Trilogi Ketololan Pemerintah, Mengabaikan Masalah Struktural

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 5 Mnt
Trilogi Ketololan Pemerintah, Mengabarkan Masalah Struktural (Ilustrasi)
Trilogi Ketololan Pemerintah, Mengabarkan Masalah Struktural (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Program-program utama pemerintahan Prabowo Subianto—Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat—mengekspos ketololan kebijakan yang terang-terangan menginjak-injak kerangka regulasi nasional sekaligus mengabaikan akar masalah struktural.

MBG menjadi contoh nyata kebijakan seremonial yang menggerus anggaran pendidikan yang sudah telanjur minim, dengan menyedot Rp71 triliun dari fungsi pendidikan sehingga hanya menyisakan 18% APBN untuk sektor tersebut—langsung melanggar amanat konstitusi tentang alokasi 20% APBN untuk pendidikan.

Padahal 34% SD masih kekurangan ruang kelas dan 22.000 sekolah dalam kondisi rusak membutuhkan perhatian mendesak. Alih-alih memperbaiki infrastruktur pendidikan bobrok, dana dialihkan ke proyek logistik makanan yang berisiko memicu inflasi pangan 1,2%.

Efektivitasnya pun dipertanyakan, karena dalam 100 hari pertama program ini hanya menjangkau 2 juta dari 82,9 juta siswa target dengan penyerapan anggaran Rp700 miliar dari total Rp171 triliun—bukti nyata ketidaksiapan implementasi.

Dampak MBG lebih parah lagi pada sistem kesehatan yang sudah babak belur menanggung defisit BPJS Rp12,8 triliun. Program ini mengabaikan skema promotif-preventif yang diamanatkan Perpres No. 59/2024, memilih pendekatan populis dengan distribusi makanan umum yang efektivitasnya cuma sepertiga dibanding intervensi spesifik seperti suplementasi zat besi versi UNICEF.

Kebijakan ini hanya menghasilkan pencitraan politisi bagi-bagi nasi bungkus, sementara masalah stunting dan defisit BPJS dibiarkan menggunung tanpa solusi struktural.

Koperasi Merah Putih memperlihatkan wajah lain kebijakan kontraproduktif yang mengorbankan keberlanjutan ekologis. Program ini dengan dalih nasionalisme justru menjadi alat sistematis penghancuran lahan pangan berkelanjutan melalui fokus hilirisasi sawit di 40% koperasi—langsung bertabrakan dengan Perpres No. 18/2021 tentang perlindungan lahan pangan.

Kegagalan food estate di Kalimantan Tengah (72% lahan gambut tidak layak tanam) seharusnya menjadi pelajaran berharga, tetapi pemerintah nekat mengulangi kesalahan sama seperti era Orde Baru ketika 65% KUD di Jawa Timur kolaps. Partisipasi petani pun hanya 12% di daerah 3T, sementara elite lokal mendominasi struktur—membuktikan ini bukan koperasi rakyat melainkan kendaraan oligarki baru.

Sekolah Rakyat menyempurnakan trilogi kebijakan absurd dengan membangun 200.000 sekolah berasrama mewah ber-AC senilai Rp7,2 triliun—langsung meludahi UU No. 23/2014 tentang otonomi daerah. Pendidikan dasar adalah wewenang kabupaten/kota, tetapi pemerintah pusat memaksakan proyek fisik tidak relevan.

- Advertisement -

Daripada merekrut guru untuk memenuhi rasio 1:20 sesuai standar pelayanan minimal, mereka memaksakan rasio 1:45 yang jelas melanggar UU Sisdiknas. Ironisnya, 28% sekolah tak memiliki perpustakaan, tetapi dana mengalir ke asrama mewah lebih mirip hotel melati—bukti nyata pesta pora anggaran berkedok revolusi pendidikan.

Akar masalahnya adalah politik pencitraan yang mengabaikan perencanaan berbasis bukti. MBG dan Sekolah Rakyat dirancang untuk pamer angka penurunan stunting 21,6% atau jumlah sekolah baru, meski kajian Bank Dunia membuktikan peningkatan kualitas guru 15% lebih berdampak.

Koperasi Merah Putih menjadi contoh fragmentasi regulasi—tidak nyambung dengan KUR Syariah Rp1,2 triliun di Bekasi dan melanggar UU Penanaman Modal. Aspek lingkungan? Diabaikan total.

- Advertisement -

Pembukaan 1,2 juta hektare hutan Papua untuk sawit dilakukan tanpa KLHS, melanggar UU Perlindungan Lingkungan—bukan kebijakan tapi vandalisme ekologis.

Pola seremonial ini diperparah dominasi politik atas pertimbangan teknokratis. Tim Gugus Tugas Sinkronisasi didominasi politisi Partai Gerindra tanpa melibatkan ahli independen, menghasilkan kebijakan kontradiktif seperti pemangkasan 30% anggaran Kemenkes sambil menargetkan pemeriksaan kesehatan gratis.

Model perencanaan ala organisasi mahasiswa ini mengutamakan kegiatan sensasional, sementara kapasitas pelayanan publik tergerus.

Dampaknya mengkhawatirkan, defisit demokrasi saat DPR berubah menjadi “mitra” patuh ketimbang pengawas, wacana pengampunan koruptor, dan pembukaan keran impor besar-besaran yang mengorbankan UMKM lokal.

Program mercusuar seperti tiga juta rumah gratis hanya mengulangi kesalahan masa lalu—janji muluk tanpa kajian fiskal memadai.

Solusinya membutuhkan transformasi mendasar: (1) Penguatan Bappenas dan Badan Kebijakan Fiskal sebagai think tank independen dengan mekanisme transparansi; (2) Integrasi pendekatan bottom-up melalui forum partisipatif seperti FGD sukses era pandemi; (3) Harmonisasi regulasi termasuk menyelaraskan hilirisasi industri dengan revisi UU Minerba; (4) Perubahan mindset dari kebijakan seremonial ke berbasis bukti.

Tanpa ini, program prioritas hanya akan menjadi ritual politik kosong—seperti seminar mahasiswa yang ramai di panggung tapi hampa implementasi.

Share This Article