Negara Baik Hati pada Koruptor? Ini Fakta Remisi yang Bikin Kesal Jika Kamu Baca

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 7 Mnt
Negara Baik Hati pada Koruptor? Ini Fakta Remisi yang Bikin Kesal Jika Kamu Baca (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Setiap Hari Raya Idul Fitri, pemerintah Indonesia rutin memberikan remisi atau pengurangan masa hukuman kepada para narapidana. Namun, pada 2025 atau 1446 Hijriah, remisi ini kembali menuai kontroversi tajam karena melibatkan ratusan terpidana kasus korupsi.

Praktik ini memicu pertanyaan mendasar tentang kesesuaian kebijakan tersebut dengan semangat keadilan, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi yang seharusnya menjadi prioritas bangsa.

Secara yuridis, pemberian remisi telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Remisi diberikan kepada narapidana yang memenuhi dua syarat utama: berkelakuan baik dan telah menjalani minimal sepertiga masa pidananya.

Namun, bagi narapidana korupsi, ada aturan tambahan melalui PP No. 99 Tahun 2012, yakni harus bersedia menjadi justice collaborator dan telah melunasi kerugian negara. Sayangnya, aturan tambahan ini belakangan sering diabaikan dalam praktik.

Pada perayaan Idul Fitri 2025, terjadi pemberian remisi kepada narapidana korupsi secara massal. Contohnya, di Lapas Sukamiskin, Bandung, 288 narapidana kasus korupsi, termasuk Setya Novanto, menerima remisi dengan potongan hukuman antara 15 hari hingga 2 bulan.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB), 59 narapidana korupsi mendapat remisi, di mana 3 di antaranya langsung bebas setelah memenuhi syarat RK-II. Sementara di Lapas Cianjur, dari 392 narapidana yang menerima remisi, 2 di antaranya langsung bebas tanpa keterangan jelas mengenai keterlibatan dalam kasus korupsi. Di Sulawesi Selatan, dari 5.384 penerima remisi, 77 di antaranya adalah terpidana korupsi.

Fenomena ini bukan hal baru. Pada tahun 2022, sebanyak 421 koruptor mendapatkan remisi, dengan 4 di antaranya langsung dibebaskan. Bahkan, Setya Novanto telah menerima empat kali remisi sejak 2023, termasuk remisi 3 bulan pada HUT Kemerdekaan RI ke-78.

Kebijakan ini menuai kritik karena dinilai melanggar prinsip-prinsip dasar keadilan dan hukum. Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) secara tegas menyebut korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Pasal 34 dalam PP No. 99/2012 menyebut bahwa remisi untuk koruptor hanya bisa diberikan bila mereka bersedia menjadi justice collaborator. Namun, dalam kasus seperti Setya Novanto, tidak pernah ada bukti bahwa ia membantu mengungkap jaringan korupsi e-KTP, meski ia terus menikmati remisi secara rutin.

- Advertisement -

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2019 mengungkap bahwa sebanyak 338 narapidana korupsi menerima remisi tanpa memenuhi syarat pengembalian kerugian negara maupun kerja sama dengan penegak hukum. Fakta ini memperlihatkan lemahnya penegakan hukum dan tidak konsistennya regulasi dalam praktik.

Secara sosiologis, pemberian remisi kepada koruptor menimbulkan luka mendalam bagi masyarakat. Rakyat yang sudah dirugikan secara ekonomi dan moral justru harus menyaksikan para pelaku menikmati pengurangan hukuman.

Penjara elit seperti Lapas Sukamiskin bahkan dikenal memberikan fasilitas mewah bagi napi korupsi, dari AC hingga kamar khusus. Hal ini memperkuat anggapan bahwa korupsi di Indonesia hanya dihukum secara “simbolik”.

- Advertisement -

Pakar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyebut praktik remisi bagi koruptor sebagai kebijakan yang “meniadakan efek jera” dan bertolak belakang dengan semangat reformasi sistem pemasyarakatan. Ia menilai bahwa negara telah abai terhadap aspirasi masyarakat dalam memperkuat agenda pemberantasan korupsi.

Respons masyarakat pun tidak kalah tajam. Di platform-platform digital seperti Reddit, muncul beragam komentar bernada kecewa dan sinis. Kasus Harvey Moeis, suami dari selebriti Sandra Dewi, menjadi contoh terbaru.

Ia divonis 6,5 tahun penjara atas keterlibatannya dalam korupsi komoditas timah senilai Rp300 triliun, namun mendapat keringanan karena “bersikap sopan di persidangan”. Banyak warganet yang menganggap vonis ini sebagai bukti nyata bahwa sistem hukum kita berpihak pada elit, sementara pelaku kejahatan kecil kerap mendapat hukuman yang jauh lebih berat.

Indonesia terkesan sangat permisif terhadap koruptor jika dibandingkan dengan praktik di negara lain seperti China, Swedia, dan Singapura. Di China, korupsi dianggap sebagai pengkhianatan berat terhadap negara dan bisa dihukum mati tanpa kemungkinan remisi.

Swedia hanya memberikan remisi untuk kejahatan ringan, sementara korupsi dianggap sebagai serious crime yang tidak memenuhi syarat untuk remisi. Di Singapura, koruptor bisa mendapatkan remisi namun harus membayar denda hingga 300% dari kerugian negara sebelum mendapatkan pengurangan masa hukuman.

Ketimpangan antara regulasi dan pelaksanaan hukum di Indonesia memperlihatkan kontradiksi serius. Teori retributif menyatakan bahwa hukuman harus sepadan dengan dampak kejahatan yang dilakukan. Dalam hal ini, koruptor yang merugikan negara hingga miliaran atau bahkan triliunan rupiah seharusnya menerima hukuman maksimal.

Sementara itu, teori rehabilitatif menyebut bahwa remisi bisa menjadi alat pemulihan perilaku. Namun, teori ini hanya berlaku bila pelaku benar-benar menunjukkan penyesalan dan partisipasi dalam upaya pemulihan. Banyak koruptor yang justru tidak memenuhi aspek tersebut, tetapi tetap mendapat remisi—sebuah ironi hukum yang nyata.

Kondisi ini melahirkan konflik normatif dalam sistem hukum. PP No. 99/2012 sebenarnya sudah memberikan batasan ketat bagi pemberian remisi pada koruptor. Tapi implementasinya longgar. Alhasil, muncul celah hukum (legal gap) yang kerap dimanfaatkan oleh narapidana korupsi untuk memperoleh keringanan hukuman, bahkan tanpa upaya pertobatan maupun pengembalian kerugian negara.

Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah mendesak untuk memperkuat prinsip keadilan dalam penanganan korupsi. Langkah-langkah tersebut meliputi tinjau ulang penerapan PP No. 99/2012 dengan menegaskan pentingnya syarat justice collaborator dan restitusi bagi koruptor, memberlakukan moratorium sementara terhadap pemberian remisi bagi napi korupsi, serta mengharmonisasi kebijakan dalam negeri dengan standar internasional seperti UNCAC. Hal ini termasuk memperlakukan korupsi sebagai kejahatan luar biasa secara konsisten, baik dalam teks hukum maupun dalam praktik lapangan.

Jika tidak ada perbaikan serius, praktik pemberian remisi ini hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Koruptor akan tetap merasa aman di balik perlindungan birokrasi yang lunak, sementara masyarakat yang mereka rugikan terus menanggung beban. Dalam sistem yang seperti ini, keadilan bukan hanya tumpul ke atas—ia bisa jadi sudah hilang arah sepenuhnya.

Share This Article