Jadi, kita benar-benar ingin berharap pada koperasi merah putih itu untuk menyelamatkan ekonomi desa? Mungkin, tapi coba lihat dulu kondisi sumber daya manusia (SDM) di desa yang, jujur saja, kebanyakan sudah jauh tertinggal.
Sebagian besar kepala desa (Kades) dan perangkat desa yang rata-rata berusia lebih tua—termasuk yang lebih memilih cara-cara lama—terjebak dalam pola pikir yang sudah tidak relevan lagi. Sudah saatnya kita sadar bahwa mereka, yang biasanya mengandalkan pengalaman masa lalu, mungkin tidak siap untuk beradaptasi dengan teknologi dan model bisnis modern.
SDM desa yang umurnya sudah jauh dari muda dan terkesan “old school” adalah masalah nyata yang tidak bisa kita hindari. Kades yang lebih sering mengandalkan kebijakan yang sudah kuno, perangkat desa yang lebih memilih cara manual daripada memanfaatkan aplikasi, semuanya hanya menghambat kemajuan.
Mereka lebih nyaman menggunakan metode yang sudah biasa mereka lakukan tanpa mau belajar cara baru yang bisa membawa perubahan lebih cepat. Ditambah lagi, ketidakpahaman tentang potensi digital seringkali menjadikan desa terperangkap dalam rutinitas yang tidak produktif.
Memang, tidak semua desa mengalami hal ini. Ada beberapa yang sudah mulai berinovasi, seperti yang terjadi di Desa Pitusunggu yang berhasil mengelola E-ComDes untuk memasarkan produk rumput laut secara online dan berhasil mencapai peningkatan omzet yang luar biasa.
Namun, tidak sedikit desa yang masih terjebak pada “kepala desa yang sudah tua,” yang lebih sering berfokus pada pengelolaan yang dianggap sudah cukup, tanpa melihat bahwa dunia di luar desa sudah jauh berkembang. Hal ini bukan hanya menghambat ekonomi desa, tapi juga memperburuk kualitas SDM yang ada.
Perangkat desa, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perubahan, malah sering kali justru menjadi hambatan. Mereka seringkali tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang pentingnya literasi digital, yang mana sangat krusial di era sekarang.
Misalnya, desa yang mengandalkan sistem manual dalam pencatatan laporan keuangan atau administrasi desa, yang jelas sangat memakan waktu dan berpotensi menimbulkan kesalahan. Kenapa? Karena SDM di desa kebanyakan tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan sistem yang lebih efisien dan modern.
Apa yang mereka butuhkan adalah pelatihan intensif yang tidak hanya fokus pada pengelolaan administratif, tetapi juga pada pengembangan literasi digital, agar mereka bisa memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi kerja dan pelayanan kepada masyarakat.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa SDM yang ada di desa—termasuk Kades dan perangkat desa—masih sangat jauh tertinggal dalam hal kemampuan untuk menjalankan BUMDes secara optimal. Mereka cenderung lebih mengandalkan pengalaman tradisional yang mereka miliki daripada mengikuti perkembangan teknologi yang sebenarnya bisa memberikan solusi yang lebih cepat dan lebih efektif.
Jadi, jika kita berharap banyak pada mereka untuk mengembangkan koperasi atau BUMDes dengan cara-cara lama, itu hanya akan membuang waktu dan uang saja.
Sementara itu, desa-desa yang lebih maju sudah mulai memanfaatkan teknologi dan melatih SDM mereka untuk lebih cakap di bidang digital, menghasilkan hasil yang jauh lebih mengesankan.
Desa seperti Tirtonirmolo yang berhasil menumbuhkan usaha simpan pinjam dengan omzet fantastis, atau desa-desa yang memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produksi, sudah membuktikan bahwa dengan SDM yang lebih muda dan terlatih, BUMDes bisa lebih efektif beroperasi.
Sekarang, apakah kita mau terus berlarut-larut pada koperasi yang hanya mengandalkan sistem usang dengan SDM yang tidak siap beradaptasi? Atau kita mulai serius untuk melibatkan generasi muda desa dalam proses perubahan dan mengupgrade SDM perangkat desa agar lebih terampil dan siap menjalankan bisnis modern berbasis digital yang bisa membawa keuntungan bagi seluruh masyarakat desa? Saya rasa jawabannya jelas—waktunya berubah dan beradaptasi dengan teknologi.