Pernah, bahkan sering, saya memotivasi teman-teman sepengopian untuk berjaga jarak dengan penguasa. Karena mereka adalah para mahasiswa. Artinya, mereka generasi bangsa di masa depan.
Dalam celoteh gratis saya tersebut, saya seolah-olah bersikap apatis terhadap politik atau seolah-olah anti terhadap penguasa. Jadi teruskan membaca tulisan ini hingga akhir.
Nah, yang saya ajak bicara kebetulan adalah seorang aktifis, dan mungkin itu anda yang sedang membaca tulisan ini. Saya tahu pemikirannya lahir dari salah satu organisasi besar mahasiswa Indonesia, bukan dari literasi.
Dia ingin aktif di politik, lembaga politik atau partai politik. Usianya masih muda, meski dia tidak sekampus dengan saya, dan matanya memberi isyarat bahwa dia sangat terobesesi ketika diajak ngobrol soal politik.
Samar-samar terlihat sel dalam pikirannya adalah tentang kehendak akan kekuasaan. Bagi saya, politik rentan kotor, dan menjadi politisi harus memiliki prinsip kebijaksanaan terlebih dahulu.
Intonasi suara saya mulai naik, bayangkan, pasalnya dia sarjana ekonomi syariah dan dia juga sedang berwirausaha. Kamu mau nyari makan dari sana? Mau ngekor dulu sama penguasa? Mau pikiranmu diracuni oleh kekuasaan? Dan bla bla.. saya cecar dia dengan banyak pertanyaan.
Singkatnya, saya marahi dia habis-habisan malam itu. Kita bisa menoleh ke peradaban Islam sejenak. Umat Islam pernah memimpin dunia dengan tingkat peradaban yang tinggi. Sains berkembang pesat mencapai puncak keemasannya. Itu terjadi pada 750 M sampai 1258 M atau sekitar 5 abad lebih 8 tahun.
Masa keemasan itu diabdikan oleh film berjudul 1001 Invention. Eropa menyebut sebagai zaman kegelapan, padahal cahaya kemajuan terbentang dari Spanyol hingga China. Peradaban Islam itu bersumbangsih besar pada dunia modern lebih daripada apa yang dapat orang bayangkan.
Ada sosok ilmuan Al-jazari, penemu mesin. Ibn al-Haitam, penemu kamera pertama di dunia. Abbas bin Firnas, penemu pesawat (1000 tahun sebelum Orville dan Wilbur Wright). Abu al-Qasim al-Zahrawi, bapak pembedahan. Jabir bin Hayyan, bapak ilmu kimia. Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, penemu aljabar dan algoritma. Ibnu Khaldun, bapak sosiologi.
Masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan nama-nama yang disebutkan di atas tidak hanya menguasai dalam satu bidang ilmu saja atau polymath. Tidak jarang dari karya mereka membahas filsafat, fiqih, tasawuf, dan lain sebagainya.
Kita percaya bahwa sains dapat membawa perubahan besar dalam sejarah umat Manusia. Sainslah yang membawa Eropa meninggalkan Zaman Kegelapan pada abad ke-14. Sedangkan, dunia Islam justru berada pada Zaman Keemasan sepanjang abad 8 sampai abad 11. Sains berkembang dengan pesat dan para saintis mendapatkan posisi terhormat. Karya keras mereka, masih bisa kita rasakan hingga sekarang.
Pesatnya perkembangan sains kala itu, disebabkan oleh kondisi sosial dan politik dimana ulama dan kaum intelektual menjaga jarak dari penguasa. Mereka bergandengan dengan kaum pedagang. Karena faktanya, banyak dari ilmuan dan keluarga ilmuan bekerja dalam perniagaan. Kedekatan dengan kaum pedagang adalah untuk menjaga independensi mereka. Sehingga, dedikasi mereka hanya untuk agama dan ilmu pengetahuan.
Hal ini berbanding terbalik dengan sini. Di Indonesia ada MUI. Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama dan cendekiawan Islam di Indonesia. Namun sayang, MUI tidak bisa lepas dari pengaruh pemerintah di zamannya.
Ada juga LIPI yang memang mengerjakan ilmu pengetahuan pesanan pemerintah dalam menyelenggarakan penelitian dan pengembangan, harus sesuai dengan keinginan pemerintah. Sepanjang perjalanannya, tak ada dampak yang benar-benar berorientasi pada kemajuan.
Dan ada juga teman saya tersebut. Salah satu dari banyak anak muda terpelajar, sarjana, aktifis saya temui. Pantas untuk dicurigai, bahwa aktivis mahasiswa hari ini, yang lantang menolak mengkritik penguasa, belajar dari pengalaman generasi aktivis sebelum mereka agar tidak terjebak di lubang yang sama. (Baca: Jerat Kuasa).
Sampai disini, saya tidak menampik bahwa generasi muda harus meneruskannya. Itu sebuah kelaziman. Tapi persoalannya, kedalaman keilmuan dan kematangan karakter harus diutamakan. Hal itu akan berpengaruh besar terhadap kebijakan dan keputusannya nanti. Penguasa atau politisi yang mengedepankan ilmu pengetahuan serta memiliki karakter yang baik akan membawa sebuah negara menuju peradaban yang tinggi.
Kau akan semakin paham, saat sains semakin terpinggirkan, kualitas kehidupan semakin mengalami keterpurukan. Faktanya, banyak ilmuwan hengkang ke luar negeri. Penyebab utamanya adalah kebutuhan Indonesia terhadap para talenta sains yang masih terbatas dan alhasil, Indonesia nyaris jadi negara gagal.
Meskipun kita percaya, bahwa sains lah yang mengubah dan memperbaiki kehidupan manusia menuju peradaban yang tinggi dan saat banyak negara berlomba-lomba bersaing dalam bidang sains, Indonesia sedang sibuk sendiri.
Apakah karena di mata penguasa, semua bidang ilmu terlihat sama saja dan sama-sama dianggap tidak berguna kalau tidak sesuai dengan kepentingan politik mereka?
Kuatnya posisi gereja di segala bidang kehidupan masyarakat Eropa saat itu, menyebabkan stagnasi atau bahkan kemunduran ilmu pengetahuan. Mirip dengan kondisi sekarang, anak muda tidak memiliki visi yang jelas untuk membangun peradaban Indonesia.
Kemudian diperparah dengan tingkat intelektualitas yang kian menurun. Sedikit kaum terpelajar yang ingin meningkatkan kualitas pengetahuan masyarakat. Sibuk sendiri, terbawa dalam arus, tertekan ekonomi, monoton dan lain sebagainya. Hidup dalam kondisi sosial politik yang begini, men-trap kaum terpelajar untuk menyerah pada kemajuan. Terlalu rumit jika memikirkan masa depan jika diukur dari besarnya pemasukan.
Kondisi itu juga yang menyebabkan teman saya ingin berkarir di politik. Menurutnya, hanya mereka yang memiliki kedudukan di dalam kekuasaan menjadi sangat makmur secara ekonomi. Wajar, kaum elitis tua memang cari makannya dari politik.
Saya pun menyarankan, minimal sudah punya pendapatan 10 juta per bulan, baru masuk ke lingkaran kekuasaan, tapi dia tidak mengikuti saran saya. Saya sudah beritahu dia, bahwa penguasa cenderung korup dan tidak bermoral. Kekuasaan cenderung dibangun dengan cara yang tidak mulia.
Jaga jarak menjadi perlu, biar ilmu yang dikembangkan benar-benar untuk kepentingan publik bukan untuk kepentingan politik praktis.
Jika di abad pertengahan dulu domainnya adalah para ulama, maka sekarang domainnya adalah pemuda yang identik dengan kemampuan berpikirnya ‘beda’ dengan generasi tua. Mohon maaf, domain ulama saat ini lebih identik dengan ahli agama, bukan sains. Kondisi ini dipengaruhi oleh pengotakan ilmu agama dan umum. Seperti MUI dan LIPI karya pemerintah.
Ada banyak ulama yang saat ini menduduki kekuasaan. Dampaknya bisa kita lihat, pemimpin agama yang memimpin, fokusnya berubah ke pengembangan ilmu agama dan memberi ruang terbatas atau kehilangan fokus untuk pengembangan sains.
Sekali lagi, jaga jarak dengan penguasa. Ini penting bagi anda yang sedang belajar, menimba dan memperdalam ilmu. Juga penting bagi anda yang kini berbisnis. Tanamkan dalam diri anda bahwa anda tidak akan tergoda. Ingat, bisnis itu menyatukan, sedangkan politik dan kekuasaan itu memisahkan. Bisnis itu tentang keuntungan, sedangkan politik dan kekuasaan itu tentang kepentingan.
Politik dan kekuasaan itu nomor tiga, nomor satu itu sains, lalu bisnis, kemudian kekuasaan. Domain negara harus berpisah dari domain swasta. Dekat dengan kekuasaan memang tidak berdampak negatif. Namun pengalaman empiris di negara berkembang, menunjukkan, kemungkinan tabiat koruptif dari dwifungsi itu justru semakin membesar.
Jaga jarak bisa dimulai sekarang! Jangan jadi pemuda yang tumbuh karena hubungan mesra dengan rezim. Tumbuhlah menjadi anak muda yang mencintai pengetahuan bukan mencintai kekuasaan.
Sekian, catatan singkat menjelang isya’. Saya tidak anti penguasa, saya hanya hanya tidak suka gado-gado.