jlk – Fenomena Gitapati Nuraini menjadi pusat perhatian jagat maya ketika video dirinya sebagai mayoret berjilbab dengan rok mini viral.
Dalam video tersebut, Gitapati yang mengenakan jilbab kuning dan rok mini tampak berjoget di atas panggung, memicu reaksi keras dari netizen.
Tidak tanggung-tanggung, banyak yang mempertanyakan moralitas dan kesadaran dirinya dalam memadukan simbol religiusitas dengan busana yang dianggap tidak pantas.
Dengan hampir 95 ribu penonton, video ini memperlihatkan bagaimana publik kerap bergegas menghakimi tampilan fisik daripada substansi.
Netizen melihat penampilan Gitapati sebagai penghinaan terhadap hijab yang, bagi sebagian besar masyarakat, merupakan lambang kesucian dan ketundukan spiritual.
Namun, dalam konteks penampilannya yang dipadukan dengan rok mini dan aksi tarian “pargoy,” penonton justru tertawa atau bereaksi dengan cemoohan.
Ini membuka wacana serius soal dualitas antara kebebasan berekspresi dan batasan-batasan kultural yang dianggap tak terpisahkan dari identitas hijab itu sendiri.
Dalam video yang diunggah akun Instagram @nenktainment, respons publik tidak berhenti pada kecaman, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan menyindir mengenai posisi agama dalam aksi semacam ini.
Apakah hijab masih bisa dianggap sakral jika pemakainya menunjukkan perilaku yang dianggap kontradiktif? Gitapati, mungkin tanpa sengaja, telah menyulut pertarungan antara nilai-nilai konservatif dan kebebasan individu di tengah masyarakat yang semakin terpecah secara ideologis.
Menarik untuk dicermati bagaimana publik segera bereaksi keras terhadap perpaduan simbol hijab dengan rok mini ini.
Ada semacam kesenjangan pemahaman antara kebebasan individu dalam berekspresi dengan norma sosial yang kaku.
Di satu sisi, netizen merasa berhak mengatur bagaimana hijab harus dipakai, tetapi di sisi lain, kebebasan berekspresi menjadi tameng dari sisi liberal. Tapi yang sering kali terlewat dari perdebatan seperti ini adalah kompleksitas identitas perempuan itu sendiri.
Hijab, dalam konteks ini, tidak selalu merupakan representasi tunggal dari kesalehan, tetapi juga bisa menjadi medan kontestasi antara modernitas dan tradisi.
Gitapati, mungkin tanpa sadar mengundang masyarakat untuk mempertanyakan makna dari simbol-simbol yang selama ini kita anggap tak tergoyahkan. Tapi aksinya membuat birahi bapak-bapak di belakangnya adalah hal positif ‘lain’ yang perlu dibahas.
Apakah Gitapati sekadar mengekspresikan diri, ataukah ia menjadi korban dari ekspektasi sosial yang tak kenal ampun?
Netizen yang mengkritik seolah lupa bahwa hijab juga merupakan pilihan pribadi, dan pilihan ini bisa berarti banyak hal, tergantung pada perspektif yang melihatnya. Ya termasuk bapak-bapak di belakangnya.
Kritik moral terhadap dirinya lebih banyak berbasis prasangka dan asumsi-asumsi tentang moralitas yang sempit, ketimbang upaya untuk memahami konteks individual.
Kasus Gitapati memaksa kita untuk menelaah kembali batas-batas kebebasan berekspresi dalam ruang publik yang semakin dibingkai oleh sosial media.
Apakah benar ia salah karena memilih busana yang bertabrakan dengan norma mayoritas? Ataukah justru publik yang terlalu cepat menghakimi?. Kalau anda pernah belanja di Shopee, beli hijab saja masih ada embel-embel ‘Hijan Syar’i”.
Identitas dan ekspresi pribadi tidak pernah sepenuhnya menjadi urusan individu, di dunia maya, melainkan selalu menjadi bahan konsumsi dan penghakiman massa.
Tidak hanya itu, insiden ini juga menjadi cermin dari bagaimana kita, sebagai masyarakat, masih terjebak dalam dikotomi kaku antara tradisi dan modernitas. Padahal, kenyataannya lebih kompleks dan penuh nuansa.
Sebagai entitas yang hidup dalam dunia yang terus berubah, perempuan seperti Gitapati menantang status quo dan membuka ruang untuk dialog lebih lanjut tentang bagaimana seharusnya kita mendefinisikan identitas dalam era digital ini.
Jika kita ingin melangkah lebih jauh dari sekadar hujatan di kolom komentar, kita perlu memahami bahwa isu ini tidak hanya soal hijab atau rok mini. Ini tentang bagaimana kita memandang diri kita sendiri dalam konteks sosial yang lebih luas.
Wajar memang, ruang ekspresi bagi perempuan di Indonesia masih sangat sempit, dan sering kali dibatasi oleh ekspektasi sosial yang tak kenal kompromi dan harus tunduk pada tekanan mayoritas.
Fenomena ini, meski tampak sepele di permukaan, sebenarnya mengandung potensi untuk mengguncang fondasi pemahaman kita tentang hubungan antara agama, budaya, dan modernitas. Dah! selamat berpikir.