?