K. Dardiri Zubairi yang terhormat,
Saya tahu jika tulisan ini dibaca publik mungkin banyak ditentang. Sebab, ajunan adalah tokoh dan kyai yang beda kasta dengan saya sebagai orang biasa. Terkadang diskusi kritis, apalagi dalam tulisan menjadi asbab dari dituduh sebagai tak beradab. Saya yakin kyai berbeda dari yang sudah-sudah. Ada banyak diskusi dalam kepala yang ingin saya sampaikan di antara kita, tapi sayangnya saya tidak punya waktu untuk sowan karena sibuknya bertahan di tengah gempuran kehidupan. Maka, dalam tulisan daring ini lebih baik saya sampaikan.
Terkadang diskusi kritis, apalagi dalam tulisan menjadi asbab dari dituduh sebagai tak beradab
Tulisan Anda pada 16 Mei 2025 di Facebook tentang penolakan alih fungsi sawah di Gapura Timur patut diapresiasi. Tak banyak kyai—mungkin 1 dari 1000—yang bicara topik bumi dan manusianya, bukan cuma langit, tuhan, dan bidadari. Argumentasi hukum berbasis Perda PLP2B, kekhawatiran ekologis atas limbah RSUD, dan kegusaran atas absennya sosialisasi menunjukkan komitmen autentik pada petani. Tulisan Anda adalah bentuk advokasi yang mirip mindset aktivis LSM pada umumnya. Maaf itu pola atau caranya perjuangannya serupa.
Jika yang menghendaki pendirian itu justru didukung oleh kyai, apakah ada pertimbangan dan penolakan demikian, alias jika misalnya salah satu lembaga atas nama otoritas keagamaanlah yang mau mendirikan dan direstui oleh para kyai, apakah masih terjadi diskusi kritis semacam itu?. Sudah jamak terjadi, terkadang kepentingan sesama kasta tetap di bela walaupun salah.
Dalihnya peduli masyarakat bawah, tapi apakah benar-benar tahu bagaimana asin peluh mereka? Apakah benar-benar merasakan derita hidup mereka dalam setiap helaan nafasnya?. (Baca: Sangkar Besi Agama).
Saya teringat sebuah ungkapan dari pidato Laksamana William H. McRaven kepada para wisudawan Universitas Texas di Austin, bahwa jika ingin mengubah dunia, rapikan dulu tempat tidurmu.
Disinilah paradox dimulai, Kyai, lembaga pendidikan yang Anda pimpin—Pesantren Nasy’atul Muta’allimin beserta Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)-nya—justru menjadi mesin “pembunuh” masa depan pertanian yang Anda perjuangkan.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan tanpa niat menjelekkan lembaga yang dilahirkan dari perjuangan panjang, saya ingin kritik tetap tumbuh sehat. Fakta bahwa 99.9% petani di Gapura Timur berusia di atas 50 tahun bukan kebetulan.
Ini kegagalan sistemik pendidikan yang membentuk imajinasi generasi muda. ‘Petani’ dianggap sebagai profesi berakhir nasib. Pak Kyai bisa tanya ke orang tua murid atau riset ilmiah: apa jawaban mereka? siapa orang tua petani yang ingin anaknya jadi petani. atani atana’ – adagang adaging sudah basi.
Saya tidak ingin menuduh, tapi seperti di banyak sekolah, Nasy’atul Muta’allimin menggambarkan “kesuksesan” sebagai kerja kantoran berseragam, sepatu mengkilap, atau jadi PNS (ponggaba), alim hingga jadi tokoh masyarakat, jadi dosen. Bahasa ponggaba masih saya dengar pertama kali tahun 2020 sebelum maraknya TikTok dan adanya pilihan lazimnya merantau ke Jakarta. Tak ada ruang bagi kebanggaan memegang cangkul.
Pelajaran agama terpenjara dalam ritual ibadah individual, tanpa koneksi pada etika ekologi Islam seperti konsep hifzh al-bi’ah. Anak-anak diajari menghafal Surat An-Nahl ayat 11 tentang Allah yang menumbuhkan tanaman, tapi tak pernah diajak menyentuh tanah tempat ayat itu turun. Sekolah menjadi pabrik pencetak mimpi urban, bukan penjaga kearifan agraris desanya sendiri. Pendidikan ala kadarnya (norok kapra) yang berhenti di leher. Tapi yaa.. ini masalah subsistem pendidikan kita.
Paradoks ini mengerucut di STAI Nasy’atul Muta’allimin. Jurusan Ekonomi Syariah disiapkan untuk mencetak bankir di sektor keuangan. Secara praktis, lulusan STAINAS prospek kerjanya ya di LKS seperti BMT. Padahal dari ratusan pelamar kerja di BMT hanya butuh segelintir, itupun masih bisa pakai orang dalam.
Lantas, apa masalah pertanian yang bisa diselesaikan Jurusan Ekonomi Syariah? Ketika musim panen, petani harus ngutang dulu untuk biaya panen—ada yang ke BMT, ke nyakanyak, atau lintah darat. Adanya BMT justru tidak membuat lintah darat dan rentenir makin sedikit. Malah muncul pelaku baru yang tercerahkan dari pengalaman menjadi nasabah BMT.
Ini jauh lebih amburadul.
Apalagi jurusan Tasawuf. Bagaimana mungkin bisa belajar fokus pada penyucian jiwa individual yang asing dari problem kolektif petani? Ketika harga jual hasil tani rendah, bertani cuma ‘untungnya gak rugi’. Dihadapkan pada anak yang mau beli sepeda listrik karena sekali diajak ke swalayan, atau hasil panen yang jadi jaminan bayar hutang. Percayalah, cerita semacam itu banyak meski tak ‘selalu‘ terdengar di kompolan-kompolan RT.
Apakah nasib, tekanan hidup, dan frustasi ini bisa diselesaikan Psikoterapi? Di tengah desa yang hidup dari jagung-kacang tanah, tak ada satu pun mata kuliah tentang fiqh perlindungan lahan, teknologi irigasi berbasis nilai Islam, atau psikologi petani marginal. Lulusan Tasawuf dan Psikoterapi prospek kerjanya cuma penasihat agama, konsultan, atau terapis—tapi masyarakat masih lebih percaya dukun.
Ilmu yang diajarkan justru memperkuat arus urbanisasi. Santri lulusan STAI akan hijrah ke kota, meninggalkan sawah yang kelak mereka warisi. Semakin “alim” seorang santri, semakin jauh dari realitas akar rumput. Jika keturunan kyai atau menantu kyai, ia akan mewarisi pesantren; jika dari keluarga biasa, ia terjebak sebagai “kasta tengah”—bukan petani, bukan ulama berpengaruh. Pesantren yang seharusnya jadi benteng perlawanan kapitalisasi lahan, justru menjadi penghasil elit baru yang asing dengan lingkar pertanian.
Kegagalan ini bukan monopoli STAI Anda. Pendidikan tinggi pertanian di Indonesia pun terjangkit penyakit serupa. Sarjana pertanian dididik jadi PNS atau karyawan BUMN, bukan agropreneur. Data Kemenaker (2024) menunjukkan 21.7% lulusan pertanian menganggur karena kampus gagal membangun mental wirausaha. Gelar S1 jadi batu loncatan keluar dari profesi bertani.
Ironisnya, di lembaga keagamaan seperti STAI Anda, jurusan pertanian dianggap tak cukup “syar’i”. Lebih bergengsi mengurusi uang syariah di bank daripada pangan syariah di sawah. Stigma ini diperparah kurikulum yang menempatkan petani sebagai simbol kemiskinan, bukan pahlawan kedaulatan pangan.
Di sinilah letak paradoks perlawanan Anda. Anda bersuara lantang menyelamatkan 8 hektar sawah dari RSUD, tapi diam membiarkan lembaga Anda membunuh regenerasi petani. Advokasi hanya bersifat reaktif—menolak proyek—bukan transformatif dengan menciptakan petani muda berilmu. Perlawanan tanpa pembangunan pengetahuan bagai memagari kuburan. Lahan terlindungi, tapi masa depannya mati.
Sawah itu bukan sekadar tanah; ia ruang hidup tempat anak-anak bermain layangan, keluarga petani bertahan hidup, dan komunitas merajut kebudayaan. Setuju kyai. Menyelamatkannya dari betonisasi tapi membiarkannya terlantar oleh kurikulum yang meminggirkan nilai pertanian, adalah kekalahan lebih tragis.
Jika pesantren serius membela petani, revolusi kurikulum harus dimulai sekarang. MI, MTs, dan MA perlu menambah pelajaran “Kewirausahaan” dengan “Agro-Ekologi Praktis” ya misalnya anak-anak diajak praktik budidaya jagung di lahan sekolah, proyek akhirnya membantu petani meningkatkan produktivitas.
STAI wajib membuka Jurusan Agribisnis Syariah dengan mata kuliah fikih perlindungan lahan, teknologi irigasi berbasis hadis, dan ekonomi pangan berkeadilan. Laboratorium benih unggul halal harus didirikan untuk riset varietas tahan krisis iklim.
Pesantren bisa mengalokasikan tanah wakaf untuk demplot pertanian berkelanjutan, membuka posko pendampingan hukum petani, atau merintis pasar digital hasil tani syariah. Dengan cara ini, santri tak cuma membaca kitab kuning, tapi juga “kitab kuning”-nya tanah—tingkat keasaman, kesuburan, dan siklus air.
Kyai Dardiri, suara Anda melawan RSUD penting. Tapi jika tak dibarengi transformasi pendidikan di pesantren sendiri, ia akan jadi monumen kekalahan. Sawah tak cukup diselamatkan dari alat berat—ia perlu diselamatkan dari kurikulum yang membunuh kebanggaan memegang cangkul (AKA alat pertanian).
Sudah waktunya pesantren beralih dari penonton jadi solusi, mencetak bukan cuma ahli ekonomi syariah untuk bank dan koperasi simpan pinjam, tapi juga ahli pangan syariah untuk sawah desa.
Bukankah ekonomi syariah tak melulu soal mudharabah, musyarakah, BBA, murabahah? Tapi bagaimana menerapkannya dalam ekosistem halalan thayyiban dari hulu ke hilir. Di tangan Andalah perubahan itu bisa dimulai, bangun STAI yang tak menjual mimpi urban, tapi menumbuhkan kebanggaan ‘anak petani mari menanam’ sama bangganya dengan ‘anak kyai mari mengaji’.
Gapura Timur, 28 Juni 2025
____________________
Update: Salah seorang teman menghubungi saya bahwa tulisan ini bikin gaduh alumni, mohon maaf saya tidak menerima undangan tabayyun dalam bentuk pertemuan. Tulisan harus dibalas dengan tulisan. Lantas kalau para pembaca bertanya apa motifnya? membela Fauzi? Cari Muka? Ditunggangi?. Saya tidak kenal Fauzi Wongso, secara administratif dia memang bupati saya, tapi secara prinsip belum pantas!. Cari muka? iya dan tidak, iya karena memang setiap orang punya kecendrungan alamiah ke arah sana, tidak karena gak terbesit sebagai desire dalam diri penulis. Ditunggangi? satu-satunya motif yang jelas adalah traffic ke situs ini, situs ini dibiayai sendiri, tanpa advertorial atau kontrak politik. Kepentingan yang jelas adalah kepentingan konversi dari monetisasi adsense.