Tulisan ini tayang gara-gara di dekat rumah saya, saya jumpai banner akan diadakannya pameran artefek nabi, diadakan oleh Garden Al-Manfiq—Saya tidak tahu kok pakai nama garden, padahal gak ada garden-gardennya—. Dan..
Jujur saja. Apa yang sebenarnya kita lihat di pameran artefak Nabi Muhammad? Fakta? Sejarah? Atau kebohongan murahan yang dibalut dalam aura sakral? Sebagian besar dari kita tahu jawabannya, tapi entah kenapa masih ada yang rela menelan mentah-mentah klaim konyol seperti “ini adalah surban Nabi,” “ini adalah rambut Rasulullah,” atau bahkan “ini adalah pedang beliau.” Kalau Anda percaya begitu saja tanpa bukti konkret, itu bukan hanya naif—itu memalukan.
Surban Nabi Berbeda-Beda
Mari kita mulai dengan surban Nabi. Anda bisa mencari pameran artefak di mana saja, dari Jakarta sampai Jeddah, dan Anda akan menemukan “surban Nabi” yang berbeda-beda di setiap tempat. Warna beda. Desain beda. Bahkan ukuran pun beda. Jadi, mana yang asli? Atau jangan-jangan semuanya palsu? Kalau benda ini benar-benar milik Rasulullah, bagaimana bisa tidak ada konsistensi?
Jangan bilang “ada banyak surban beliau.” Itu alasan bodoh. Fakta bahwa benda yang diklaim berasal dari satu orang bisa muncul dalam berbagai bentuk adalah bukti kuat bahwa setidaknya sebagian besar—kalau bukan semuanya—adalah palsu. Tapi apa yang dilakukan penyelenggara pameran? Mereka diam saja, memanfaatkan ketidaktahuan pengunjung, dan terus menghitung keuntungan.
Kenapa Takut Uji Ilmiah?
Ada teknologi yang bisa menentukan usia benda—carbon dating. Kenapa tidak digunakan untuk artefak ini? Oh, alasan standar: “sensitivitas religius.” Ayolah, itu omong kosong. Kalau benda ini asli, uji ilmiah justru akan membuktikannya. Tapi mereka tidak mau. Kenapa? Karena hasilnya mungkin akan menunjukkan bahwa benda itu dibuat di abad ke-19, bukan abad ke-7.
Lebih parah lagi, bahkan jika usia benda cocok dengan zaman Nabi, bagaimana kita tahu itu milik beliau? Sehelai rambut yang diklaim milik Nabi bisa saja milik Abu Lahab, Abu Jahal, atau bahkan kambing tetangga di Mekkah. Tanpa bukti DNA atau catatan sejarah yang konkret, klaim semacam itu sama sekali tidak berarti. Tapi ya, siapa peduli? Toh, emosi lebih laku dijual daripada kebenaran.
Provenans
Provenans adalah istilah keren untuk asal-usul benda. Dalam dunia sejarah, ini adalah langkah pertama sebelum Anda berani mengklaim keaslian sesuatu. Tapi coba tanyakan pada penyelenggara pameran: mana provenans untuk artefak-artefak Nabi? Jangan kaget kalau mereka hanya menatap Anda dengan wajah kosong.
Sebagian besar artefak ini tidak punya catatan asal-usul yang jelas. Bahkan, ada yang ditemukan di pasar barang antik Timur Tengah. Benar-benar masuk akal, ya? Peninggalan Rasulullah yang seharusnya disimpan dengan hati-hati malah “terdampar” di pasar gelap. Kalau Anda percaya narasi ini, serius, Anda harus mempertimbangkan ulang definisi logika Anda.
Sanad Artefak
Dalam Islam, hadis saja tidak diterima tanpa sanad. Tapi entah kenapa, standar ini tidak berlaku untuk artefak. Padahal logika sederhananya sama: kalau benda ini benar-benar milik Rasulullah, harus ada catatan yang jelas tentang bagaimana benda itu berpindah tangan dari Nabi hingga sekarang.
Masalahnya, tidak ada sanad untuk benda-benda ini. Tidak ada catatan tentang siapa yang pertama kali menyimpannya, bagaimana benda itu dipindahkan, atau siapa saja yang pernah memilikinya. Kalau sanad hadis yang lemah membuat hadis itu ditolak, kenapa standar yang sama tidak diterapkan untuk artefak?
Siapa yang Untung?
Jangan naïf. Pameran artefak ini bukan soal iman, melainkan soal uang. Penyelenggara memanfaatkan rasa cinta umat kepada Nabi untuk menjual tiket, menarik sponsor, dan mengeruk keuntungan. Mereka tahu bahwa mayoritas pengunjung tidak akan bertanya-tanya soal keaslian. Apa yang penting bagi mereka? Pengunjung percaya dan membayar.
Ini bukan tentang sejarah. Ini adalah bisnis. Dan bisnis ini, seperti banyak bisnis lainnya, berjalan di atas kebohongan.
Merusak Keimanan, Bukan Menguatkannya
Ironisnya, pameran yang katanya bertujuan memperkuat keimanan malah berisiko menghancurkannya. Apa yang terjadi jika umat akhirnya sadar bahwa benda-benda ini tidak asli? Mereka merasa ditipu. Mereka kehilangan kepercayaan.
Lebih buruk lagi, fenomena ini menciptakan budaya ketergantungan pada benda fisik, sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah mengajarkan kita untuk beriman melalui pemahaman, bukan melalui benda mati. Tapi pameran ini justru mendorong kebalikannya.
Hentikan Penipuan Ini
Sudah cukup. Kita harus berhenti mempercayai klaim yang tidak punya dasar. Masyarakat, khususnya umat Islam, perlu diberikan edukasi untuk menjadi lebih kritis dalam menyikapi informasi. Jangan mudah percaya pada klaim-klaim besar yang tidak disertai dengan bukti konkret.
Selain itu, transparansi dari pihak penyelenggara menjadi hal yang mutlak. Jika penyelenggara suatu acara tidak mampu menyediakan bukti ilmiah atau dokumentasi provenans yang jelas, maka mereka seharusnya tidak diberikan izin untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut.
Dalam hal ini, pengawasan dari otoritas terkait, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), sangat diperlukan. Peran aktif lembaga seperti ini penting untuk memastikan umat Islam tidak menjadi korban penipuan dari acara-acara yang merugikan.
Lebih jauh lagi, sikap skeptis harus dipahami sebagai bagian dari norma, bukan sebagai bentuk penghinaan terhadap Rasulullah. Justru dengan skeptisisme, kita dapat melindungi nama baik Rasulullah dari upaya eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Hentikan Kebohongan Ini
Pameran artefak Nabi Muhammad yang tidak memiliki bukti ilmiah atau catatan sejarah adalah penghinaan terhadap intelektualitas kita. Ini bukan cara untuk menghormati Nabi. Ini hanyalah cara untuk mengeksploitasi iman kita demi keuntungan finansial.
Jika Anda masih percaya pada klaim tanpa bukti ini, maaf saja, tapi Anda sedang menjadi korban. Dan tidak ada yang lebih menyedihkan daripada melihat keimanan yang tulus dimanfaatkan oleh mereka yang hanya peduli pada uang. Sudah saatnya kita berkata cukup.
Mari lihat video ini, bandingkan, pasang otak kritis dan temukan kejanggalannya.