Pada pertengahan abad ke-20, berbagai eksperimen dalam pemerintahan demokratis terjadi di Asia, dengan negara-negara mencari alternatif terhadap model demokrasi liberal Barat. Dua sistem yang menonjol yang muncul selama periode ini adalah Demokrasi Terpimpin di Indonesia di bawah Presiden Sukarno dan konsep Demokrasi Konsultatif yang paling banyak diterapkan di China.
Kedua sistem ini mewakili upaya untuk menyesuaikan prinsip-prinsip demokrasi dengan konteks budaya, sejarah, dan politik yang spesifik, meskipun dengan hasil yang sangat berbeda. Laporan ini mengkaji kedua model pemerintahan ini, dasar filosofisnya, implementasi praktis, dan warisan yang ditinggalkan.
Munculnya Demokrasi Terpimpin: Visi Sukarno untuk Indonesia
Konteks Sejarah dan Pembentukan
Demokrasi Terpimpin Sukarno muncul dari apa yang ia lihat sebagai kegagalan demokrasi parlementer bergaya Barat untuk berfungsi efektif di Indonesia.
Setelah pemilu 1955 yang menghasilkan parlemen yang terpecah antara kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dari partai-partai PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan PKI, Indonesia menghadapi kebuntuan politik dan ketidakstabilan.
Sukarno, yang semakin gelisah dengan posisinya sebagai simbol, mencari sistem pemerintahan yang diyakini lebih mencerminkan nilai-nilai dan tradisi Indonesia.
Pada 5 Juli 1959, Sukarno mengeluarkan dekrit presiden yang mengembalikan UUD 1945, secara resmi membentuk sistem Demokrasi Terpimpin yang akan bertahan hingga 1966.
Dekrit ini dikeluarkan setelah upaya-upaya Sukarno untuk kembali ke UUD 1945 melalui jalur parlementer gagal mencapai mayoritas dua pertiga yang diperlukan di majelis konstituante. Dekrit ini menandai berakhirnya eksperimen singkat Indonesia dengan demokrasi parlementer dan dimulainya struktur pemerintahan yang lebih terpusat.
Dasar Teoritis dan Pembenaran
Sukarno membenarkan Demokrasi Terpimpin dengan klaim bahwa sistem tersebut berakar pada prinsip-prinsip pemerintahan adat Indonesia.
Ia berargumen bahwa di tingkat desa, masalah penting tradisionalnya diselesaikan melalui musyawarah yang bertujuan mencapai mufakat di bawah bimbingan para tetua desa.
Dalam model ini, Sukarno memposisikan dirinya sebagai setara dengan tetua desa, membimbing bangsa menuju konsensus, bukan kekuasaan mayoritas.
Sukarno mengembangkan sistem ini di sekitar prinsip-prinsip USDEK-nya:
- Undang-Undang Dasar ’45 (Konstitusi 1945)
- Sosialisme Indonesia
- Demokrasi Terpimpin
- Ekonomi Terpimpin
- Kepribadian Indonesia
Kerangka ini mewakili upaya Sukarno untuk menciptakan masyarakat sosialis ala Indonesia yang menggabungkan elemen-elemen Marxisme, nasionalisme, dan Islam, mencerminkan filosofi politiknya sendiri.
Struktur Politik dan Dinamika Kekuasaan
Demokrasi Terpimpin secara fundamental mengubah lanskap politik Indonesia dengan memusatkan kekuasaan pada presidennya.
Sukarno membubarkan parlemen yang terpilih dan menggantinya dengan yang baru di mana setengah anggotanya ditunjuk oleh presiden. Sistem ini menciptakan struktur kekuasaan segitiga dengan tiga aktor utama: Sukarno sebagai presiden, Tentara Nasional Indonesia (TNI AD), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Periode ini menyaksikan kebangkitan PKI sebagai kekuatan politik dominan di samping meningkatnya peran Tentara dalam urusan sosial-politik.
Sukarno mempertahankan posisinya dengan memainkan kekuatan-kekuatan ini satu sama lain – bekerja sama dengan Tentara untuk mengendalikan partai politik, sementara pada saat yang sama melindungi PKI.
Aksi penyeimbangan ini mencerminkan ketidakamanan politik pribadi Sukarno, karena ia “merasa terancam oleh kemungkinan Tentara mengambil alih kekuasaan.”
Penentangan terhadap struktur kekuasaan ini dengan cepat ditindas. Partai-partai yang kuat menentang PKI, terutama Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dibubarkan oleh Sukarno dengan alasan mendukung pemberontakan regional di Sumatra dan Sulawesi.
Krisis Ekonomi dan Kejatuhan
Era Demokrasi Terpimpin bertepatan dengan kemerosotan ekonomi yang sangat parah di Indonesia. Pada awal 1960-an, Indonesia mengalami inflasi yang parah yang mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan – hampir 1200% per tahun pada awal 1966.
Keruntuhan ekonomi diperburuk oleh kebijakan luar negeri Sukarno yang konfrontatif, khususnya kampanye “Konfrontasi” melawan Malaysia dan penarikan diri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pendapatan sektor perkebunan Indonesia anjlok dari 442 juta dolar AS pada tahun 1958 menjadi 330 juta dolar AS pada tahun 1966, sementara inflasi melebihi 100% per tahun antara 1962 dan 1965. Inflasi ini sebagian besar didorong oleh pemerintah yang mencetak uang dalam jumlah besar untuk membayar utang dan proyek ambisius seperti Monumen Nasional (Monas).
Pada 1965-1966, rakyat biasa Indonesia menghadapi kesulitan ekonomi yang parah, dengan gaji bulanan yang sebelumnya cukup untuk menutupi pengeluaran sebulan kini hanya cukup untuk 2-3 hari.
Kebijakan ekonomi Sukarno, ditambah dengan kepemimpinan yang semakin tidak menentu dan ketegangan politik yang berkembang antara Tentara dan PKI, pada akhirnya berkontribusi pada keruntuhan sistem tersebut setelah peristiwa 30 September 1965.
Pada Maret 1967, Sukarno digulingkan dari kekuasaan dan ditempatkan di bawah tahanan rumah hingga meninggal pada tahun 1970.
Demokrasi Konsultatif China: Konsep dan Praktik
Asal Usul dan Perkembangan
Demokrasi Konsultatif dalam konteks China mewakili pendekatan yang berbeda terhadap pemerintahan demokratis dalam kerangka sosialisme. Berbeda dengan eksperimen singkat Indonesia dengan Demokrasi Terpimpin, sistem konsultatif China telah berkembang selama beberapa dekade dan terus berkembang hingga hari ini.
Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China (CPPCC), yang didirikan pada tahun 1949, menjadi kendaraan institusional utama bagi demokrasi konsultatif, yang melambangkan “pembentukan resmi sistem kerjasama multiparty yang dipimpin oleh CPC dan konsultasi politik.”
Dasar teoritis dari demokrasi konsultatif China “secara bertahap dikembangkan berdasarkan kritik terhadap teori demokrasi konsultatif Barat.” Para pendukungnya berargumen bahwa sistem ini memiliki akar yang dalam dalam budaya tradisional China sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip Marxis. Perspektif ini memposisikan demokrasi konsultatif sebagai inovasi asli China, bukan konsep Barat yang diimpor.
Kerangka Institusional dan Implementasi
Model demokrasi konsultatif China beroperasi terutama melalui sistem CPPCC, yang menciptakan saluran terstruktur untuk konsultasi di berbagai tingkat pemerintahan.
Proses konsultasi ini digambarkan sebagai “proses untuk mempromosikan demokrasi, menghimpun kebijaksanaan, berbagi…” Sistem ini bertujuan untuk memasukkan berbagai perspektif dari “semua sektor masyarakat” sambil mempertahankan peran kepemimpinan Partai Komunis China.
Di tingkat dasar, organisasi CPPCC provinsi telah mempelopori pendekatan inovatif untuk memperluas praktik konsultatif ke dalam pemerintahan dasar.
Misalnya, CPPCC Provinsi Jiangsu menciptakan “platform praktis untuk mempromosikan negosiasi nyata” yang menghubungkan badan-badan konsultatif dengan struktur pemerintahan lokal.
Pendekatan ini “mengembangkan definisi negosiasi primer dan menciptakan kesempatan bagi CPPCC tingkat dasar untuk meningkatkan pemerintahan akar rumput.”
Aplikasi Kontemporer dan Klaim Keunggulan
Para pendukung demokrasi konsultatif China menggambarkannya sebagai “demokrasi seluruh proses” yang memprioritaskan hasil material daripada formalitas prosedural.
Mereka membandingkannya dengan sistem demokrasi Barat, yang mereka anggap lebih berfokus pada proses pemilu daripada hasil substantif.
Dalam pandangan ini, demokrasi konsultatif memungkinkan warga untuk “suara mereka didengar, dan kebutuhan komunitas langsung dibawa ke pemerintah.”
Sistem ini mencakup mekanisme seperti “Biro Negara untuk Surat dan Panggilan,” yang digambarkan sebagai “saluran resmi dan LANGSUNG bagi individu atau kelompok untuk menyampaikan keluhan, kritik, dan kebutuhan atau permintaan yang belum terpenuhi kepada CPC tingkat tinggi.”
Para pendukungnya berargumen bahwa ini menciptakan saluran lebih langsung untuk masukan warga dibandingkan dengan sistem demokrasi Barat.
Perbandingan Dua Model Demokrasi Alternatif
Dasar Ideologis dan Struktur Kekuasaan
Baik Demokrasi Terpimpin maupun Demokrasi Konsultatif muncul sebagai alternatif terhadap demokrasi liberal Barat, tetapi dari akar ideologis yang berbeda. Sistem Sukarno menggabungkan konsep-konsep asli Indonesia dengan sintesis nasionalisme, sosialisme, dan agama yang dimilikinya sendiri.
Model China secara eksplisit terhubung dengan teori Marxis sementara mengklaim memiliki akar dalam praktik pemerintahan tradisional China.
Perbedaan yang penting terletak pada umur dan stabilitas institusional mereka. Demokrasi Terpimpin Sukarno hanya bertahan kurang dari satu dekade dan runtuh di tengah krisis ekonomi dan kekerasan politik. Sistem konsultatif China telah berkembang lebih dari tujuh dekade dan terus mengembangkan mekanisme institusional baru.
Kedua sistem memusatkan otoritas—model Sukarno berpusat pada kepemimpinan pribadinya dan model China berpusat pada panduan Partai Komunis.
Namun, sistem China mencakup lebih banyak mekanisme institusional terstruktur untuk konsultasi di berbagai tingkat pemerintahan, sementara Demokrasi Terpimpin lebih bergantung pada otoritas pribadi Sukarno dan keseimbangan kekuatan yang bersaing.
Hasil Ekonomi dan Efektivitas Pemerintahan
Hasil ekonomi dari kedua sistem ini berbeda secara dramatis. Demokrasi Terpimpin bertepatan dengan kehancuran ekonomi di Indonesia, dengan hiperinflasi mencapai 636% dan kesulitan ekonomi yang meluas.
Seperti yang dicatat oleh seorang komentator Reddit, “dari gaji sebulan bisa cukup buat makan sebulan jadi cuma cukup buat makan 2~3 hari” (gaji bulanan yang sebelumnya cukup untuk pengeluaran makanan bulanan kini hanya cukup untuk 2-3 hari).
Kebijakan ekonomi Sukarno dicirikan oleh proyek-proyek ambisius tanpa dukungan finansial yang cukup dan posisi internasional yang semakin terisolasi setelah menarik diri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menolak bantuan Barat.
Solusinya terhadap inflasi yang merajalela adalah dengan “mengurangi denominasi mata uang lagi,” yang mencerminkan manajemen ekonomi yang buruk.
Di sisi lain, sistem konsultatif China beroperasi berdampingan dengan perkembangan ekonomi yang signifikan, meskipun laporan ini lebih berfokus pada aspek politik daripada hasil ekonomi model China.
Partisipasi Warga dan Representasi
Kedua sistem mengklaim menyediakan representasi yang lebih otentik daripada model demokrasi Barat. Sukarno berargumen bahwa Demokrasi Terpimpinnya lebih mencerminkan tradisi musyawarah dan mufakat desa Indonesia.
Demikian juga, para pendukung demokrasi konsultatif China mengklaim bahwa itu menciptakan partisipasi warga yang lebih bermakna daripada demokrasi elektoral.
Namun, mekanisme aktual mereka untuk masukan warga berbeda secara substansial. Model Sukarno semakin memusatkan kekuasaan di sekitar presidennya dan membatasi suara oposisi, terutama dengan membubarkan partai-partai yang menentang kebijakan-kebijakannya.
Model China telah mengembangkan saluran institusional yang lebih terstruktur untuk konsultasi, terutama di tingkat lokal, meskipun dalam kerangka kepemimpinan satu partai.
Kesimpulan
Demokrasi Terpimpin Sukarno pada akhirnya mewakili kisah peringatan tentang sistem pemerintahan yang dipersonalisasi. Meskipun ada pembenaran filosofis dalam tradisi-tradisi asli, sistem ini menciptakan struktur kekuasaan yang volatile yang bergantung pada penyeimbangan kekuatan yang bersaing oleh Sukarno.
Ditambah dengan manajemen ekonomi yang buruk, sistem ini terbukti tidak berkelanjutan dan mengarah pada salah satu transisi politik yang paling traumatis di Indonesia.
Pengalaman Demokrasi Terpimpin terus bergaung dalam wacana politik Indonesia. Sebagaimana dicatat oleh salah satu komentator, mengenai transisi politik Indonesia: “Emang kayak cycle keliatannya” (Sepertinya benar-benar sebuah siklus), yang menunjukkan pola di mana krisis ekonomi berulang kali memicu transisi politik, sebagaimana terlihat dalam kejatuhan Sukarno dan kemudian Suharto.
Sementara itu, Demokrasi Konsultatif China mewakili model demokrasi alternatif yang lebih terinstitusionalisasi yang telah menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi yang lebih besar.
Meskipun perdebatan terus berlanjut tentang efektivitas dan representativitasnya dibandingkan dengan sistem demokrasi liberal, sistem ini telah menciptakan struktur pemerintahan yang lebih stabil dibandingkan dengan eksperimen singkat Indonesia dengan Demokrasi Terpimpin.
Kedua sistem ini menyoroti pencarian yang berkelanjutan untuk model-model demokrasi yang sesuai dengan konteks budaya, sejarah, dan politik tertentu. Meskipun mereka sangat berbeda dalam implementasi dan hasil, mereka berbagi premis dasar bahwa demokrasi tidak perlu mengikuti model liberal Barat untuk menjadi sah.
Namun, perbedaan yang tajam dalam jalur mereka menunjukkan pentingnya desain institusional, manajemen ekonomi, dan struktur kekuasaan yang seimbang dalam sistem pemerintahan apapun, terlepas dari dasar filosofisnya.