jlk – Pemilihan umum (pemilu) seharusnya menjadi sarana bagi rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan mereka.
Namun, di banyak negara, pemilu justru menjadi ajang kecurangan, manipulasi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Mari kita simak beberapa kisah nyata dari berbagai belahan dunia, yang menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi di hadapan kepentingan politik yang tidak bermoral.
Surat Suara yang Sudah Tercoblos
Salah satu bentuk kecurangan pemilu yang paling sering terjadi adalah surat suara yang sudah tercoblos sebelum pemungutan suara berlangsung. Hal ini biasanya dilakukan oleh oknum-oknum yang bekerja sama dengan pihak tertentu, baik itu partai politik, calon, atau pemerintah yang berkuasa.
Salah satu contoh kasus yang mengejutkan adalah yang terjadi di Madura, Indonesia, pada tahun 2024. Sehari sebelum pemilu, sekelompok warga menemukan bahwa surat suara yang disimpan di sebuah TPS sudah tercoblos oleh anggota KPPS. Warga pun marah dan mengadakan protes, yang berujung pada kericuhan dan penangkapan beberapa orang.
KPU Sampang mengklaim bahwa itu adalah kesalahpahaman, dan bahwa surat suara tersebut adalah surat suara cadangan yang tidak digunakan. Namun, banyak yang meragukan penjelasan ini, dan menuding adanya upaya untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Kasus serupa juga terjadi di beberapa negara lain, seperti di Chili pada tahun 2017, di Kenya pada tahun 2017, dan di Nigeria pada tahun 2019. Di Chili, seorang wanita ditangkap karena mencoblos ratusan surat suara untuk kandidat presiden Sebastián Piñera.
Seorang anggota parlemen Kenya ditangkap karena kedapatan memiliki ribuan surat suara yang sudah dicoblos untuk mendukung Uhuru Kenyatta sebagai presiden. Seorang pria Nigeria juga ditangkap karena memiliki 700 surat suara yang sudah dicoblos untuk memilih Muhammadu Buhari sebagai presiden.
Hak-hak pemilih yang sebenarnya dirugikan oleh surat suara yang sudah tercoblos, dan integritas pemilu pun terganggu.
Hasil pemilu bisa dipengaruhi oleh surat suara yang sudah tercoblos, apalagi jika jumlahnya banyak dan tersebar di berbagai daerah.
Konflik dan kekerasan bisa terjadi akibat surat suara yang sudah tercoblos, jika ada pihak yang merasa dicurangi dan tidak menerima hasil pemilu.
Disinformasi dan Intimidasi
Selain surat suara yang sudah tercoblos, ada juga bentuk kecurangan pemilu yang lebih halus, tapi tidak kalah berbahaya, yaitu disinformasi dan intimidasi.
Disinformasi adalah informasi yang disebarkan dengan sengaja atau tidak sengaja, yang tidak benar, menipu, atau tidak tepat, untuk mempengaruhi pandangan atau tindakan pemilih.
Intimidasi adalah tindakan yang bermaksud untuk menakuti, menggertak, atau memaksa pemilih agar memilih atau tidak memilih kandidat tertentu.
Disinformasi dan intimidasi bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti media sosial, media massa, SMS, telepon, selebaran, poster, spanduk, atau bahkan tatap muka. Disinformasi dan intimidasi bisa ditujukan kepada pemilih secara individu atau kelompok, tergantung pada sasaran dan tujuannya.
Beberapa contoh disinformasi dan intimidasi yang pernah terjadi di dunia adalah sebagai berikut:
Di Chili, pada tahun 1988, rezim diktator Augusto Pinochet melakukan kampanye disinformasi untuk menggagalkan referendum yang menentukan apakah ia akan tetap berkuasa atau tidak.
Rezim Pinochet mengeluarkan iklan-iklan televisi yang menakut-nakuti rakyat dengan ancaman kekacauan, kekerasan, dan komunisme jika mereka memilih “tidak”.
Rezim Pinochet juga mengintimidasi para pendukung “tidak” dengan menangkap, menyiksa, dan membunuh mereka. Namun, upaya ini gagal, dan rakyat Chili memilih “tidak” dengan mayoritas 56%.
Di Kanada, pada tahun 2011, ada kasus yang disebut sebagai “robocall scandal”, di mana sejumlah pemilih menerima panggilan telepon otomatis yang memberikan informasi yang salah tentang lokasi TPS.
Panggilan-panggilan ini diduga berasal dari Partai Konservatif, yang ingin mengurangi jumlah pemilih yang mendukung partai-partai lain.
Kasus ini menimbulkan kontroversi dan tuntutan hukum, namun tidak ada bukti yang cukup untuk membuktikan keterlibatan Partai Konservatif.
Di Amerika Serikat, pada tahun 2020, ada banyak kasus disinformasi dan intimidasi yang terjadi sebelum dan sesudah pemilu.
Salah satunya adalah klaim palsu yang disebarkan oleh Presiden Donald Trump dan pendukungnya, bahwa ada kecurangan pemilu yang meluas, terutama melalui surat suara pos. Klaim ini tidak memiliki bukti yang kuat, dan ditolak oleh pengadilan dan pejabat pemilu.
Namun, klaim ini berhasil memecah belah opini publik dan memicu aksi protes dan kekerasan, termasuk penyerbuan gedung Capitol oleh massa pro-Trump.
Disinformasi dan intimidasi adalah ancaman serius bagi demokrasi, karena mereka bisa merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu, dan mengganggu hak-hak dasar pemilih untuk mendapatkan informasi yang benar dan memilih secara bebas.
Disinformasi dan intimidasi juga bisa memicu polarisasi, konfrontasi, dan ketidakstabilan politik, yang bisa berdampak negatif bagi kesejahteraan dan keamanan rakyat.
Pembelian Suara
Bentuk kecurangan pemilu lain yang cukup umum adalah pembelian suara, atau politik uang. Ini adalah praktik di mana seorang kandidat atau partai politik memberikan uang atau barang lain kepada pemilih, dengan imbalan mereka harus memilih kandidat atau partai tersebut.
Pembelian suara bisa dilakukan secara terang-terangan atau diam-diam, tergantung pada tingkat penegakan hukum dan kesadaran masyarakat.
Pembelian suara adalah bentuk korupsi politik yang merugikan demokrasi, karena ia mengurangi kemandirian dan rasionalitas pemilih, dan mengubah pemilu menjadi transaksi ekonomi. Pembelian suara juga merugikan kesejahteraan rakyat, karena ia menghabiskan anggaran publik untuk kepentingan pribadi, dan mengurangi kualitas pelayanan publik yang seharusnya diberikan oleh pemerintah.
Pembelian suara merupakan praktik yang merugikan demokrasi dan hak asasi manusia, namun masih banyak terjadi di berbagai negara, antara lain:
- Indonesia: Pembelian suara sering dilakukan dengan cara memberi uang atau barang kepada pemilih, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Pembelian suara juga bisa berupa pemberian bantuan atau proyek yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Meskipun ada undang-undang yang melarang dan menghukum pembelian suara, praktik ini masih sulit dihapuskan, karena banyak pelaku dan penerima yang tidak sadar akan dampaknya.
- Filipina: Pembelian suara juga menjadi masalah besar dalam pemilu di Filipina. Beberapa kandidat memberi uang, makanan, atau barang lain kepada pemilih, dengan harapan mereka akan setia kepada kandidat tersebut. Pembelian suara di Filipina tidak hanya mengganggu proses pemilu yang adil, tetapi juga memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi, karena pemilih miskin lebih mudah terpengaruh oleh praktik ini.
- Rusia: Pembelian suara dilakukan dengan cara yang lebih terstruktur dan terencana. Pada pemilu presiden 2018, misalnya, pemerintah memberi insentif finansial kepada pegawai negeri dan pensiunan, jika mereka memilih untuk Vladimir Putin. Pembelian suara di Rusia tidak hanya memperkuat kekuasaan pemerintah yang berkuasa, tetapi juga menghalangi perkembangan demokrasi dan keberagaman politik.
Kesimpulan
Pemilu yang curang adalah bahaya bagi demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Pemilu yang curang bisa menurunkan kepercayaan publik pada proses pemilu, menghalangi hak-hak dasar pemilih, dan menimbulkan konflik dan ketidakstabilan politik.
Pemilu yang curang juga bisa memberi keuntungan kepada pihak-pihak yang tidak bermoral dan korup, dan merugikan pihak-pihak yang jujur dan berintegritas.
Untuk mencegah pemilu yang curang, kita perlu melakukan reformasi pemilu, penegakan hukum, pendidikan politik, dan partisipasi masyarakat. Reformasi pemilu bisa mencakup perubahan aturan pemilu, pengawasan pemilu, dan teknologi pemilu.
Penegakan hukum bisa mencakup hukuman bagi pelaku pemilu yang curang, dan perlindungan bagi korban pemilu yang curang. Pendidikan politik bisa mencakup penyuluhan tentang hak-hak pemilih, dan pelatihan tentang etika pemilu. Partisipasi masyarakat bisa mencakup pengawasan pemilu oleh masyarakat, dan advokasi untuk reformasi pemilu.
Dengan langkah-langkah ini, kita bisa memastikan bahwa pemilu adalah cara bagi rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, bukan arena kecurangan, manipulasi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan langkah-langkah ini, kita bisa membangun demokrasi yang sesungguhnya, yang didasarkan pada kehendak rakyat, bukan kepentingan politik yang tidak bermoral. Dengan langkah-langkah ini, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik bagi kita semua.