Kita bicara soal generasi Z—generasi yang katanya lahir dengan smartphone di tangan, yang bisa mengoperasikan segala macam perangkat digital sejak masih pakai diapers. Realitas yang lucu sekaligus ironis mulai mencuat dari kegelapan layar smartphone mereka yang terus-menerus berpendar.
Generasi ini, yang begitu bangga dengan kemampuan multitasking-nya—membuka lima aplikasi sekaligus, mendengarkan podcast sambil scrolling TikTok—ternyata tidak lebih dari sekadar pengguna pasif teknologi.
Betul, pengguna, bukan pencipta, bukan inovator, dan bahkan bukan pemahaman dasar tentang cara kerja teknologi itu sendiri. Dan ini, sayangnya, menciptakan fenomena baru yang kita sebut sebagai tech shame.
Kita mulai dengan fakta mengejutkan: lebih dari separuh Gen Z bahkan tidak tahu bagaimana cara menggunakan komputer di luar kebutuhan sekolah atau kerja mereka yang paling mendasar.
Mereka nyaman di dunia aplikasi, tapi tanya mereka soal command prompt, VPN, atau bahkan bagaimana cara menyelamatkan file yang corrupt—mendadak wajah mereka pucat pasi seolah menghadapi ujian matematika mendadak.
Inilah ironinya, ketika generasi yang begitu terobsesi dengan teknologi, ternyata sama sekali tidak tahu cara teknologi itu bekerja di balik layar. Mereka bisa mengoperasikan smartphone layaknya pengendali remote, tapi di balik itu, mereka tidak lebih dari sekadar penonton di bioskop teknologi yang canggih.
Sementara itu, generasi sebelumnya, yang kita sering ejek sebagai “boomer” atau “Gen X yang gaptek,” ternyata jauh lebih fasih dalam hal dasar-dasar teknologi.
Mereka yang tumbuh dengan DOS, yang tahu rasanya mengatur setting BIOS, atau bahkan merakit komputer dari nol—mereka ini justru yang memiliki pengetahuan teknis yang lebih mendalam.
Generasi sebelumnya, meski tak secepat Gen Z dalam merespons notifikasi, setidaknya memahami bahwa teknologi bukanlah sulap, tapi hasil dari rangkaian logika yang bisa dipelajari, dimengerti, dan dimodifikasi.
Mengapa ini terjadi? Salah satunya adalah karena teknologi hari ini terlalu user-friendly, terlalu disesuaikan untuk menjadi nyaman, sehingga tantangan dalam memahami dasar-dasar teknologinya sendiri hilang. Gen Z lebih banyak menghabiskan waktu sebagai konsumen, bukan kreator.
Mereka tidak perlu lagi memahami cara kerja sistem operasi, cara coding, atau cara jaringan bekerja, karena semua sudah tersedia dalam bentuk aplikasi yang tinggal di-download dan digunakan.
Tidak heran, saat teknologi yang mereka gunakan setiap hari mengalami masalah, banyak dari mereka yang kebingungan, bingung karena dunia teknologi yang mereka anggap sebagai bagian integral dari hidup mereka ternyata adalah dunia yang tidak mereka pahami sama sekali.
Dan di sinilah istilah tech shame itu lahir—rasa malu yang muncul ketika kesadaran akan ketidakmampuan mereka mengoperasikan teknologi dengan mendalam mulai menggerogoti harga diri mereka.
Munculnya rasa malu ketika mereka menyadari bahwa generasi sebelumnya, yang sering dianggap ketinggalan zaman, justru lebih menguasai aspek fundamental dari teknologi yang mereka andalkan setiap hari.
Ironi ini memberikan pelajaran penting: bahwa kecepatan tidak selalu berbanding lurus dengan pemahaman, dan kenyamanan sering kali datang dengan harga yang tak terlihat—kehilangan kemampuan dasar untuk mengerti dan memanipulasi teknologi di luar batasan yang diberikan oleh para raksasa teknologi.
Generasi Z mungkin jago dalam berselancar di dunia digital, tapi ketika arus deras perubahan teknologi datang, banyak dari mereka yang hanyut tanpa bisa berenang melawan arus.
Jadi, apa yang harus dilakukan? Mungkin sudah waktunya bagi Gen Z untuk mengesampingkan sejenak filter Instagram mereka, dan mulai mengotori tangan mereka dengan koding, belajar memahami apa yang terjadi di balik layar kaca yang selama ini mereka anggap sebagai jendela dunia.
Karena di dunia yang semakin digital ini, yang memiliki pengetahuan teknis yang mendalam akan selalu berada di puncak—dan puncak itu tidak bisa dicapai hanya dengan menggeser layar smartphone ke kiri dan ke kanan.