Rahasia Bahl*l-nya Para Pejabat Kita yang Anda Harus Tahu

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 3 Mnt
Rahasia Bahlul-nya Para Pejabat Kita yang Anda Harus Tahu (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Di panggung politik global, China dan Indonesia memainkan dua drama berbeda dalam hal hubungan gelar akademik dengan legitimasi kekuasaan. China, dengan disiplin besi, menjadikan pendidikan tinggi sebagai gerbang wajib bagi karier politik.

Sistem Gaokao—ujian masuk nasional yang legendaris—tidak hanya menyaring calon mahasiswa, tapi juga menjadi batu uji pertama bagi calon pemimpin. Data menunjukkan hanya 8.000 doktor yang diluluskan tiap tahun dari 3.000 perguruan tinggi, menciptakan ekosistem di mana gelar akademik benar-benar menjadi simbol kompetensi.

Partai Komunis China (PKC) mengkristalkan tradisi ini dengan menjadikan 90% anggota Komite Sentralnya sebagai sarjana, dan 40% di antaranya bergelar doktor—sebuah sistem yang konsisten memadukan teknostruktur dengan kepemimpinan politik.

Indonesia, di sisi lain, menulis kisah ironis. Gelar akademik justru kerap menjadi “aksesori” yang diburu usai seseorang menduduki jabatan strategis. Data Dewan Guru Besar UI mengungkap 78% menteri periode 2019-2024 baru menyandang gelar doktor setelah dilantik, dengan kasus ekstrem seperti Bahlil Lahadalia yang meraih gelar S3 hanya dalam 1 tahun 8 bulan.

Fenomena ini bukan sekadar persoalan administratif, tapi cermin budaya instan di kalangan elite—gelar dipandang sebagai alat pencitraan elektoral, legitimasi simbolik, atau mata uang dalam transaksi jaringan kekuasaan.

Dampaknya terasa nyata dalam tata kelola pemerintahan. China, meski dikritik karena intervensi politik di dunia akademik, berhasil memastikan kebijakan publik dirancang oleh teknokrat kompeten.

Sebaliknya, studi LIPI menemukan korelasi negatif antara gelar akademik pejabat Indonesia dengan kualitas kebijakan, di mana pejabat bergelar “kilat” cenderung bergantung pada tim ahli eksternal, menciptakan kebijakan yang terfragmentasi. Revisi UU Cipta Kerja yang memicu gejolak sosial menjadi bukti nyata bagaimana gelar tak menjamin kedalaman analisis kebijakan.

Reformasi sistem mendesak dilakukan. Penerapan cooling-off period 5 tahun antara kelulusan doktoral dan pencalonan jabatan publik bisa menjadi penyaring awal. Audit menyeluruh terhadap program pascasarjana, terutama setelah UI mengakui 40% program S3 tidak memenuhi standar internasional, juga krusial.

Adaptasi selektif model China melalui akademi kepemimpinan yang terintegrasi dengan perguruan tinggi mungkin menjadi jalan tengah—bukan untuk meniru totaliterisme akademik, tapi untuk membangun fondasi meritokrasi yang lebih kokoh.

- Advertisement -

Pada akhirnya, gelar akademik seharusnya menjadi cermin kedalaman keilmuan, bukan sekadar pajangan di kartu nama pejabat. China, dengan segala kekakuan sistemnya, setidaknya konsisten pada prinsip ini. Sementara Indonesia? Kita masih sibuk berdebat apakah gelar doktor 2 tahun lebih pantas disebut pencapaian akademis atau sekadar purchase history dalam transaksi politik.

Share This Article