Dalam ironi yang membusuk di tengah demokrasi palsu ini, ada negara yang rela menjejalkan dompet para wakil rakyatnya dengan kekayaan yang menjadikannya penguasa tertinggi keempat di dunia dalam hal pendapatan, sementara guru—sosok yang katanya memegang kunci masa depan bangsa—justru diganjar dengan upah yang hina, nyaris mengemis di peringkat kedua terbawah dunia.
Ini bukan sekadar kesenjangan, ini adalah pengkhianatan terhadap akal sehat dan moralitas sosial. Fenomena ini membuktikan bahwa narasi politik telah menjelma menjadi panggung sandiwara yang menjijikkan, di mana kebenaran dan kepentingan rakyat dibungkam oleh hiruk-pikuk kekuasaan dan hedonisme legislatif.
Dengan menempatkan anggota DPR di puncak piramida ekonomi, sementara guru terjebak di dasar, kita menyaksikan sebuah anomali struktural yang memperlihatkan prioritas negara yang begitu menyimpang.
Sebuah negara yang mengklaim peduli pada pendidikan, tetapi pada kenyataannya hanya memberi penghargaan pada mereka yang pandai bersilat lidah di gedung parlemen, bukannya mereka yang berkeringat di ruang kelas, mengajar anak-anak dengan harapan kosong.
Ini menunjukkan bahwa negara lebih peduli pada retorika politik dan kenyamanan para pejabatnya daripada memastikan masa depan yang cerah bagi generasi mendatang.
Mungkin, di sini, negara tersebut perlu bertanya pada dirinya sendiri: apa yang lebih penting, menjamin kemewahan bagi segelintir orang yang duduk di kursi empuk parlemen, atau memastikan bahwa mereka yang membentuk pikiran anak-anak bangsa ini dapat hidup dengan martabat?
Atau, pertanyaan ini mungkin sudah lama mereka jawab dengan tindakan mereka, bahwa dalam neraca mereka, bobot politik lebih berat daripada pendidikan, dan kepentingan elite lebih penting daripada kemajuan masyarakat.
Keputusan untuk memberikan gaji DPR yang melambung tinggi di atas awan sementara guru terjebak di lumpur menunjukkan ketidakpedulian sistemik terhadap nilai pendidikan.
Inilah bukti paling nyata dari sebuah negara yang secara moral bangkrut, terperangkap dalam korupsi struktural, di mana uang lebih diutamakan daripada kebijakan yang adil dan manusiawi.
Ini bukan sekadar masalah ekonomi atau politik, ini adalah masalah moral, di mana negara tersebut telah memilih untuk menghianati pendidikannya sendiri, mengkhianati masa depannya sendiri.
Tentu, jika kebijakan ini terus berlanjut, kita tidak perlu lagi terkejut jika bangsa ini kelak akan menjadi budak dari keserakahan dan kebodohan, akibat kebijakan yang dengan dingin dan sinis melupakan guru, pemimpin sejati dari setiap kemajuan yang pernah dicapai manusia.