Indonesia sedang demam semikonduktor. Setiap kali Menko Perekonomian Airlangga Hartarto membuka mulut, yang keluar adalah visi megah tentang bagaimana negeri ini akan menjadi pemain kunci dalam industri chip dan kecerdasan buatan (AI). Dia berbicara tentang investasi miliaran dolar, kolaborasi dengan raksasa teknologi global, dan masa depan di mana Indonesia tidak lagi sekadar konsumen, tetapi produsen teknologi tinggi. Semua itu terdengar sangat heroik—seandainya kita tidak hidup di negara yang sistem pendidikannya masih berjuang melawan soal-soal dasar seperti literasi dan numerasi.
Ada ironi yang terlalu besar untuk diabaikan. Di satu sisi, pemerintah dengan penuh percaya diri menjual mimpi tentang lompatan teknologi. Di sisi lain, hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains. Siswa-siswa kita masih kesulitan memahami soal pecahan sederhana, tapi para pejabat sudah bicara tentang algoritma machine learning dan fabrikasi chip nano. Ini seperti membangun gedung pencakar langit di atas fondasi tanah liat—terlihat mentereng, tapi sebentar lagi ambrol.
Janji-janji Kosong dan Realita yang Pahit
Airlangga dan kawan-kawan di pemerintahan seolah hidup di alam mimpi di mana Indonesia bisa melompat dari negara dengan ketergantungan pada komoditas langsung menjadi kekuatan teknologi tinggi. Mereka lupa bahwa lompatan semacam itu membutuhkan fondasi SDM yang kokoh, sesuatu yang jelas-jelas belum kita miliki. Mari kita lihat fakta-faktanya:
Pertama, rasio peneliti di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Data terbaru menunjukkan bahwa kita hanya memiliki sekitar 1.595 peneliti per satu juta penduduk. Bandingkan dengan Malaysia (2.378) atau Thailand (2.015). Bahkan Vietnam, negara yang dulu dianggap tertinggal, sekarang sudah melampaui kita dalam hal kuantitas dan kualitas peneliti. Bagaimana mungkin kita bicara tentang pengembangan AI dan semikonduktor jika jumlah orang yang benar-benar menguasai bidang ini bisa dihitung dengan jari?
Kedua, sistem pendidikan tinggi kita masih jauh dari siap. Mayoritas perguruan tinggi di Indonesia masih berkutat pada masalah administratif dan birokrasi yang berbelit, sementara kurikulum STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) banyak yang sudah ketinggalan zaman. Banyak kampus lebih bangga menghasilkan sarjana hukum atau administrasi negara daripada insinyur atau ilmuwan komputer. Alhasil, lulusan STEM yang dihasilkan pun seringkali setengah matang—tahu teorinya, tapi minim pengalaman praktis.
Ketiga, anggaran pendidikan yang seharusnya menjadi tulang punggung penguatan SDM justru sering disalahgunakan. Alih-alih dipakai untuk meningkatkan kualitas guru, membeli peralatan lab, atau memperbaiki fasilitas kampus, dana pendidikan malah habis untuk proyek-proyek seremonial atau program yang tidak jelas manfaatnya. Sementara itu, sekolah-sekolah di daerah terpencil masih banyak yang kekurangan guru, buku, bahkan listrik.
Antara Mimpi Besar dan Ketidakmampuan Menghitung
Yang paling menggelikan dalam seluruh drama ini adalah betapa pemerintah terlihat begitu yakin dengan rencana mereka, seolah-olah semua masalah SDM dan pendidikan bisa diselesaikan dengan mantra “kerja sama dengan swasta” atau “pelatihan singkat”. Mereka berbicara tentang pelatihan vokasi dan bootcamp coding seolah-olah enam bulan kursus bisa mengubah seorang lulusan SMA biasa menjadi insinyur semikonduktor. Ini bukan hanya naif, tapi juga berbahaya—karena menciptakan ilusi bahwa kita sedang menuju ke arah yang benar, padahal sebenarnya kita hanya berjalan di tempat sambil berteriak-teriak tentang kemajuan.
Lihat saja bagaimana program Kartu Prakerja, yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja, justru lebih sering dipakai untuk pelatihan yang tidak relevan dengan kebutuhan industri. Banyak peserta yang mengambil kursus digital marketing atau desain grafis, sementara yang benar-benar dibutuhkan—seperti pemrograman tingkat lanjut, fisika material, atau teknik elektronika—hanya bisa diakses oleh segelintir orang.
Pemerintah juga gemar menggaet perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia, tapi lupa bahwa investasi tanpa kesiapan SDM hanya akan menciptakan ketergantungan. Kita mungkin bisa membangun pabrik semikonduktor, tapi jika semua insinyur dan teknisi ahli harus didatangkan dari luar negeri, lalu apa manfaatnya bagi rakyat Indonesia? Bukankah ini sama saja dengan mengulang kesalahan masa lalu, di mana kita hanya jadi tukang pasang baut di industri otomotif, tanpa pernah benar-benar menguasai teknologinya?
Pendidikan yang Terabaikan: Akar Masalah yang Sengaja Tidak Dibicarakan
Jika kita jujur, akar masalah dari semua kegagalan ini ada di pendidikan dasar dan menengah. Selama sistem pendidikan kita masih memproduksi lulusan yang gagap matematika dan tidak mampu berpikir kritis, mustahil bagi Indonesia untuk bersaing di bidang teknologi tinggi. Sayangnya, ini adalah isu yang tidak pernah benar-benar menjadi prioritas.
Pemerintah lebih suka membanggakan program-program yang terlihat mentereng di media, seperti “Sekolah Penggerak” atau “Kampus Merdeka”, tanpa mau mengakui bahwa masalah utama ada di hal-hal yang lebih mendasar:
- Guru-guru yang kurang kompeten dan tidak mendapat pelatihan memadai.
- Kurikulum yang terlalu padat tapi tidak mendalam.
- Fasilitas sekolah yang tidak memadai, terutama di daerah terpencil.
- Kultur menghafal daripada memahami, yang membuat siswa tidak terbiasa berpikir analitis.
Tanpa perbaikan di level ini, semua wacana tentang semikonduktor dan AI hanyalah omong kosong. Kita bisa saja mengimpor mesin-mesin canggih, tapi jika tidak ada orang yang benar-benar paham cara mengoperasikannya—apalagi mengembangkannya—maka semua itu hanya akan menjadi tumpukan besi mahal yang suatu hari nanti akan berkarat.
Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Jika pemerintah serius ingin menjadikan Indonesia sebagai pemain di industri semikonduktor dan AI, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengakui bahwa kita masih sangat tertinggal dalam hal SDM. Daripada terus-menerus mengumbar janji, lebih baik fokus pada hal-hal konkret seperti:
- Revolusi Pendidikan STEM – Kurikulum sains dan matematika harus diperbarui secara radikal, dengan penekanan pada pemahaman konsep, bukan hafalan. Guru-guru STEM harus mendapat pelatihan intensif dan insentif yang memadai.
- Investasi Nyata pada Riset – Anggaran untuk riset harus dinaikkan secara signifikan, dengan prioritas pada bidang-bidang yang terkait dengan semikonduktor dan AI. Perguruan tinggi harus didorong untuk berkolaborasi dengan industri, bukan sekadar mengejar ranking semu.
- Program Pelatihan yang Relevan – Daripada sekadar memberikan sertifikat lewat Kartu Prakerja, buatlah program pelatihan jangka panjang yang benar-benar menyiapkan tenaga kerja untuk industri teknologi tinggi.
- Stop Bergantung pada Asing – Jika ingin berinvestasi di semikonduktor, pastikan ada transfer pengetahuan yang nyata. Jangan sampai kita hanya jadi tempat perakitan, sementara ilmu intinya tetap dipegang oleh pihak asing.
Kesimpulan: Jangan Jadi Bangsa Pemimpi
Indonesia memang punya potensi untuk berkembang di bidang teknologi tinggi, tapi potensi itu tidak akan pernah terwujud jika kita terus hidup dalam ilusi. Pemerintah harus berhenti berlagak seolah-olah kita sudah siap bersaing, padahal kenyataannya kita bahkan belum memenuhi syarat dasar.
Daripada terus-menerus menggembar-gemborkan rencana besar yang tidak berdasar, lebih baik Menko Airlangga dan kawan-kawan turun ke bumi dan mulai membenahi pendidikan dari hal yang paling dasar. Karena tanpa itu, semua wacana tentang semikonduktor dan AI hanyalah mimpi siang bolong—indah didengar, tapi mustahil terwujud.
Kita tidak perlu jadi bangsa yang pandai beretorika. Kita butuh jadi bangsa yang mau bekerja keras, mulai dari hal-hal kecil, sebelum bermimpi terlalu tinggi. Kalau tidak, kita hanya akan jadi bahan tertawaan di panggung global: negara yang sok modern, tapi pendidikannya masih tertatih-tatih.