jlk – Anda pasti pernah mendengar bahwa orang Indonesia lemah di pelajaran sains dan matematika. Mungkin Anda juga merasa demikian. Mungkin Anda juga sering mengeluh dan menyalahkan sistem pendidikan, kurikulum, guru, atau bahkan diri sendiri.
Tapi, apakah Anda tahu apa sebenarnya penyebabnya? Apakah Anda tahu apa yang harus Anda lakukan untuk mengatasinya?
Jika tidak, maka Anda perlu membaca artikel ini sampai habis. Karena saya akan mengungkapkan rahasia-rahasia yang mungkin belum pernah Anda dengar sebelumnya. Saya akan memberikan Anda fakta-fakta yang didukung oleh data dan penelitian.
Saya juga akan memberikan Anda solusi-solusi yang praktis dan efektif. Saya yakin, setelah Anda membaca artikel ini, Anda akan merasa lebih percaya diri dan termotivasi untuk belajar sains dan matematika. Anda juga akan merasa lebih bangga menjadi orang Indonesia. Anda siap? Mari kita mulai!
Fakta 1: Orang Indonesia Memang Lemah di Sains dan Matematika
Ini bukan sekadar opini atau asumsi. Ini adalah fakta yang dibuktikan oleh hasil survei internasional yang diselenggarakan oleh OECD, yaitu Programme for International Student Assessment (PISA).
PISA adalah survei yang mengukur kemampuan siswa berusia 15 tahun di bidang membaca, matematika, dan sains. Survei ini dilakukan setiap tiga tahun sekali di lebih dari 80 negara di dunia.
Hasil survei PISA 2018 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 75 dari 81 negara untuk matematika, dengan skor 379. Untuk sains, Indonesia berada di peringkat 72 dari 81 negara, dengan skor 396.
Untuk membaca, Indonesia berada di peringkat 74 dari 81 negara, dengan skor 371. Skor-skor ini jauh di bawah rata-rata OECD, yaitu 489 untuk matematika, 489 untuk sains, dan 487 untuk membaca.
Bahkan, Indonesia juga kalah jauh dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Singapura misalnya, menduduki peringkat 2 untuk matematika, dengan skor 569. Malaysia menduduki peringkat 55 untuk matematika, dengan skor 440.
Thailand menduduki peringkat 57 untuk matematika, dengan skor 419. Vietnam menduduki peringkat 22 untuk matematika, dengan skor 519.
Jadi, tidak ada alasan untuk menyangkal atau membantah bahwa orang Indonesia memang lemah di sains dan matematika. Ini adalah kenyataan yang harus kita akui dan hadapi.
Fakta 2: Orang Indonesia Lemah di Sains dan Matematika Bukan Karena Kurang Cerdas
Anda pasti bertanya-tanya, “Oh, mengapa prestasi Indonesia dalam sains dan matematika tampak begitu tertinggal?” Apakah karena kita secara genetik kurang terberkati dalam departemen kecerdasan? Atau mungkin karena kita terlalu sibuk memikirkan rencana selanjutnya untuk makan siang daripada memecahkan masalah fisika?
Orang Indonesia tentu saja tidak malas atau bodoh, mereka hanya lebih suka menunjukkan bakat mereka di luar sains dan matematika. Kita adalah bangsa yang rajin, ulet, dan berprestasi, terutama ketika menyangkut hal-hal yang benar-benar penting, seperti mencetak selfie yang sempurna atau menghafal lirik lagu-lagu K-pop.
Buktinya, banyak tokoh Indonesia yang berhasil mengharumkan nama di kancah internasional, terutama ketika mereka menekuni bidang-bidang yang lebih ‘berguna’. Jadi, mari kita hadapi kenyataan: kelemahan kita dalam sains dan matematika bukanlah karena kekurangan kecerdasan.
Kita hanya lebih suka mengejar impian kita yang lebih ‘realistis’ seperti menjadi influencer Instagram atau bintang TikTok. Jadi, alih-alih menyalahkan sistem pendidikan atau kurikulum yang ketinggalan zaman, mari kita berterima kasih kepada generasi muda kita yang telah mengajarkan kita arti sejati dari ‘prioritas’.
Fakta 3: Orang Indonesia Lemah di Sains dan Matematika Karena Faktor-Faktor Ini
Setelah melakukan “penelitian” yang sangat dalam dan analisis yang terkesan seperti kerjaan peneliti elite, saya menemukan sejumlah “faktor” yang sepertinya sangat logis (atau begitulah yang orang lain katakan) yang menyebabkan kita, rakyat Indonesia, kurang berprestasi dalam sains dan matematika.
Faktor pertama yang sangat konvensional dan tentu saja, tidak mengherankan, adalah sistem pendidikan kita yang luar biasa. Wow, siapa yang akan menyangka, bukan? Sistem pendidikan kita masih belum ‘menyenangkan’ dan ‘membangun semangat’ dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas.
Kurikulumnya masih belum cukup ‘membosankan’, dan tentu saja, kita masih belum menemukan cara untuk membuatnya lebih tidak relevan dengan dunia nyata. Itu tidak cukup ‘kreatif’ dan ‘inovatif’, bukan?
Kemudian kita punya metode pembelajaran yang kita semua tahu sangat ‘menyenangkan’ untuk dijalani. Siapa yang bisa menolak belajar dari buku teks tua yang tidak pernah berubah atau guru yang mengajarkan dengan cara yang sama sejak zaman batu?
Tentu saja, kita masih menunggu hari ketika kita bisa memecahkan teka-teki matematika sambil bernyanyi dan menari.
Lalu, budaya kita yang sangat ‘memanjakan’ tentu saja tidak mendukung perkembangan sains dan matematika. Budaya malu bertanya dan takut salah telah menjadi teman akrab dalam perjalanan kita untuk menjadi bangsa yang ‘berprestasi’.
Mengapa kita perlu bertanya atau mencoba hal baru ketika kita bisa sekadar mengandalkan Google? Dan siapa peduli tentang memecahkan masalah matematika ketika kita bisa mengikuti tren TikTok terbaru?
Terakhir, kita memiliki faktor lingkungan yang juga ‘tidak sehat’ untuk belajar sains dan matematika.
Dari lingkungan bising dan kotor hingga kurangnya dukungan dan apresiasi, tampaknya semua hal ini telah bekerja sama untuk membuat kita tetap di jalur yang benar-benar tidak menginspirasi.
Jadi, begitulah rahasia di balik kekurangan prestasi kita dalam sains dan matematika. Ini bukanlah karena kita kurang cerdas atau tidak berbakat.
Tidak, ini semua karena kita hidup di dunia yang begitu sempurna dengan sistem yang tak tergoyahkan dan budaya yang sangat memudahkan kita untuk menjadi apa adanya.
Solusi
Solusi pertama adalah meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Sebuah gagasan brilian! Kita hanya perlu mengubah kurikulum menjadi lebih fleksibel dan adaptif, memastikan guru memiliki kompetensi yang memadai, dan tentu saja, memperbaiki fasilitas sekolah.
Oh, tentu saja, tidak ada yang lebih mudah daripada mengubah seluruh sistem pendidikan negara dalam semalam, bukan?
Lalu ada solusi kedua: mengubah budaya masyarakat. Ah, jadi kita hanya perlu mengubah seluruh pandangan dan nilai-nilai yang telah tertanam dalam masyarakat selama berabad-abad? Tentu saja, mengubah budaya adalah tugas yang mudah dan cepat dilakukan.
Masyarakat Indonesia pasti akan dengan senang hati meninggalkan kebiasaan lama mereka dan beralih ke perilaku yang lebih mendukung sains dan matematika. Tidak ada masalah, kan?
Dan solusi ketiga adalah menciptakan lingkungan yang kondusif. Ya, karena kita semua tahu bahwa menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan mendukung itu begitu mudah, bukan? Hanya perlu sedikit sentuhan aja, dan voila, semua masalah kita selesai!
Jadi, ya, solusi-solusi ini sebenarnya sangat fantastis. Tidak ada keraguan bahwa jika kita semua bergandengan tangan dan menyanyikan lagu “Kumbaya” bersama-sama, kita pasti akan mengatasi masalah ini dengan mudah.
Oh, maaf, saya hampir lupa bahwa saya sedang berbicara tentang masalah sains dan matematika, bukan tentang dongeng.
Jadi, mari kita lihat apakah solusi-solusi yang diusulkan ini benar-benar akan menghasilkan perubahan yang diinginkan atau hanya akan menjadi bagian lain dari daftar impian yang tidak tercapai.
Yang jelas, kita harus menunggu dan melihat.