jlk – Di era demokrasi ini, suara rakyat didaulat sebagai pemegang kendali. Vox populi, vox dei, begitu kata pepatah Latin kuno, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Konon, suara rakyat adalah cerminan kehendak ilahi, penentu arah bangsa. Tapi, benarkah demikian? Ataukah di balik ilusi vox populi, tersembunyi bisikan lain yang lebih lantang, bisikan vox pecuniae, suara uang?
Bayangkan sebuah desa terpencil yang menggelar pemilihan kepala desa. Dua kandidat bertarung sengit.
Kandidat pertama, Pak Kades Lama, dikenal berwibawa dan berpengalaman. Ia mengabdikan diri untuk desa selama puluhan tahun, membangun infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kandidat kedua, Mas Bro, pengusaha muda tajir melintir. Ia baru muncul di desa beberapa bulan sebelum pemilihan, namun langsung menggebrak dengan kampanye mewah dan janji-janji bombastis.
Kampanye Pak Kades Lama sederhana, mengandalkan blusukan dan temu warga. Ia berjanji melanjutkan program lama dan membangun infrastruktur desa dengan cara yang lebih efisien dan transparan.
Di sisi lain, Mas Bro menggelar kampanye meriah, bagaikan konser dangdut keliling. Spanduk dan baliho terpampang di setiap sudut desa, menghiasi setiap warung kopi dan pohon mangga.
Janjinya pun bombastis, mulai dari lapangan futsal bertingkat hingga beasiswa ke luar negeri, bahkan ia berjanji untuk membangun taman Disneyland mini di desa.
Siapa yang menang? Jawabannya sudah bisa ditebak. Mas Bro, sang kandidat berduit, keluar sebagai pemenang. Vox populi, vox pecuniae, suara rakyat bergema lantang, seirama dengan gemerincing koin di kotak suara.
Demokrasi bagaikan pasar malam. Suara rakyat bagaikan barang dagangan yang diperjualbelikan. Para politisi menjelma menjadi pedagang yang menawarkan janji-janji manis. Uang menjadi alat tukar untuk meraih kekuasaan.
Vox populi, vox dei, kini tergantikan oleh vox pecuniae, vox potentia. Suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, melainkan suara uang, suara kekuasaan.
Seorang anak kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayah, apa itu demokrasi?”. Ayahnya menjawab, “Demokrasi adalah sistem di mana rakyat memilih pemimpin mereka.”
Anak itu bertanya lagi, “Lalu, siapa yang bisa menjadi pemimpin?”. Ayahnya tersenyum dan berkata, “Siapa saja yang punya banyak uang, Nak.”
Vox populi, vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Tapi, tunggu dulu, jangan terburu-buru. Coba ubah sedikit kalimat itu:
Vox populi, vox pecuniae.
Suara rakyat adalah suara uang.
Lebih realistis?
Demokrasi memang bukan sistem yang sempurna. Di balik ilusi vox populi, tersembunyi bahaya vox pecuniae.
Uang bisa mendistorsi suara rakyat, mengantarkan orang-orang yang tidak kompeten, bahkan korup, ke kursi kekuasaan.
Marilah kita jaga demokrasi ini dengan kritis dan cerdas. Jangan mudah tergoda oleh janji-janji manis dan politik uang.
Gunakan suara kita dengan penuh tanggung jawab, demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Vox populi, vox pecuniae. Ini adalah kenyataan pahit yang harus kita terima. Demokrasi bukanlah utopia, tetapi arena pertempuran ide dan kepentingan.
Mari kita menjadi rakyat yang pintar, kritis, dan berani. Gunakanlah suara kita untuk menentang tirani vox pecuniae, demi terwujudnya demokrasi yang adil dan makmur.