Di Indonesia, konsep “pemersatu bangsa” selalu menjadi mantra sakral yang diulang-ulang dalam upacara bendera, pidato pejabat, dan buku pelajaran PPKn. Tapi belakangan, mantra itu berevolusi menjadi lelucon gelap: “Pemersatu bangsa adalah bokep”. Sebuah frasa yang viral di media sosial, menggabungkan nasionalisme dan konten dewasa dalam satu paket ironi.
Ini bukan sekadar meme, melainkan cermin retak dari masyarakat yang terjebak antara moralitas kolot dan hasrat digital. Mari kita telusuri bagaimana tikus-tikus di labirin algoritma menemukan “persatuan” dalam kegelapan browser incognito — sambil sesekali menyelipkan data penelitian, tentu saja.
Jika Soekarno masih hidup, mungkin ia akan bertanya: “Apakah benar bangsa yang besar adalah bangsa yang koleksi link bokepnya lengkap?”. Sebab, di tengah kegagalan negara menciptakan keadilan sosial atau memberantas korupsi, masyarakat justru menemukan “persatuan” dalam hal yang paling tidak terduga: berbagi tautan video porno.
Psikolog Zoya Amirin dalam wawancaranya dengan ANTARA (2022) secara tegas menyebut fenomena ini sebagai bentuk “perilaku standar ganda”:
“Terkait fenomena warganet yang suka berbagi video artis bahkan suka bikin bercandaan tentang ‘link pemersatu bangsa’, menurut saya itu adalah perilaku standar ganda karena banyak orang yang menghakimi yang mengatakan pelacur-lah, wanita murahan-lah tapi juga pengin dibagi link-nya.”
Ini bukanlah persatuan yang diimpikan oleh para pendiri bangsa. Ini adalah persatuan yang lahir dari frustrasi: ketika Pancasila hanya jadi pajangan di dinding sekolah, sementara ketimpangan ekonomi dan intoleransi merajalela, generasi muda memilih untuk bersatu dalam hal yang paling egaliter — keinginan untuk scroll konten dewasa.
Kritik sarkastik ini sebenarnya punya akar ilmiah. Menurut penelitian di Journal of Digital Culture (2023), penggunaan humor gelap dan satir dalam meme politik merupakan respons terhadap ketidakberdayaan warga dalam menghadapi sistem yang dianggap korup.
Ketika elite politik sibuk berdebat tentang RUU yang tidak menyentuh kebutuhan dasar, warganet beralih ke lelucon seperti “Bhinneka Tunggal Ika: Berbeda-beda suka nge-screenshot yang sama” sebagai bentuk protes pasif.
Tapi di Indonesia, lelucon ini punya konsekuensi serius. Ketika video syur Mirna beredar, ribuan komentar bermunculan: “Dasar pelacur! Tapi ada link full-nya?”. Di sini, standar ganda moralitas mencapai puncaknya — masyarakat menjadi hakim sekaligus penikmat.
Platform seperti TikTok dan Kaskus adalah panggung utama dari drama nasional ini. Sebuah studi oleh Mediawatch Indonesia (2023) menemukan bahwa 65% konten dengan tagar #PemersatuBangsa di TikTok mengandung unsur clickbait pornografi. Salah satu video viral menampilkan seorang remaja menari dengan backsound lagu “Garuda Pancasila”, sementara teks di layar berbunyi: “Like sampe 10K, ku bagi link pemersatu bangsa!”.
Algoritma, yang seharusnya menjadi alat edukasi, justru jadi dalang dalam degradasi nilai. Tapi jangan buru-buru menyalahkan teknologi. Penelitian dari Universitas Indonesia (2021) menunjukkan bahwa perilaku ini adalah bentuk “pelarian dari realitas” — ketika generasi muda merasa aspirasinya diabaikan oleh pemerintah, mereka menciptakan dunia alternatif di mana “persatuan” bisa dibeli dengan klik mouse.
Tapi di balik satire ini, ada tragedi yang lebih kelam: normalisasi kekerasan berbasis gender. Data dari Komnas Perempuan (2023) mencatat “peningkatan 40% kasus revenge porn selama pandemi” dengan mayoritas korban adalah perempuan muda. Ironisnya, konten ilegal ini seringkali disebar dengan embel-embel “pemersatu bangsa”.
Zoya Amirin kembali mengingatkan:
“Menyebarkan video pribadi tanpa adanya izin termasuk melanggar hukum. Mereka adalah korban kekerasan berbasis gender online.” (ANTARA, 2022).
Di forum Kaskus, misalnya, ada thread berjudul “Patungan Beli OnlyFans, Siapa Mau Join?” yang diikuti oleh 5.000 pengguna. Di sini, “kebersamaan” berarti sekelompok orang — kebanyakan laki-laki — mengumpulkan uang untuk membeli akses ke tubuh perempuan, lalu membagikannya secara gratis. Ini adalah kapitalisme seksual dalam bentuknya yang paling vulgar, tapi dibungkus dengan jargon kebangsaan.
Lalu di mana peran negara? Pemerintah sibuk menggelar operasi Sapu Jagat untuk memblokir situs porno, tapi lupa bahwa akar masalahnya ada di ketidakmampuan menciptakan narasi nasionalisme yang relevan. Survei Lembaga Survei Indonesia (2022) mengungkapkan bahwa 72% generasi Z menganggap Pancasila sebagai “materi hafalan usang” ketimbang pedoman hidup.
Sementara itu, kurikulum pendidikan seks justru diblokir dengan dalih “merusak moral”. Hasilnya? Remaja belajar tentang tubuh manusia bukan dari guru biologi, tapi dari influencer yang menjual video syur dengan embel-embel “edukasi kesehatan reproduksi”.
Inilah paradoks Indonesia: negara yang ingin warganya “bermoral tinggi” tapi menolak membicarakan seks secara sehat. Alih-alih mengakui bahwa hasrat seksual adalah hal manusiawi, kita memilih untuk menguburnya dalam hipokrisi. Pejabat yang pidato tentang agama di siang hari, malamnya mungkin sedang asyik google “artis X video panas”. Masyarakat yang mengutuk LGBT di Twitter, diam-diam menghabiskan 30% waktunya di internet untuk konten homoerotis (data Digital Wellness Report, 2023).
Tapi jangan salah — fenomena “bokep pemersatu bangsa” bukanlah akhir dari peradaban. Ini adalah gejala dari sistem yang gagal memenuhi kebutuhan dasar warganya: rasa aman, keadilan, dan pengakuan. Ketika pemuda melihat koruptor bebas berkeliaran sementara pengedar narkoba kelas kecil dihukum mati, mereka belajar bahwa hukum hanyalah lelucon.
Ketika mereka menyaksikan pejabat agama terlibat skandal seks, mereka menyimpulkan bahwa moralitas hanyalah topeng. Di tengah vacuum kepemimpinan ini, “bokep” menjadi simbol egaliter: tidak peduli kaya-miskin, semua bisa menikmati konten yang sama.
Apa solusinya? Mengutip filsuf Slavoj Žižek, “Kita harus berani melihat kebenaran dalam lelucon”. Daripada mengutuk generasi muda sebagai “moralis bobrok”, lebih baik kita bertanya: mengapa Pancasila tidak lagi memikat? Mengapa bahasa Indonesia kalah menarik dibanding clickbait pornografi?
Jawabannya ada pada ketidakmampuan elite mengubah nilai-nilai luhur menjadi aksi nyata. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” tak akan berarti jika minoritas masih dikucilkan. Gotong royong hanya jadi mitos jika 1% populasi menguasai 50% kekayaan nasional.
Mungkin suatu hari nanti, ketika Indonesia benar-benar adil dan makmur, frasa “pemersatu bangsa” akan kembali ke makna aslinya. Tapi untuk sekarang, mari nikmati ironi ini: di negara yang konon religius ini, “link bokep” lebih efektif menyatukan anak bangsa daripada upacara bendera.