jlk – Ketika kita bicara soal panjat pinang, yang terbayang biasanya adalah sekelompok pria berkeringat, berjuang memanjat batang pohon yang licin demi hadiah-hadiah menggiurkan di puncaknya entah itu sepeda, kulkas, atau mungkin sekadar voucher belanja.
Tapi di tahun 2024 ini, sebuah inovasi absurd datang dari Cianjur: panjat pinang dengan hadiah janda muda! Yup, bukan sepeda, bukan kulkas, tapi janda muda.
Dari Tradisi ke Kontroversi
Mari kita sedikit merunut asal-usul. Panjat pinang, tradisi yang awalnya berasal dari era kolonial Belanda, dahulu merupakan hiburan kelas atas yang menyaksikan rakyat jelata saling berebut hadiah di atas tiang licin.
Ironis, karena pada masa itu, rakyat memanjat demi hadiah dari penjajah. Namun, seiring waktu, tradisi ini bertransformasi menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.
Namun, di balik semangat nasionalisme yang dikobarkan setiap 17 Agustus, tradisi ini juga mengandung elemen kompetisi yang sarat dengan ego maskulinitas.
Menggantungkan hadiah janda muda di atas tiang licin, dalam konteks sosial hari ini, tidak hanya mengundang tawa, tetapi juga menyulut kritik.
Bagaimana tidak? Di era ketika kesetaraan gender terus diperjuangkan, tiba-tiba kita dihadapkan pada sebuah tradisi yang memperlakukan perempuan khususnya janda sebagai objek hadiah.
Gimik, atau Eksploitasi?
Menurut postingan dari akun gosip terkenal di Instagram, lambe_turah, panjat pinang yang viral di Cianjur ini memang “cuma gimik”.
Seorang perempuan dengan baju merah duduk di puncak tiang dengan payung di tangan, sementara amplop-amplop hadiah menggantung di bawahnya.
Sebuah kombinasi antara komedi dan absurditas yang berhasil membuat netizen terpingkal-pingkal, sampai-sampai ada yang berkomentar, “Gunung tertinggi kan ku daki, lautan api kan ku seberangi, apalagi cuma ini…”
Namun, di balik lelucon tersebut, ada implikasi yang lebih dalam. Gimik seperti ini memperlihatkan betapa perempuan, khususnya janda, masih sering diperlakukan sebagai objek yang bisa “dimiliki”.
Dalam struktur sosial patriarkal, status janda sering kali dipandang sebelah mata, dianggap sebagai perempuan “tersisa” yang bisa ditawarkan begitu saja sebagai hadiah dalam kompetisi fisik.
Tidak sedikit orang yang mungkin berpikir, “Ah, ini cuma seru-seruan.” Tapi, di sinilah letak masalahnya.
Ketika sebuah masyarakat menganggap “seru-seruan” ini sebagai hal yang wajar, tanpa menyadari bahwa ada nilai-nilai mendasar yang dipertaruhkan, kita sedang membiarkan budaya misoginis bersemi kembali di era modern.
Gender dan Pengaruhnya
Lomba panjat pinang dengan hadiah janda ini bisa dilihat sebagai refleksi dari pandangan tradisional yang masih kuat dalam masyarakat kita tentang peran perempuan.
Di satu sisi, perempuan dianggap sebagai objek pasif yang bisa “dimenangkan” oleh laki-laki dalam kompetisi fisik. Di sisi lain, janda, yang seharusnya bisa menentukan nasibnya sendiri, dijadikan sebagai simbol yang bisa diperebutkan.
Ini adalah bentuk paling kasat mata dari ketimpangan gender, di mana perempuan dijadikan alat untuk memenuhi ego maskulin.
Mari kita tinjau lebih dalam dari perspektif sosiologis. Dalam teori objektifikasi, perempuan sering kali diposisikan sebagai objek yang dilihat dan dinilai berdasarkan daya tarik fisiknya semata.
Hal ini diperparah dengan status sosial tertentu, seperti janda, yang dalam pandangan patriarki, dianggap lebih rendah dibandingkan dengan perempuan yang masih menikah.
Dengan menempatkan janda sebagai hadiah, panitia lomba secara tidak langsung mempertegas stereotip ini: bahwa janda adalah sesuatu yang bisa dimenangkan, bukan individu dengan hak dan martabat.
Reaksi Netizen
Seperti biasa, netizen kita penuh dengan komentar kocak. Dari yang berharap tiang pinang tak pernah berhasil dipanjat, sampai yang yakin bapaknya pasti menang kalau ikut lomba.
Di satu sisi, humor ini menjadi pelarian yang lumrah di tengah masyarakat kita yang gemar mengemas tragedi dengan tawa.
Namun, di sisi lain, ini menunjukkan betapa masyarakat kita masih memiliki kecenderungan untuk menormalisasi perilaku yang merendahkan perempuan, selama bisa dikemas dengan “kekocakan“.
Bisa kita ambil contoh dari salah satu komentar yang viral: “Jangan ada yg menang wey biarin si teteh nyh diem di atas terus sampe HUT RI ke 80.”
Sebuah lelucon sederhana, namun sarat makna. Di balik guyonan itu, tersimpan pandangan bahwa perempuan, bahkan dalam konteks yang aneh sekalipun, masih sering dianggap sebagai pihak yang pasif, yang tidak memiliki kendali atas nasibnya sendiri.
Kesimpulan
Panjat pinang dengan hadiah janda muda mungkin terdengar seperti lelucon semata, tapi di balik itu terdapat lapisan-lapisan masalah sosial yang lebih dalam.
Ini adalah cerminan dari bagaimana kita, sebagai masyarakat, masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam hal memperlakukan perempuan dengan setara.
Tidak cukup hanya dengan mengakui bahwa ini sekadar gimik; kita harus bertanya, mengapa gimik seperti ini masih bisa terjadi di tahun 2024?
Dalam suasana perayaan kemerdekaan yang penuh semangat nasionalisme, mungkin ini saatnya kita bertanya, sudahkah kita benar-benar merdeka dari pandangan sempit tentang gender? Atau justru kita masih terperangkap dalam pola pikir lama yang mereduksi individu menjadi sekadar hadiah yang bisa direbut oleh yang terkuat?
Jadi, sambil menunggu panjat pinang berikutnya, mari kita pertimbangkan ulang tradisi-tradisi yang kita warisi. Barangkali, bukan hanya oli di tiang pinang yang licin, tapi juga jalan kita menuju kesetaraan gender yang sesungguhnya.