Sekolah di Indonesia telah berubah menjadi mesin penghasil kepalsuan yang berjalan dengan lancar. Setiap tahun, pabrik pendidikan ini mencetak ribuan lulusan dengan nilai sempurna tetapi kosong kompetensi.
Sebuah sistem yang dengan rapi memproduksi ilusi keberhasilan sambil mengubur kegagalan pembelajaran dalam tumpukan dokumen administrasi yang rapi.
Guru-guru yang seharusnya menjadi pendidik beralih fungsi menjadi pencetak nilai, terperangkap antara tuntutan kurikulum, tekanan orang tua, dan target sekolah. Mereka tahu banyak siswa tidak mencapai standar, tapi tetap saja menaikkan kelas karena sistem telah mengizinkan kelonggaran hingga tiga mata pelajaran di bawah KKM.
Kecurangan akademik bukan lagi aksi individu, melainkan praktik struktural yang diterima sebagai hal biasa. Siswa menyontek dengan berbagai metode kreatif, guru pura-pura tidak melihat, orang tua malah membantu. Ujian nasional yang dulu dianggap sakral kini tinggal kenangan, digantikan oleh asesmen yang nilainya bisa diatur.
Portofolio pembelajaran berubah menjadi dokumen fiktif, kumpulan tugas yang dikerjakan asal-asalan tapi diberi nilai sempurna. Semua berpura-pura bahwa pendidikan berjalan baik, padahal hasil PISA terus membuktikan sebaliknya – anak Indonesia semakin tertinggal dalam literasi dasar.
Orang tua menjadi bagian dari masalah ini. Mereka menuntut nilai tinggi tapi tidak peduli pada pemahaman anak. Marah ketika anak tidak naik kelas, tapi tidak pernah mempertanyakan apakah sang anak benar-benar bisa membaca dengan pemahaman.
Sekolah pun menuruti keinginan orang tua, memproduksi nilai-nilai indah untuk menutupi ketidakmampuan siswa. Hasilnya adalah lulusan-lulusan yang percaya diri dengan ijazah mereka tapi gagap ketika diminta menjelaskan isi bacaan sederhana.
Pemerintah pun turut serta dalam sandiwara besar ini. Kebijakan-kebijakan dibuat seolah untuk meningkatkan mutu pendidikan, tapi pada praktiknya justru memperkuat budaya instan. Asesmen nasional yang diagung-agungkan ternyata tidak memiliki konsekuensi nyata bagi siswa.
Sekolah tetap bisa meluluskan anak yang tidak memenuhi standar kompetensi minimum. Semua terlibat dalam konspirasi pendidikan palsu ini – guru, orang tua, sekolah, dan pemerintah.
Kita telah menciptakan generasi yang terampil memanipulasi sistem tapi lemah dalam substansi. Lulusan yang bisa mendapatkan nilai A tanpa pernah benar-benar memahami pelajaran. Profesional muda yang mahir membuat dokumen portofolio kerja tapi tidak mampu berpikir kritis.
Sistem ini tidak hanya gagal mendidik, tapi secara aktif memproduksi ketidakjujuran akademik yang akan menjadi budaya kerja di masa depan.
Perubahan harus dimulai dari mengakui bahwa sistem saat ini adalah pabrik kepalsuan. Tidak ada gunanya terus memoles permukaan sementara fondasinya keropos.
Pendidikan sejati harus berani mengembalikan makna sesungguhnya dari penilaian – bahwa nilai harus mencerminkan kompetensi, bukan sekadar memenuhi target administratif.
Kejujuran akademik harus dikembalikan sebagai harga mati, sekalipun itu berarti harus menerima kenyataan pahit bahwa banyak siswa kita yang memang belum mencapai standar.
Bangsa ini tidak membutuhkan lebih banyak ijazah palsu. Kita membutuhkan generasi yang benar-benar terdidik, yang nilai-nilainya mencerminkan kemampuan nyata, yang ijazahnya pantas dipercaya.
Saatnya membongkar pabrik kepalsuan bernama sekolah ini dan membangun kembali sistem pendidikan yang menjunjung tinggi integritas akademik. Karena hanya dengan kejujuran, pendidikan bisa benar-benar memajukan peradaban.