jlk – Malam itu, pengajian diadakan dengan megah, memenuhi halaman rumah dengan jamaah yang haus akan pencerahan spiritual. Penceramah kondang mengumandangkan ayat-ayat suci, mengajak mereka yang hadir untuk merenungkan surga yang dijanjikan bagi mereka yang bertakwa.
Keesokan paginya, tanah yang sama yang semalam menjadi saksi lantunan doa-doa penuh khidmat, kini terbaring terluka, diselimuti oleh sampah plastik yang berserakan tak tentu arah. Ironi yang begitu nyata, seolah menertawakan kita di tengah usaha untuk meraih kebahagiaan abadi.
Sungguh, ketika kita berbicara tentang surga, kita membayangkan tempat yang suci dan murni, bebas dari segala kotoran dan noda. Namun, apakah kita lupa bahwa dunia ini, tempat kita hidup sekarang, adalah tanggung jawab kita bersama? Kita berbicara tentang surga di atas mimbar, tetapi bumi yang kita injak diabaikan, dibiarkan tenggelam dalam limbah yang kita ciptakan sendiri.
Plastik, benda yang seolah tak berarti dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya menyimpan malapetaka besar.
Menurut berbagai penelitian, plastik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai, bahkan hingga ratusan tahun. Dalam proses ini, plastik akan terpecah menjadi mikroplastik yang tak terlihat oleh mata telanjang.
Mikroplastik ini kemudian meresap ke dalam tanah, air, dan masuk ke dalam sistem kehidupan, meracuni makhluk hidup, termasuk kita, para manusia yang sombong dalam ketidaktahuan.
Ironi yang menyayat hati adalah bahwa kita sering berbicara tentang menjaga kebersihan hati, tetapi tidak menjaga kebersihan lingkungan.
Sampah plastik yang tertinggal setelah acara pengajian bukan hanya menjadi simbol fisik dari kerusakan lingkungan, tetapi juga representasi dari ketidakmampuan kita untuk benar-benar memahami esensi dari spiritualitas yang kita agung-agungkan.
Ketika penceramah dengan penuh semangat mengajak kita untuk mendekati Tuhan, seharusnya juga ada ajakan untuk mendekati bumi, menjaga dan merawatnya sebagai ciptaan yang harus kita lestarikan.
Dalam ilmu lingkungan, dampak sampah plastik sangat destruktif. Plastik di alam liar mengganggu kesuburan tanah, meracuni sumber air, dan membunuh satwa liar yang tanpa sadar menelannya.
Burung-burung, ikan, bahkan hewan-hewan besar seperti penyu, sering kali ditemukan mati dengan perut penuh plastik.
Ini bukan hanya masalah estetika, tetapi krisis yang mengancam kelangsungan hidup seluruh ekosistem. Dan mari kita jujur, ini bukan ulah satu dua orang, tetapi ulah kita bersama, yang lebih suka membuang masalah ini ke pundak orang lain.
Lebih dalam lagi, plastik ini juga mengancam kesehatan manusia. Ketika mikroplastik masuk ke dalam rantai makanan, kita menjadi konsumen yang tak sadar dari racun yang kita ciptakan sendiri.
Penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik telah ditemukan dalam tubuh manusia, mengendap di paru-paru, darah, dan bahkan dalam jaringan tubuh. Efek jangka panjangnya masih diteliti, tetapi risiko penyakit seperti gangguan hormonal, kanker, dan gangguan sistem imun semakin nyata.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita akan mewarisi surga setelah kehidupan ini, tetapi apakah kita bisa menjaga “surga” yang sudah kita miliki di bumi ini. Ketika gagal menjaga kebersihan lingkungan, apakah benar-benar layak mengharapkan kebersihan rohani.
Surga mungkin ada di ujung jalan bagi mereka yang beriman, tetapi sebelum kita sampai ke sana, mari pastikan bahwa kita tidak meninggalkan neraka di belakang kita, di tempat yang seharusnya menjadi warisan untuk generasi mendatang.
Pada akhirnya, sampah plastik yang berserakan setelah pengajian adalah refleksi dari kegagalan kita sebagai manusia—gagal untuk mengintegrasikan ajaran spiritual dengan tindakan nyata di dunia. Keseimbangan antara kehidupan spiritual dan tanggung jawab terhadap lingkungan harus menjadi prioritas.
Tidak ada gunanya berdoa untuk surga sementara kita menghancurkan bumi yang kita tinggali. Surga yang sejati, mungkin, bukan hanya tentang tempat yang kita tuju setelah mati, tetapi juga tentang cara kita merawat dunia ini selama kita hidup.
Maka, mulai sekarang, mari kita merenung dan bertindak. Tidak ada lagi pembenaran untuk membiarkan sampah berserakan, tidak ada lagi alasan untuk merusak bumi ini dengan tangan kita sendiri.
Surga, seperti yang diajarkan dalam banyak agama, adalah tempat yang bersih dan suci. Sudah saatnya kita mengaplikasikan konsep ini di bumi yang kita tempati sekarang, sehingga kelak, ketika waktu kita di dunia ini habis, kita meninggalkan warisan yang benar-benar layak untuk disebut surga.