Kata Siapa Masalah Petani dan Pertanian itu ‘Gara-Gara’ Negara Saja?

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 7 Mnt
Pesantren dan Sektor Pertanian Indonesia, Pertanian Bukan Masalah Struktural Saja (Ilustrasi)
Pesantren dan Sektor Pertanian Indonesia, Pertanian Bukan Masalah Struktural Saja (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Oh, betapa kita suka menyalahkan struktural! Negara emang brengsek dan semua sudah tahu itu, gak perlu lagi seminar membahas masalah. Karena masalahnya ada di akar. Negara brengsek itu juga buah dari akar yang gagal. Mereka dulunya juga aktifis mengkritik negara dengan pola yang sama, tapi pada akhirnya? juga jadi pelakunya.

Yah, kita perlu meminimalkan ketergantungan pada birokrasi yang kacau, tak perlu menuntut apapun, asalkan negara membiarkan saja warganya berkembang sendiri, jangan ganggu, dan jangan usik. Biarin aja, baru kalau negara mengganggu dilawan. Prinsip asal negara gak ganggu ini yang perlu dipikirkan langkah gerakannya.

Apa yang bisa kita lakukan sementara gak bisa menunggu negara hadir untuk memperbaiki?. Agar tak setiap kali melihat lahan hijau berubah jadi beton, atau mendengar keluhan petani soal harga jual yang jatuh, jari kita otomatis menunjuk ke “kebijakan negara yang tidak berpihak.”

Seolah-olah, petani adalah korban pasif dari sebuah skenario besar yang ditulis oleh para pejabat di gedung tinggi. Tentu sekali lagi negara itu brengsek, tapi mari kita akui, ada juga faktor non-struktural yang tak kalah (bahkan mungkin lebih) mematikan bagi sektor pertanian kita: pilihan pribadi dan tren gaya hidup.

Bayangkan saja. Siapa, di zaman serba digital ini, yang ingin menghabiskan pagi buta di sawah, berlumur lumpur, berhadapan dengan nyamuk, dan pulang dengan punggung pegal? Sementara di genggaman tangan, ada dunia yang menawarkan kopi kekinian, influencer dengan jutaan followers, dan kesempatan untuk “bekerja dari mana saja” dengan laptop.

Tentu saja, “petani milenial” itu romantis di feed Instagram, tapi berapa banyak yang benar-benar bertahan jika harus berhadapan dengan cuaca ekstrem atau panen gagal?

Ini bukan lagi soal negara tidak menyediakan pupuk atau subsidi yang adil. Ini soal, “Apa yang lebih menarik?” Apakah membajak sawah di bawah terik matahari, atau duduk di kafe dan ruangan ber-AC sambil merancang startup yang konon akan “merevolusi” sesuatu?.

Apakah berkutat dengan hama yang tak pernah tamat, atau bermain game online yang menawarkan level up instan dan kepuasan semu? Mari kita akui, hasrat untuk meraih kepuasan instan dan kemudahan hidup jauh lebih menggoda daripada kesabaran dan kerja keras yang diminta oleh pertanian.

Dan mari kita bahas pendidikan. Seringkali, kurikulum kita seolah hidup di planet lain, tidak nyambung sama sekali dengan realitas di lapangan. Anak-anak diajari rumus-rumus fisika yang rumit, sejarah revolusi industri di Eropa, atau teori-teori ekonomi global yang abstrak.

- Advertisement -

Ambil contoh, pelajaran biologi sekolah SD/MI itu jauh dari topik pertanian, padahal sekolahnya mewah (mepet sawah). Tapi, jarang sekali mereka diajari bagaimana cara bercocok tanam yang benar, bagaimana memahami siklus musim, atau bagaimana mengelola lahan warisan agar tetap produktif.

Lagi-lagi itu salah negara dengan segala kurikulumnya. Dan sekolah manut-manut saja yang penting dana bantuan cair lembaga. Melawan bukan sekedar narasi, tapi melakukan perubahan kecil (small changes).

Pernahkah anda mendengar bantuan alat pertanian dari pemerintah yang dijual kembali?, atau pernahkan anda mendengar petani pinjam uang ke lembaga koperasi katanya untuk modal tani, eh malah dipakai hal lain?.

- Advertisement -

Sekolah-sekolah pertanian? Ya, memang sudah ada. Tapi berapa banyak lulusannya yang benar-benar kembali ke desa untuk bertani? Jangan-jangan, mereka justru mencari pekerjaan di kota, karena merasa ilmunya “terlalu tinggi” untuk sekadar mengurus sawah. Mereka sudah terlanjur tercerabut dari akar sosialnya sudah berjarak sejak baru lahir dari rahim ibunya.

Anda tahu kan, memang jalan tolnya sama tapi tujuannya beda. Kenapa tujuannya beda? ya emang udah dari lahir dicetak begitu. “Belajar sana, jangan ikut bapak ke sawah,” begitu kata seorang bapak begitu anaknya yang masih paud meregek ingin ikut ke sawah.

Pendidikan kita kerap kali mencabut anak dari akarnya, bukannya memperkuat ikatan mereka dengan lingkungan dan potensi lokal. Ia justru menciptakan imajinasi tentang karier gemilang di gedung-gedung tinggi, bukan di tengah hamparan padi.

Lalu, soal anak muda yang “tercerabut dari akar budayanya.” Apakah benar-benar hanya karena kebijakan yang menghancurkan imajinasi mereka? Atau jangan-jangan, imajinasi mereka memang sudah terbang jauh ke angkasa, menembus batas-batas sawah dan ladang, menuju kantor-kantor bergengsi di pusat kota, atau bahkan ke panggung-panggung hiburan?.

Media sosial, film, dan televisi tak henti-hentinya menampilkan gambaran kesuksesan yang glamor, yang jauh dari kesan “petani” yang, mohon maaf, seringkali diasosiasikan dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Sudah tahu kan, kalau anak-anak di sekolah itu diasuh Tiktok?

Bahkan ketika ada tawaran menggiurkan untuk alih fungsi lahan, seringkali itu bukan paksaan belaka. Itu adalah kesepakatan sukarela! Petani, yang selama ini mungkin hanya bisa bermimpi memiliki motor baru atau merenovasi rumah, tiba-tiba dihadapkan dengan tumpukan uang tunai.

Siapa yang bisa menolak? Ini bukan lagi tentang idealisme menjaga warisan leluhur, tapi tentang survival dan optimasi keuntungan pribadi di tengah pasar yang kejam. Kalaupun ada “penghancuran imajinasi”, mungkin itu bukan sepenuhnya ulah negara, tapi juga dampak dari bagaimana masyarakat modern mendefinisikan “sukses.”

Jadi, sudahlah. Jangan terlalu naif beranggapan bahwa semua masalah pertanian akan selesai hanya dengan perubahan struktur atau kebijakan. Ada faktor-faktor psikologis, sosiologis, dan individual yang jauh lebih kompleks.

Petani, pada akhirnya, adalah manusia biasa yang juga punya mimpi, punya preferensi, dan ingin hidup nyaman. Dan jika kenyamanan itu tidak bisa ditemukan di lumpur sawah, kenapa harus memaksakan diri? Mungkin, inilah era di mana pertanian harus menemukan cara baru untuk menarik hati, bukan sekadar menunggu uluran tangan dari “struktur” yang sering kita salahkan.

Memerintahan yang baik adalah fondasi penting, tetapi pendidikan rakyat adalah pilar yang menopang stabilitas dan kemajuan jangka panjang. Tanpa rakyat yang cerdas, kritis, dan berpengetahuan, bahkan niat terbaik dari pemerintah pun akan sulit diwujudkan secara optimal.

Pendidikan adalah investasi vital yang tidak hanya menghasilkan individu yang lebih baik, tetapi juga masyarakat yang lebih tangguh dan berdaya.

Share This Article