jlk – Sayangku, Gus Dur pernah berkata “Bom Bali 2002, mungkin ada campur tangan polisi atau angkatan bersenjata,” dan aku tidak bertanggungjawab atas apa yang terjadi kepadamu di malam itu, bukan perbuatanku.
Lebih jelasnya lagi Gusdur pernah berkata “Polisi atau pejabat militer Indonesia mungkin telah memainkan peran dalam pemboman Bali tahun 2002”, itu ada di laman SMH (Sydney Morning Herald), buka saja semoga itu berguna buatmu dan linknya masih berlaku.
Kejadian demi kejadian di negeri ini selalu menarik untuk ditulis kepadamu. Kau tahu, aku Islam dan aku tidak menyembahmu. Itu nafsuku bukan iman. Kalau boleh aku mengatakan, kau perempuan yang radikal, dik. Karena kau telah selingkuh dengan lelaki masa lalumu saat sementara kau menjadi kekasihku.
Kau tahu apa itu radikal, itu kau! Kau keras, kolot dan fanatik terhadap mantan kekasihmu itu. Kau katakan padaku kau masih mencintainya, itu kenyataan yang berat tapi aku kuat.
Hingga saat ini, aku masih berusaha keras mencari cara menangkal dan melawan radikal. Para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu pun belum menemukan faktor-faktor yang bekerja secara pasti dibalik radikalisme.
Aku juga mencari tahu proses apa yang terjadi hingga kau bersedia mengorbankan nyawamu sendiri untuk melakukan aksi ‘teror’ itu. Aku sarankan kepadamu, jangan persempit persepsimu tentang radikal. Meski banyak media yang memberitakan keradikalan mengacu kepada penganut ‘cinta’, sehingga cinta lain pun menggeneralisir anggapan ‘cinta’ tersebut adalah sumber radikal.
Aku teringat lagu ‘cinta ini kadang-kadang tak ada logika,’ yang dilantunkan Agnez Monica (Agnez Mau Mo), seakan membenarkan ribuan kisah cinta bahwa cinta bisa membunuh akal pikiran, menghilangkan nyawa dan membuat kamu melakukan bom bunuh diri.
Cintaku padamu bukan cinta yang tak berdasar, bukan hanya taklid buta dan termakan dokrin-doktrin sesat, dalam suatu sekte maupun aliran ideologi cinta yang tidak jelas. Mari kau waraskan diri, bercinta dengan hati dan akal, bukan dengan kelamin dan belaian.
Mereka menganggap cinta adalah sumber paham terorisme. Ini seperti dalam film 3 (Alif Lam Mim), dimana tahun 2036 cinta dilarang dibahas. Atas nama liberalisme, yang dianggap dapat menjaga perdamaian, cinta dan atributnya tidak boleh disebutkan di ranah publik.
Sedikit lagi, jika saat ini radikalisme bermakna mercon, radikalisme di tahun 2036 itu bermakna bom. Tokoh-tokoh populer seperti Richard Dawkins dan Sam Harris, mungkin juga lelakimu menyalahkan ideologi cinta sebagai penyebab utama terorisme.
Sayangku, cinta itu seperti virus yang memanipulasi otak manusia untuk mengorbankan segala sumber daya yang mereka punya (termasuk nyawa, sedikitnya harta dan harga diri). Itu sama seperti Dawkins dalam bukunya The God Delusion memandang cinta seperti virus yang memanipulasi manusia untuk mengorbankan segala sumber daya yang mereka punya (termasuk nyawa).
Demi eksistensi Cinta itu sendiri, bodoh, aish! Begitu pula Sam Harris dalam The End of Faith memandang kitab suci sebagai sumber intoleransi dan kekerasan terhadap orang-orang yang berbeda cinta.
Padahal sebetulnya, memahami persoalan ini tidak sesederhana itu dan tidak semua orang suka berpikir hal-hal dengan tidak sederhana. Aksi terorisme dan radikalisme lebih kompleks dari sekedar narasi ideologis. Lebih kompleks dari sekedar Undang-Undang Terorisme yang baru disahkan DPR. Lebih kompleks dari rilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lebih kompleks dari urusan I Love You dan I Love You Too.
Isu global abad 21 ini harus kau pahami bahwa radikalisme itu disebabkan karena persepsi cemburu buta. Konflik antara aku dan mantan kekasihmu, misal. Persepsi cemburu buta dapat memicu kebencian terhadap orang lain yang dianggap “penjahat”. Saat kau sudah menganggap orang lain sebagai penjahat, maka kekerasan terhadap orang itu terlegitimasi.
Tapi aku tak sejahat itu.
Identitas seseorang yang merasa dirinya terancam juga menjadi sebab radikalisme. Kau mulai paham maksudku, aku tidak ingin identitasku baik secara individu maupun sosial. Aku harus hidup dengan tujuan dan mimpi-mimpi, walaupun telah 75% kau hancurkan. Dulu hidup kurasa begitu bermakna, sayang, dan kau mengubahnya. Ketidakbermaknaan hidup akan mengancurkan diriku, jika aku tidak kuat.
Kau pun begitu, ketidakbermaknaan membuatmu lari kepadaku saat itu. Aku bukan tokoh cinta radikal atau teroris mampu memberikan makna hidup yang kau cari. Kau bodoh! Aku tak bisa main ‘teror’, atau ‘bom’ denganmu. Aku tidak tahu. Ketika kau sadari dia lebih menjanjikan keselamatan dalam cinta, nikmat mendapat gurihnya surga. Kau bahkan bukan pahlawan karena yang perlu kau lakukan hanyalah melakukan aksi ‘teror’ atas nama cinta.
Lebih parahnya lagi, kau mengatakan bahwa terorisme yang kau lakukan sebagai perbuatan bermoral. Aksi ‘teror’ bisa dilegitimasi dan membawa dampak baik bagi hubungan percintaan sehingga memiliki justifikasi moral. Kau tahu, mereka yang mendukungmu berpikir bahwa aksi teror bisa memperluas pengaruh cinta dan meningkatkan kekuatan ideologi pecintaan di dunia.
Nampaknya kau makin bodoh, sayang.. Isme itu bukan tindakan, tapi menunjukkan sebuah ideologi atau paham. Ocehanku diatas.. kau bingung? Terorisme, radikalisme, cintaisme, cabarisme dan seterusnya itu sengaja diciptakan. Menciptakan tentu memakai bahan-bahan dan modal. Yah.. katakanlah.. konspirasi. Artinya perlu deradikalisasi. Itu dibutuhkan agar kita tak menjadi korban dari radikalisme itu sendiri.
Kau harus berdaya atas pikiranmu sendiri, bodoh! Kita bahas lain kali saja soal pernyataan Gusdur bahwa Polisi atau pejabat militer Indonesia mungkin telah memainkan peran dalam aksi-aksi terorisme. Maap.