Titik, Janda Tunawisma dan Absennya Negara di Ujung Kampung

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 6 Mnt
Titik, Janda Tunawisma dan Absennya Negara di Ujung Kampung (Ilustrasi)
Titik, Janda Tunawisma dan Absennya Negara di Ujung Kampung (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Kalau kau ke utara di pertigaan jalan raya di desa Andulang, kau akan melewati pom bensin dan warung kopi sepi, tak lama setelah itu sekira 500 meter lagi kau akan sampai di Balai Desa Gapura Timur di kanan jalan, dan di kiri jalannya sebuah cerita yang akan saya cerita berikut ini:

Dibalik kabar yang tersebar luas dari bisik ke bisik warga tentang sang kades punya istri simpanan, di Dusun Dik-Kodik, ada cerita lain tentang seorang janda. Lupakan imajinasimu soal selangkangan begitu mendengar frasa ‘janda’, ini soal kemiskinan yang kalau kau sedikit berpikir dan berperasaan, kau akan menabrakkan kepalamu ke tembok lalu mati dengan penyesalan. Hai pejabat terkait!

Kemiskinan bukanlah data statistik melainkan ruang yang dihuni—sebuah warung rujak tua selebar dua meter yang menjadi dinding terakhir antara hidup dan matinya harapan.

Di sana, Titik dan anaknya Dian bukan sekadar angka dalam laporan kemiskinan desa. Mereka adalah potret manusia yang terdampar di persimpangan antara kehancuran sistem waris, kebekuan birokrasi, dan kesunyian negara.

Warung reyot itu, yang dibeli dengan cicilan Rp400.000 dari tabungan terakhir, adalah ruang perlawanan sekaligus pengakuan: bahwa di tanah air sendiri, seorang janda bisa menjadi pengungsi tanpa pernah meninggalkan kampung halamannya.

Anak Ranting NU Dik-Kodik hadir bukan sebagai penolong, melainkan suara diam-diam yang membongkar paradoks kekuasaan. Ketika pemerintah desa sibuk merembukkan “kerumitan prosedur”, mereka mengubah koin-koin sumbangan jamaah menjadi palu godam yang meruntuhkan tembok birokrasi.

Uang Rp400.000 itu—nilai yang bahkan tak cukup untuk rapat koordinasi di balai desa—menjelma menjadi kunci yang membebaskan Titik dari jerat hutang sekaligus kurungan ketiadaan. Ini bukan filantropi, melainkan seismograf yang mencatat gempa keadilan di lapisan paling dasar masyarakat: solidaritas yang bergerak lebih cepat dari negara, dan lebih peka dari hukum.

Di seberang warung itu, balai desa berdiri megah—simbol geometri kekuasaan yang ironis. Jarak sepuluh meter antara kedua bangunan itu bagai jurang antara dua alam: satu dihuni oleh bahasa rembuk, anggaran, dan rencana strategis; satu lagi oleh nasi dingin, buku sekolah yang basah oleh bocor atap, dan desah anak yatim yang bertanya mengapa ibunya tak punya tempat pulang.

NU Dik-Kodik telah membangun jembatan di atas jurang itu. Bukan dengan beton dan proyek, melainkan dengan kehendak kolektif yang memilih menghidupkan Fikih Prioritas: Menyelamatkan nyawa manusia adalah ibadah tertinggi, lebih suci dari segala protokol.

- Advertisement -

Namun, warung rujak yang kini berdiri itu adalah monumen yang bisu sekaligus bersuara keras. Ia mengabarkan bahwa di Indonesia, masih ada warga yang harus membeli rumah seharga Rp800.000 karena tanah airnya tak memberinya sejengkal ruang.

Ia menertawakan klaim pembangunan yang mengira kemiskinan bisa dihapus melalui program berbasis data, sementara seorang anak SD harus tidur di lantai kayu penuh serpihan bumbu rujak. Ia membuktikan bahwa ruang-ruang kosong dalam peta perlindungan sosial negara—di mana janda miskin dan anak terlantar tercecer—justru diisi oleh gerakan bawah tanah kemanusiaan yang lahir dari rahim tradisi keagamaan.

Abstraksi bantuan NU Dik-Kodik sesungguhnya terletak pada dekonstruksinya terhadap konsep “pemeliharaan fakir miskin”. Mereka tak memberi ikan, tak juga sekadar kail.

- Advertisement -

Mereka merombak seluruh kolam yang keruh memaksa warung rujak menjadi ruang hidup yang multifungsi, mengubah sumbangan warga menjadi alat politik pembebasan, dan menjadikan pengajian bulanan sebagai parlemen rakyat yang memutuskan nasib manusia lebih adil daripada sidang desa.

Dalam semiotika sosial, warung Titik kini adalah tanda tanya raksasa yang tertancap di jantung Gapura Timur: Jika menyelamatkan satu nyawa hanya butuh Rp400.000 dan empat jam musyawarah warga, mengapa negara membutuhkan anggaran miliaran dan rapat berbulan-bulan?

Esensi gerakan ini adalah kritik ontologis terhadap cara negara melihat tubuh miskin. Bagi birokrasi, Titik adalah “kasus” yang perlu diverifikasi, diklasifikasi, dan dimasukkan kuadran program. Bagi NU Dik-Kodik, ia adalah tetangga yang kopinya kadang terlalu manis, anaknya yang pernah menangis karena tak bisa kerjakan PR matematika. Mereka tak memelihara “fakir miskin”—mereka mengembalikan martabat manusia yang dirampas sistem.

Warung itu kini tetap berdiri. Baunya asam-pedas menyengat, suara denting piringnya riuh, dan atapnya bisa bocor kapan saja ketika hujan. Tapi di sanalah negara seharusnya belajar bahwa di balik wacana “pemeliharaan warga terlantar”, yang dibutuhkan bukan belas kasihan, melainkan pengakuan bahwa setiap manusia berhak menjadi subjek—bukan objek program.

Bahwa kemanusiaan tak bisa dirembukkan dalam ruang ber-AC, melainkan harus dihidupi dalam kesementaraan warung rujak. Sebelum negara selesai berdebat tentang indikator kemiskinan, di Dik-Kodik, secangkir rujak seharga Rp5.000 telah menjadi prasasti hidup, Di sini, pada suatu masa, rakyat memelihara rakyat karena negara terlambat datang.

Monumen-monumen semacam ini tak akan tercatat dalam arsip nasional. Tapi selama masih ada warung reyot yang menjadi benteng terakhir kaum terbuang, selama itu pula kita tahu: ruang-ruang gelap dalam peta pembangunan Indonesia hanya diterangi oleh lilin-lilin kecil yang dinyalakan orang biasa. Dan kadang, lilin itu bernama NU Ranting Dik-Kodik.

Share This Article