Siklus Gelap Oligarki dan Demokrasi yang Didorong Hutang

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 6 Mnt
Siklus Gelap Oligarki dan Demokrasi yang Didorong Hutang (Ilustrasi)
"The Oligarchs" by MTSOfan is licensed under CC BY-NC-SA 2.0

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Dalam sejarah politik, ada satu siklus yang tak terhindarkan, yang disebut-sebut oleh Aristoteles sebagai dinamika abadi antara demokrasi dan oligarki. Bagi Aristoteles, perubahan rezim politik tidak pernah bersifat linier atau stabil; sebaliknya, ia berputar-putar seperti roda yang tak henti-hentinya bergeser dari satu bentuk pemerintahan ke bentuk lainnya. Menurut filsuf Yunani ini, perubahan tersebut dipicu oleh konflik-konflik besar terkait keadilan, ketimpangan ekonomi, dan peran hutang dalam merombak struktur kekuasaan.

Aristoteles dalam bukunya Politika menggambarkan bagaimana sebuah oligarki—sebuah pemerintahan yang dikuasai oleh golongan kaya—secara bertahap akan berevolusi menjadi aristokrasi turun temurun. Namun, seperti peribahasa klasik, “Bertemu di puncak, jatuh ke dasar,” aristokrasi ini pun akan digulingkan oleh tiran atau bahkan berkembang menjadi demokrasi yang lebih inklusif, ketika golongan elit terpaksa bergabung dengan rakyat jelata.

Tapi tahukah kamu apa yang terjadi setelah itu? Ya, tepat sekali—demokrasi ini kemudian bertransformasi lagi menjadi oligarki! Begitulah siklusnya, berputar terus tanpa henti. Aristoteles benar-benar meramalkan bahwa kita akan terjebak dalam lingkaran politik yang terus berulang ini, berputar dari satu rezim ke rezim lainnya.

Salah satu elemen kunci yang memicu perubahan dalam siklus ini adalah perbedaan pemahaman tentang keadilan. Demokrasi ingin menyamaratakan, sementara oligarki ingin mempertahankan ketimpangan. Dalam konteks ini, masalah hutang menjadi faktor yang sangat mempengaruhi perubahan besar. Hutang sering kali digunakan oleh kelas penguasa sebagai alat untuk menundukkan rakyat, tetapi pada saat yang sama, ketidakmampuan membayar utang juga bisa memicu gelombang reformasi demokratik yang mendalam.

Contoh klasik dari penggunaan hutang ini bisa dilihat dalam sejarah Mesopotamia, di mana penguasa seperti Hammurabi melakukan pembatalan utang (dikenal sebagai andurārum) untuk menjaga kestabilan sosial. Keputusan-keputusan seperti ini penting untuk menghindari keruntuhan sosial—karena, siapa sangka, masyarakat yang tenggelam dalam utang akan segera kehilangan kemampuannya untuk bertahan?

Namun, meskipun banyak revolusi yang berhasil menurunkan kelas oligarki, masalah utang tetap menghantui sistem politik. Aristoteles juga mencatat bahwa pemimpin transisi—seperti tiran—sering kali memperoleh dukungan rakyat dengan cara membatalkan utang.

Lihat saja bagaimana Solon di Athena atau Julius Caesar di Roma, yang melakukan pembatalan utang sebagai cara untuk memenangkan hati rakyat jelata dan melawan elit yang menguasai harta. Namun, meskipun ini memberikan kelegaan sesaat, akar ketidaksetaraan ekonomi tetap ada, dan oligarki tidak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya menunggu untuk bangkit kembali. Memang, tak ada yang lebih abadi di dunia ini selain ketimpangan ekonomi, bukan?

Masuk ke zaman modern, kita bisa melihat bagaimana pola yang sama terjadi. Negara-negara di Eropa seperti Yunani pada 2010-an harus menghadapi krisis utang yang parah, yang dengan terpaksa mengubah hutang pribadi menjadi tanggung jawab negara.

Pada titik ini, banyak orang merasa bahwa kekuasaan keuangan—terutama lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan ECB—telah mengambil alih kendali politik. Bahkan ketika rakyat memilih pemerintahan yang pro-demokrasi, seperti yang terjadi di Yunani dengan partai SYRIZA, mereka terpaksa tunduk pada tuntutan para kreditor. Dalam hal ini, perlawanan terhadap oligarki tak lebih dari angan-angan belaka.

- Advertisement -

Di sisi lain, kita juga melihat munculnya kekuatan baru yang memanfaatkan hutang untuk membentuk kembali hubungan politik. Dengan kemajuan teknologi, terutama di bidang keuangan, ada kemungkinan bahwa kita akan melihat munculnya “feodalisme kripto”—sistem di mana utang dan kontrak cerdas (smart contracts) bisa mengendalikan kehidupan kita lebih jauh lagi.

Bayangkan, hanya dengan memegang kendali atas sistem pembayaran atau mata uang digital, beberapa orang bisa memutuskan nasib finansial seluruh negara. Wah, ini sih bisa jadi lebih berbahaya daripada oligarki lama!

Namun, tidak semua harapan hilang. Ada beberapa suara yang menyerukan alternatif: pembatalan utang, bank publik, dan pajak kekayaan. Beberapa negara sudah mencoba untuk mengatasi ketimpangan ini dengan cara yang lebih adil, meskipun sering kali mendapat tentangan keras dari pihak yang lebih kuat secara finansial.

- Advertisement -

Menurut ekonom seperti Thomas Piketty, pajak kekayaan bisa menjadi alat untuk mengurangi ketimpangan yang mengakar. Tetapi, tentu saja, seperti yang Aristoteles katakan, perubahan besar selalu memerlukan perlawanan besar, dan oligarki tak pernah berhenti berusaha mempertahankan kekuasaannya.

Lalu, bagaimana kita keluar dari siklus ini? Jawabannya mungkin terletak pada pemahaman yang lebih dalam tentang hutang dan bagaimana kita memperlakukan kekayaan. Seperti yang Aristoteles ungkapkan dalam Etika Nikomakhia, uang hanyalah alat, bukan tujuan hidup.

Dengan memperlakukan hutang sebagai konstruksi sosial dan bukan kewajiban moral, kita mungkin bisa memutus siklus ini dan menciptakan pemerintahan yang lebih adil. Namun, untuk sampai ke sana, kita membutuhkan perubahan struktural yang mendalam dalam cara kita mengelola uang, kekayaan, dan kekuasaan—dan mungkin, hanya mungkin, kita akan menemukan jalan keluar dari lingkaran Aristotelian ini.

Share This Article