Nah, ini bukan ajakan untuk jadi tolol, tapi tamparan keras buat manusia sok pintar yang gegar otak mikir dirinya maha tahu. Sebab mengakui ketidaktahuan memang langkah pertama menuju pencerahan sejati.
Daftar Isi Manusia, dengan segala delusi kehebatannya, sering terjebak dalam kubangan kebodohan epistemik. Merasa dirinya sudah menguasai ilmu pengetahuan, padahal baru menggaruk permukaan realitas. Seperti katak dalam tempurung, mereka terpenjara oleh keterbatasan kognitif mereka sendiri. Ironisnya, semakin mereka merasa tahu, semakin jauh mereka dari kebenaran hakiki.
Satu hal yang pasti: ketidaktahuan bukanlah aib, tapi anugerah tersembunyi. Ia adalah katalisator eksplorasi intelektual, pemicu rasa ingin tahu, dan fondasi bagi pertumbuhan epistemologis. Kalau manusia mau jujur pada dirinya sendiri, mereka akan menyadari bahwa “tidak tahu” adalah awal dari segala pengetahuan.
KEBODOHAN EPISTEMIK, PENYAKIT YANG MEMBUAT OTAK KERDIL Mari kita bedah kebodohan epistemik. Apa itu? Sederhananya, itu adalah ketidakmampuan untuk mengenali batas-batas pengetahuan sendiri. Manusia dengan penyakit ini merasa dirinya sudah mencapai puncak pemahaman, padahal baru sebatas buih di lautan ilmu. Contohnya? Mereka yang ngotot mempertahankan dogma usang, menolak bukti empiris, dan menganggap pendapatnya sebagai kebenaran absolut.
Ini adalah kanker intelektual. Kebodohan epistemik menciptakan masyarakat yang anti-kritik, jumud, dan terjebak dalam stagnasi kognitif. Alih-alih mengeksplorasi cakrawala pengetahuan baru, mereka sibuk mempertahankan ego intelektual mereka yang rapuh. Alih-alih berinovasi, mereka sibuk mengunyah dogma basi yang sudah tidak relevan. Dan, jangan lupa, kebodohan ini sering dijadikan alat oleh para demagog untuk memanipulasi massa.
Yang lebih menyedihkan adalah bagaimana kebodohan ini dibungkus dalam kemasan “kebijaksanaan tradisional” atau “kearifan lokal.” Apanya yang bijaksana? Kebodohan yang diwariskan turun-temurun? Kalau sebuah pengetahuan tidak bisa diverifikasi, diuji, dan dikritisi, apa gunanya? Pengetahuan sejati adalah yang dinamis, adaptif, dan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Kebodohan epistemik adalah tameng bagi mereka yang takut perubahan, dan lebih parah lagi, ia menjadi penjara bagi masyarakat yang sudah lelah dan tidak punya keberanian untuk berpikir kritis.
Apa dampaknya? Lihat saja sejarah peradaban manusia. Berapa banyak konflik, perang, dan tragedi yang terjadi akibat kebodohan epistemik? Umat manusia sibuk bertengkar tentang dogma dan keyakinan sementara masalah nyata seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial terus menggerogoti planet ini. Kalau ini bukan kebodohan, lalu apa?
MENGEJAR KETIDAKTAHUAN, JALAN MENUJU PENGETAHUAN Ada yang akan protes, “Tapi bukankah kita harus yakin dengan pengetahuan kita?” Ya, keyakinan itu penting. Tapi keyakinan tanpa dasar, tanpa kerendahan hati untuk mengakui kemungkinan kesalahan, adalah arogansi intelektual.
Ketidaktahuan, dalam konteks ini, bukanlah ketidakpedulian atau kemalasan intelektual. Tapi ia adalah kesadaran akan keterbatasan manusia dalam memahami kompleksitas realitas. Misalnya, fisika teoretis menunjukkan betapa luas dan misteriusnya alam semesta. Itu bukti betapa banyak yang belum kita pahami. Tapi bagaimana manusia meresponsnya? Sebagian besar tidak peduli, sibuk dengan perkara-perkara remeh yang bahkan tidak relevan dengan eksistensi mereka.
Menerima ketidaktahuan bukan berarti menyerah pada nihilisme epistemologis. Sebaliknya, itu adalah upaya untuk membebaskan diri dari belenggu dogma dan membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru. Seperti kata filsuf Karl Popper, “Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan fakta, tetapi sistem hipotesis yang terus diuji dan direvisi.” Jadi, kenapa manusia sibuk mempertahankan keyakinan yang rapuh, sementara dunia di luar sana penuh dengan misteri yang menunggu untuk dipecahkan? Ini adalah kontradiksi yang harus dihancurkan.
Kebodohan epistemik berbeda dari ketidaktahuan yang produktif. Kebodohan epistemik adalah penolakan untuk mengakui keterbatasan pengetahuan. Ini harus dihancurkan. Ketidaktahuan? Itu adalah titik awal eksplorasi intelektual, sebuah pengakuan bahwa perjalanan pengetahuan tidak pernah berakhir.
SCIENTIFIC TEMPER, SEBUAH KEHARUSAN Mari kita perjelas: Scientific Temper, atau sikap ilmiah, bukan “opsi menarik.” Ini adalah keharusan. Kalau manusia mau terus berkembang dan bertahan di dunia yang kompleks ini, mereka harus mengadopsi cara berpikir yang rasional, kritis, dan berbasis bukti.
Scientific Temper adalah kerangka berpikir yang berfokus pada observasi empiris, penalaran logis, dan pengujian hipotesis. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, ini berarti:
Pisahkan mana yang fakta dan mana yang opini. Jangan mencampuradukkan keyakinan pribadi dengan kebenaran objektif. Prioritaskan bukti. Jangan terjebak dalam dogma atau tradisi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Hancurkan tabu terhadap kritik. Kalau sebuah ide atau keyakinan terbukti salah, buang. Manusia butuh diskusi yang terbuka, tanpa takut dianggap sesat hanya karena mempertanyakan sesuatu. Yang harus dimengerti adalah, Scientific Temper bukanlah ancaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan, melainkan penyelamatnya. Dengan pendekatan ilmiah, manusia bisa memecahkan masalah-masalah kompleks yang dihadapi peradaban. Dengan logika dan penalaran kritis, manusia bisa membangun masa depan yang lebih baik. Apakah ini akan sulit? Ya, tapi tidak ada jalan lain. Manusia sudah cukup lama terjebak dalam perangkap dogma dan kebodohan; sekarang waktunya bangkit atau lenyap ditelan zaman.
SATU-SATUNYA JALAN KELUAR Transformasi menuju Scientific Temper tidak akan terjadi tanpa perlawanan. Akan ada mereka yang menjerit bahwa perubahan ini adalah penghancuran nilai-nilai luhur, atau lebih buruk lagi, penghinaan terhadap tradisi. Mereka akan mencoba mempertahankan status quo dengan segala cara.
Jawabannya? Biarkan mereka berteriak. Perang ide adalah harga yang harus dibayar untuk kemajuan. Kalau manusia takut dengan perdebatan intelektual, maka mereka akan terus terbelenggu dalam kebodohan.
Perang ide bukan tentang menyerang individu, tetapi menguji dan menyaring gagasan-gagasan. Ini adalah proses yang tidak bisa dihindari. Dunia terus berubah, dan siapa pun yang menolak adaptasi akan punah. Kalau ada konflik yang timbul, anggap itu sebagai tanda bahwa perubahan sedang berjalan. Sebab, yang benar-benar mematikan adalah matinya rasa ingin tahu dan lenyapnya kritik.
BELAJAR ATAU LENYAP Manusia punya dua pilihan. Mereka bisa terus berkubang dalam kebodohan epistemik, sibuk mempertahankan dogma yang tidak relevan, dan perlahan menjadi fosil sejarah. Atau mereka bisa bangkit, membuang semua yang tidak berguna, dan membangun budaya berpikir yang berbasis pada akal, ilmu, dan logika.
Kebodohan epistemik harus dihancurkan—tidak ada kompromi. Ketidaktahuan yang produktif harus dipelihara sebagai pemicu eksplorasi intelektual. Dan yang paling penting, manusia harus berhenti merasa nyaman dalam stagnasi kognitif.
Manusia sejati adalah manusia yang berani berpikir, berani berubah, dan berani menantang dogma. Kalau manusia tidak mulai sekarang, maka mereka tidak pantas disebut sebagai makhluk yang berakal budi.