Membunuh itu dosa. Sebuah aksi yang mencabut nyawa, merampas eksistensi seseorang, dan menempatkan pelakunya dalam barisan mereka yang menodai hukum moralitas universal. Namun, dosa memiliki gradasi, dan tidak semua dosa diciptakan setara.
Ada dosa yang begitu hina hingga menuntut kita untuk merenung, dan ada dosa yang, meski tetap berlumur darah, mengandung unsur keadilan dalam bentuknya yang paling purba. Jika membunuh koruptor adalah dosa, maka itu adalah dosa terbaik yang bisa kita persembahkan.
Korupsi bukan sekadar pencurian, ia adalah metastasis dari penyakit sosial yang melumpuhkan sebuah bangsa. Para koruptor bukanlah kriminal biasa; mereka adalah pengkhianat rakyat yang berkamuflase dalam jas dan dasi, memanipulasi hukum, membusukkan sistem, dan menjadikan kemiskinan sebagai komoditas politik.
Mereka mencuri dari tangan yang lapar, merampas dari generasi yang seharusnya berhak atas pendidikan, merenggut harapan dari mereka yang berusaha bertahan di bawah gempuran ketidakadilan struktural. Mereka bukan hanya maling uang negara, mereka adalah pembunuh tanpa senjata, perampok yang bekerja dalam senyap, pembantai yang tidak pernah secara langsung mengotori tangannya dengan darah. Dan inilah yang membuat mereka jauh lebih berbahaya.
Dunia mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hak hidup, bahwa negara yang beradab tidak boleh menukar nyawa dengan nyawa. Namun, bagaimana dengan mereka yang telah merampas hak hidup jutaan orang dengan keserakahan mereka? Bukankah mereka telah mempraktikkan genosida dalam bentuk yang lebih licik?
Jika seorang pembunuh dapat dijatuhi hukuman mati karena menghabisi satu atau dua nyawa, mengapa koruptor yang membunuh dalam skala lebih besar bisa melenggang bebas, menikmati hukuman ringan, atau bahkan kembali berkuasa dengan kekuatan finansialnya? Jika dunia ini masih memiliki sejumput keadilan, maka dosa terbaik yang bisa dilakukan adalah mengakhiri mereka yang tidak pantas untuk hidup.
Jika membunuh koruptor adalah dosa, maka itu adalah dosa terbaik yang bisa kita persembahkan
Dalam dunia filsafat moral, ada konsep yang disebut dengan utilitarianisme—sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jika keberadaan seorang koruptor membawa derita bagi jutaan rakyat, sementara penghapusan eksistensinya membawa kelegaan bagi sebuah bangsa, maka dengan logika ini, hukuman mati bagi koruptor bukan hanya sebuah tindakan yang bisa dibenarkan, tetapi menjadi sebuah keharusan etis.
Dalam pemikiran yang lebih radikal, Thomas Hobbes berbicara tentang keadaan alamiah manusia yang penuh konflik, di mana hukum yang lemah akan menjerumuskan masyarakat ke dalam anarki. Dalam kondisi di mana korupsi telah menggerogoti sistem hukum hingga ke akarnya, mengeksekusi koruptor bukanlah tindakan barbar, melainkan upaya untuk mengembalikan keseimbangan yang telah rusak.
Para pembela hak asasi manusia akan berteriak, menyebut bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, bahwa sistem peradilan yang adil harus dijunjung tinggi. Namun, mereka lupa bahwa koruptor telah menggunakan hukum sebagai alat untuk mengamankan kejahatan mereka.
Mereka membayar pengacara terbaik, memanipulasi regulasi, menyuap hakim, dan menjadikan keadilan sebagai lelucon. Menghadapi mereka dengan cara yang lembut adalah seperti memberi pedang kepada pembunuh dan berharap dia akan berubah menjadi petani. Ada kalanya sistem yang korup hanya bisa dibersihkan dengan api, dan ada saatnya ketika satu-satunya cara untuk menghentikan penyakit adalah dengan amputasi.
Hukuman mati bagi koruptor bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal simbolisme. Dalam banyak peradaban kuno, eksekusi terhadap pengkhianat dilakukan di depan publik bukan hanya untuk menghukum, tetapi untuk mengirimkan pesan: ini adalah harga yang harus dibayar bagi mereka yang berani mengkhianati rakyat.
China, misalnya, menerapkan hukuman mati bagi pejabat yang terbukti melakukan korupsi dalam skala besar, dan hasilnya? Negara itu tidak bebas dari korupsi, tetapi ada ketakutan yang cukup untuk menahan sebagian besar pejabat agar tidak tergoda melakukan pengkhianatan serupa.
Beberapa orang akan berargumen bahwa hukuman mati bukan solusi, bahwa akar korupsi harus diberantas dengan pendidikan dan reformasi sistem. Ini adalah pemikiran yang indah, tetapi juga naif.
Para koruptor tidak bodoh; mereka tahu bahwa yang mereka lakukan adalah kejahatan, tetapi mereka tetap melakukannya karena sistem memberi mereka peluang untuk lolos. Jika perubahan sistem bisa terjadi tanpa tindakan drastis, maka kita tidak akan menyaksikan begitu banyak negara yang tetap bergelut dalam kubangan korupsi meski telah melewati reformasi demi reformasi.
Di titik ini, ada pertanyaan filosofis yang lebih mendalam: apakah Tuhan membutuhkan persembahan dalam bentuk dosa terbaik? Jika Tuhan menciptakan manusia dengan akal dan kebebasan memilih, apakah mungkin bahwa dalam beberapa keadaan, kejahatan yang lebih kecil menjadi instrumen untuk mencegah kejahatan yang lebih besar? Kita berbicara tentang konsep pengorbanan, di mana seseorang harus menanggung dosa demi menyelamatkan lebih banyak orang.
Jika sejarah mengajarkan kita sesuatu, maka itu adalah bahwa dunia tidak bergerak oleh tangan-tangan yang bersih, tetapi oleh mereka yang berani mengambil keputusan sulit, yang berani mengorbankan sesuatu demi sesuatu yang lebih besar.
Di dunia yang ideal, kita tidak membutuhkan hukuman mati untuk koruptor. Tapi kita tidak hidup di dunia ideal. Kita hidup di dunia di mana keadilan bisa dibeli, di mana hukum sering kali tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Jika mengeksekusi koruptor berarti memberikan peringatan bagi generasi berikutnya, maka ini bukan hanya sebuah hukuman, tetapi juga tindakan pendidikan dalam bentuknya yang paling efektif. Jika sejarah butuh darah untuk ditulis ulang, maka mungkin dosa terbaik yang bisa kita lakukan adalah memberikan Tuhan persembahan yang layak: eksekusi bagi mereka yang mengkhianati rakyat.
Membunuh tetaplah dosa, tetapi dosa ini bisa menjadi hadiah bagi masa depan yang lebih bersih. Dan jika kita tidak berani menumpahkan darah mereka yang telah menumpahkan keringat rakyat untuk kepentingan pribadi, maka kita tidak lebih dari bangsa yang rela diperbudak oleh para penguasa rakus.
Keadilan tidak hanya tentang apa yang benar secara hukum, tetapi juga tentang apa yang benar secara moral dan historis. Maka jika dosa terbaik adalah membunuh koruptor, mungkin ini saatnya untuk mempertimbangkan bahwa beberapa dosa harus dilakukan demi kebaikan yang lebih besar.