jlk – Seolah hidup kurang dramatis, lima anggota Nahdlatul Ulama (NU) berangkat ke Israel, lalu pulang membawa badai kontroversi.
Entah mereka menyangka akan mendapatkan sambutan hangat atau bukan, yang jelas, kunjungan tersebut memicu reaksi keras dari PBNU.
Tak butuh waktu lama, PBNU menerbitkan surat cinta berisi larangan kerja sama dengan lembaga yang berafiliasi dengan Israel.
Ah, cinta memang buta, tapi kebijakan ini jelas tak buta arah.
Kisah Lama yang Diungkit Kembali
Seperti ungkapan bijak, “yang lama-lama makin berharga”, surat instruksi ini ternyata bukan barang baru. Sebelumnya, di era KH Said Aqil Siroj, kebijakan serupa sudah dikeluarkan.
Lalu, mengapa diungkit kembali? Tampaknya, pertemuan dengan Presiden Israel Isaac Herzog menjadi pemicu. Kalau kata orang tua dulu, “kecil jadi kawan, besar jadi lawan”.
Kebijakan lama ini pun diperkuat kembali agar tidak ada celah bagi hubungan yang dianggap merugikan.
Lima Ksatria atau Pengkhianat?
Siapa sih mereka yang berani nekat ke Israel? Syukron Makmun, Zainul Maarif, Munawar Aziz, Nurul Bahrul Ulum, dan Izza Annafisah Dania.
Kelimanya seperti ksatria yang berangkat ke medan perang, hanya saja mereka bukan pulang membawa kemenangan, tapi kontroversi.
Mereka mengklaim perjalanan ini atas nama pribadi dan difasilitasi LSM. Entah ada misi apa di baliknya, yang jelas, PBNU tidak tinggal diam.
Tegas dan Tak Tergoyahkan
Wakil Ketua Umum PBNU, H Amin Said Husni, menegaskan kembali bahwa larangan kerja sama dengan lembaga yang berafiliasi dengan Israel masih berlaku dan tidak pernah dicabut.
PBNU tampaknya ingin memastikan bahwa tidak ada celah bagi interpretasi lain, bahkan dalam situasi yang paling samar sekalipun.
Bagi PBNU, ini bukan sekadar soal politik internasional, tetapi soal prinsip dan martabat organisasi.
Mengapa Israel? Mengapa Sekarang?
Pertanyaan yang menggelitik adalah mengapa kunjungan ini terjadi sekarang, di tengah situasi yang memanas di Gaza.
Lebih dari 38.800 orang tewas, termasuk 15.000 anak-anak. Mengapa lima nahdliyin ini memilih momen paling buruk untuk lawatan tersebut?
Apakah ada motif tersembunyi, atau ini sekadar kebodohan yang berujung pada konsekuensi berat?
Tidak Ada Ruang untuk Negosiasi
Dampaknya jelas: kelima nahdliyin ini menghadapi dua pilihan sulit – mundur atau dimundurkan. Sekretaris Jenderal PBNU, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, dengan tegas menyatakan bahwa tindakan ini harus diambil untuk menjaga integritas dan keutuhan organisasi. Tidak ada ruang untuk negosiasi, tidak ada kompromi.
Selamat Tinggal Negosiasi, Selamat Datang Konsistensi
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya konsistensi dalam kebijakan, terutama yang melibatkan prinsip dasar organisasi.
PBNU telah menunjukkan bahwa mereka tidak akan mundur dari kebijakan yang telah mereka tetapkan, meskipun situasi dan tekanan berubah. Bagi kelima nahdliyin, ini adalah pelajaran keras tentang konsekuensi dari tindakan yang tidak bijaksana.
Apa yang Bisa Dipetik?
Dalam dunia yang semakin kompleks, keputusan yang kita ambil harus dipikirkan matang-matang. Pertemuan lima nahdliyin dengan Presiden Israel adalah contoh nyata dari keputusan yang salah waktu dan tempat.
Mari kita belajar dari kejadian ini dan memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil selalu berpijak pada prinsip dan kebijakan yang konsisten. Karena, pada akhirnya, konsistensi adalah kunci dari segala negosiasi.