Ada beberapa pihak, mengatakan saya menyerang Kyai Dardiri, baca dulu lah, dalam dunia akademik bukankah itu biasa? apakah saya menyerang pribadi?. Tulisan saya memang bukan essai ilmiah, lagipula kalau tulisan ilmiah apakah apakah akan seantusias ini? paling-paling hanya di skip. Kalau tidak sedikit sarkas apakah nuranimu akan tergerak.
Lanjut ya,
Komentar Pak Quraisy tentang tulisan saya kepada Kyai Dardiri Zubairi patut menjadi bahan refleksi tersendiri. Dengan nada yang sinis, beliau menyatakan, “Sekolah bukan pabrik manusia yang bisa mencetak lulusan sesuai pesanan.” Pernyataan ini menarik karena justru mengungkap cara berpikir dikotomis yang menjadi akar masalah pendidikan kita.
Dan saya tidak tersinggung dengan hanya komentar kecil, sebab dalam berpikir, seseorang yang cenderung emosional yang menonjol hanyalah logical fallacy.
Yang luput disadari Pak Quraisy adalah bahwa ketika beliau menolak gagasan penyesuaian kurikulum dengan realitas sosial, sesungguhnya beliau sedang membela sebuah “pesanan” yang lebih berbahaya – pesanan untuk mempertahankan status quo pendidikan yang terpisah dari denyut nadi masyarakat. Sistem pendidikan yang beliau bela justru telah menjadi “pabrik” penghasil generasi yang asing dengan tanah kelahirannya sendiri.
Tuduhan bahwa tulisan saya “mewakili kecerdasan kritis yang tak beretika” patut disayangkan. Ini adalah contoh klasik fallacy ad hominem – ketika seseorang tidak mampu membantah argumen, maka yang diserang adalah pembawanya. Alih-alih menjawab substansi kegagalan regenerasi petani, Pak Quraisy memilih menyerang motif penulis dengan tuduhan “mencari pangsa pasar”.
Yang lebih menggelikan adalah klaim bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan secara emosional, intelektual dan spiritual. Ini benar secara teori, tetapi menjadi tidak relevan ketika tidak diiringi keberpihakan pada realitas sosial.
Lagi pula, mencerdaskan secara emosional, intelektual dan spiritual yang bagaimana tepatnya? ini seolah mengatakan bahwa para petani, orang-orang bawah itu memiliki kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual. Atau manusia kecil seperti saya, yang masih bisa berharap bahwa dialog kritis dianggap tak etis itu serupa dengan tidak berkecerdasan emosional, intelektual dan spiritual.
Oke saja, anggaplah, saya tak beretika. Etika itu bungkus, tapi bungkus jangan menjadi alibi pembungkaman kritik, dalam sejarah manapun kritiklah yang menjadi penyeimbang status quo, makanya saya heran dengan manusia Indonesia ini, kalau ada kritik lantas dituduh tak etik, padahal masih ia tak bisa membedakan mana berita dan mana opini. wkwkw..
Bagaimana mungkin pendidikan disebut mencerdaskan spiritual ketika mengajarkan tasawuf tetapi mengabaikan fiqh perlindungan lahan? Bagaimana bisa dikatakan mencerdaskan emosional ketika membuat anak-anak malu pada profesi orang tuanya sendiri?
Pendidikan idealis ala Pak Quraisy ini mengingatkan kita pada kritik Paulo Freire tentang “pendidikan gaya bank” – dimana murid hanya menjadi wadah kosong yang diisi dengan pengetahuan tanpa kaitan dengan realitas. Sistem semacam ini memang nyaman bagi para pengajar, tetapi berbahaya bagi masyarakat.
Lalu bagaimana seharusnya? Tidak perlu revolusi kurikulum. Cukup dengan kesadaran bahwa setiap lembaga pendidikan harus berdialog dengan lingkungannya. Sebuah pesantren di daerah agraris semestinya tidak perlu malu memasukkan muatan lokal pertanian dalam kurikulumnya. Simpel kan?
Lantas kenapa saya secara terang benderang menyebut NASA dalam tulisan saya sebelumnya, udah baca belum? kalau belum baca lagi, saya tidak yakin dengan sekali baca mendapatkan pemahaman yang konkret mengingat literasi masyarakat indonesia dan skor PISA-nya jeblok ke selokan-selokan.
NASA salah satu harapan yang bisa dijadikan blue print. Kenapa kritik tidak secara umum ke pendidikan Indonesia? selain saya sudah banyak yang mengulas, dan tulisan saya hanya krikil di lautan yang bebal. Kalau spesifik, orang-orang sini baru mau membacanya bukan?
Back to topic.
Ini bukan soal “mencetak lulusan sesuai pesanan”, melainkan tentang kesetiaan pada misi pendidikan itu sendiri – memanusiakan manusia dalam konteks kemanusiaannya yang nyata.
Pada akhirnya, perdebatan ini bukan tentang saya atau Pak Quraisy. Ini tentang pilihan, apakah kita ingin pendidikan yang mengawang dalam menara gading teori, atau pendidikan yang berani menghunjam ke akar rumput realitas? Pilihan ada di tangan kita semua. Saya kira, tidak akan mengurangi skor kesalihan para santri jika ide ini benar-benar diterapkan.
Yang jelas, sejarah tidak akan memaafkan kita jika membiarkan generasi muda tercerabut dari akarnya sendiri, hanya karena kekakuan mempertahankan dogma-dogma pendidikan yang sudah tidak relevan. Seperti kata bijak, “guru yang biasa-biasa saja memberitahu, guru yang baik menjelaskan, guru yang ulung mendemonstrasikan, tetapi guru yang hebat menginspirasi.” Saatnya kita menginspirasi, bukan sekadar mempertahankan status quo.
Oke anda sudah baca sampai sini, kita bahas soal lain, ini adalah capcure realita ‘kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual’ yang dicontohkan pak Quraisy.
Pertanyaan retoris Pak Quraisy tentang “apakah Raziqi sudah berantarkan orang tuanya lebih bersahaja” justru mengungkap kedangkalan cara berpikirnya. Ini adalah fallacy klasik tu quoque – upaya mengalihkan pembicaraan dari substansi kritik dengan menyerang pribadi pengkritik. Logika semacam ini sama absurdnya dengan bertanya “Apa sudah sempurna sebelum mengkritik pemerintah?”
Yang lebih menggelikan adalah tuduhan melanggar etika jurnalistik. Sejak kapan kritik terhadap lembaga pendidikan tertentu dianggap melanggar netralitas? Justru semangat jurnalisme sejati adalah keberpihakan pada yang tertindas, bukan netralitas palsu yang membisu melihat ketimpangan.
Kritik spesifik terhadap STAI Nasy’atul Muta’allimin justru menunjukkan keseriusan analisis, bukan generalisasi sembarangan.
Tuduhan “bola liar” dan “lahan komersil” juga patut dipertanyakan. Jika tulisan yang membela petani dan mengkritik sistem pendidikan dianggap komersil, lalu bagaimana dengan bisnis pendidikan yang mengkomodifikasi ilmu agama sambil mengabaikan realitas sosial? Bukankah justru sistem pendidikan yang memproduksi sarjana pengangguran lebih layak disebut “lahan komersil”?
Pertanyaan seharusnya dibalik. Sudahkah para pengelola lembaga pendidikan seperti Pak Quraisy (mungkin pernah) bertanggung jawab secara moral atas produk pendidikan mereka yang justru memperparah urbanisasi dan krisis regenerasi petani?
Kritik bukanlah pembunuhan karakter, tetapi bentuk pertanggungjawaban intelektual. Justru sikap defensif dan anti-kritik seperti yang ditunjukkan Pak Quraisy inilah yang menunjukkan mentalitas “menara gading” – tidak mau dikritik tetapi gemar menyalahkan orang lain.
Seperti kata bijak, “kritik adalah hadiah bagi mereka yang peduli pada perbaikan.” Jika Pak Quraisy menganggap kritik sebagai “bola liar”, mungkin itu pertanda beliau berada di lapangan yang salah. Pendidikan bukanlah wilayah bebas kritik, melainkan ruang yang harus terus menerus dipertanyakan dan diperbaharui demi kemaslahatan bersama.
Yang perlu dipertanggungjawabkan secara moral bukanlah mereka yang menyuarakan kegelisahan, tetapi mereka yang membiarkan sistem pendidikan terus mengasingkan anak-anak dari tanah kelahirannya sendiri.
Terakhir,
Saya paham siapa yang pak Quraisy maksud. Ia adalah Zawawi Zuhmar, bapak saya. Dalam WAG beliau berkomentar bergini “Apakah tidak lebih naif dari titik nol. Seorang kakek dekat ketua ranung NU Gapura timur dan ayah wartawan tapi hidup terabaikan dan sangat tidak manusiawi.
Ini sangat mudah dikomersilkan dan bagaimana dampak psikologisnya terhadap anak2nya termasuk terhadap murid2nya yg pernah belajar A I U sm beliau. Jika ada foto terbaru saya bisa bantu carikan link”
Netizen pasti paham ya, itu adalah bunyi komentar dari kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual (konsep yang disebutkan oleh pak Quraisy di komentarnya). To be story shot, bapak saya memang begitulah keadaannya. Seorang yang baru sembuh dari stroke-nya.
Apakah Raziqi (nama saya Rasyiqi, bukan Raziqi dan saya tidak ada hubungannya dengan mamira.id) sudah berhasil mengantarkan orang tuanya lebih bersahaja?, dengan segala upaya di tengah keterbatasan, saya merawat orang tua saya, anda gak tau apa yang sudah saya lakukan, karena ketika bapak saya stroke, seingat saya anda gak menjenguk, tapi sudah mengkritik dan saya tidak baper. Kalau ditanya siapa yang paling berperan, itu pasti saya.
Soal lain, saya bicara pertanian, apakah saya bertani? ya saya sudah memulainya sejak 2 tahun lalu dan saat ini saya sedang mendengarkan curhatan petani di teras rumah. Saya bukan LSM dan saya bukan siapa-siapa dan tidak memiliki otoritas apa-apa. Bisakah diskusi soal pertanian masih dilanjutkan, jika tokoh penting seperti anda menerima kritik dengan pola pikir demikian?.
Tulislah jadi essai biar clean and clear. Posting di mana saja. Dengan begini, diskusi lebih terbuka.
Bola Liar, adalah bagian dari majas dan akan berurusan dengan makna denotatif. Begitulah esensinya, sehingga jangan sampai menimbulkan mis komunikasi di antara kita lantaran ketidakmampuan untuk mengungkapkan gagasan atau pikirannya dengan benar.