Ketika Neraka Diisi oleh Pejabat-Pejabat Indonesia

Oleh
Baca 7 Mnt
Ketika Neraka Diisi oleh Pejabat-Pejabat Indonesia (Ilustrasi)
Ketika Neraka Diisi oleh Pejabat-Pejabat Indonesia (Ilustrasi)

Ingatlah, selain maha pengasih dan penyayang, tuhan itu maha kejam.

Api membara menjilat langit-langit gua batu yang retak, udara pekat berbau sulfur menyengat seperti asap pabrik ilegal, jeritan manusia terkutuk bergema bak suara speaker masjid yang dirusak oknum.

Ini tempat penyembelihan khusus buat para pejabat Indonesia yang semasa hidupnya menjual tanah rakyat, menggelapkan dana bansos, dan tidur nyenyak di kasur empuk sementara rakyatnya mati kelaparan!

Di sini, tak ada jas dinas berlapis emas, tak ada pengawal bersenjata, apalagi pesta miras di hotel bintang lima. Yang ada hanya deretan tubuh terkunci dalam siksaan abadi, sesuai dengan tingkat kejahatan mereka saat menjabat.

Lihatlah si kepala desa yang dulu sombong itu, yang semasa hidupnya mengaku “abdi rakyat” tapi diam-diam mengorupsi dana desa buat beli motor baru dan renovasi rumah mewah. Kini, di neraka, tubuhnya terendam hingga leher di lumpur mendidih bercampur kotoran manusia.

Setiap kali dia mencoba merangkak keluar, puluhan setan bertaring merah menyambarnya, mencabik bokongnya dengan golok karat sambil menjerit, “Ini ganjaran buat proyek fiktifmu, anjing!”. Yang menyiksa bukan malaikat Malik, tapi setan-setan neraka itu sendiri. Malaikat terlalu suci untuk manusia jenis ini.

Di tangannya, setan memaksa ia menggenggam koin-koin recehan berkarat—sisa uang korupsi dana sembako—yang harus ia hitung satu per satu di tengah kobaran api.

Tapi setiap hitungan ke-100, setan menjambak rambutnya dan meneriak, “Salah, bangsat! Mulai lagi dari nol!” Tak ada ampun. Tak ada istirahat. Hanya dera dan tertawa setan yang dulu jadi korban proyek aspal abal-abalnya.

Tak jauh dari sana, seekor pohon manusia menjerit-jerit kesakitan. Itulah si bupati, yang semasa hidupnya tega membabat hutan lindung, mengeluarkan izin tambang ilegal, dan menikmati duit suap dari pengusaha serakah.

- Advertisement -

Kini, tubuhnya dikutuk menjadi pohon berdarah, kulitnya mengelupas seperti kayu terbakar, sementara akarnya menjalar di tanah berbara. Setiap daun yang tumbuh di tubuhnya adalah uang suap beracun yang melukai tangannya sendiri.

Para setan bertopi proyek—mirip kontraktor nakal yang dulu dia bayar—silih berganti menggergaji batang tubuhnya dengan chainsaw berkarat. “Ini rasanya kayak hutan yang kau tebang, kan?!” teriak mereka sambil menyiram luka si bupati dengan oli bekas.

Setiap kali tubuhnya mulai sembuh, gergaji kembali menyala, dan jeritannya menggelegar seperti suara alat berat yang dulu menghancurkan gunung suci.

- Advertisement -

Naik ke tingkat lebih dalam, ada kolam lumpur hitam berisi limbah industri. Di sana, si gubernur—yang dulu gemar mengemis janji ke pusat tapi menggelapkan dana APBD—dipaksa berenang di tengah cairan kimia menyengat yang menggerogoti kulitnya.

Kepalanya dicekik rantai besi oleh setan-setan berwajah anak stunting, korban dari anggaran kesehatan yang dikorupnya. “Minum tuh air limbah favoritmu!” hardik mereka sambil menyiram mulutnya dengan air tercemar yang dulu dia biarkan mengalir ke pemukiman warga.

Di sekelilingnya, ribuan tikus raksasa—metafora dari proyek DAK fiktif—menggerogoti jarinya satu per satu, sementara layar besar menayangkan rekaman rakyat miskin yang mati akibat air tercemar. “Ini konsekuensi pesta pora duit rakyatmu, bangsat!”

Di ruang lebih gelap, para menteri dan anggota DPR yang dulu gemar berfoya-foya di gedung wakil rakyat, kini dirantai di kursi besi panas membara. Mata mereka dipaksa terbuka oleh kait besi, dipaksa menonton tayangan rakyat kelaparan yang mereka tinggalkan.

Setan berwajah aktivis yang dulu mereka penjara, menyiksa mereka dengan memutar rekaman suara diri mereka sendiri: “Rakyat harus berhemat!” atau “Subsidi BBM harus dicabut!”—diulang-ulang hingga otak mereka mendidih.

“Kau pikir rakyat lupa janji palsumu? Di sini, kau akan mendengarnya setiap detik sampai akhir zaman!” Setiap kali mereka mencoba memejamkan mata, paku berkarat ditancapkan ke kelopaknya. Di bawah kursi, tumpahan uang panas membara—sisa suap proyek infrastruktur—dipaksa mereka telan hingga ususnya meletus.

Tapi puncak segala kekejaman ada di ruang paling dalam: singgasana presiden. Bukan tahta emas, melainkan sebuah kursi listrik berkarat yang menyetrum tubuhnya tanpa henti.

Si presiden—yang dulu berpidato manis tentang “Indonesia Maju” sementara kebijakannya mencekik rakyat kecil—kini dikurung dalam sangkar besi, dikelilingi bayangan rakyat yang mati akibat kelaparan dan ketiadaan akses kesehatan.

Setan berwajah guru honorer dan buruh upah murah menyiksanya dengan cambuk berduri sambil memaksanya mendengar teriakan rakyat: “Makan tuh janji palsumu!” Di dadanya, tergantung papan bertuliskan “Penghianat NKRI”, sementara lidahnya dipotong setiap hari oleh setan berbaju TNI palsu—simbol dari kebijakan militeristiknya yang mengorbankan rakyat.

Setiap kali dia memohon mati, setan tertawa: “Kau pikir rakyatmu dulu bisa mati cepat saat kau permainkan nasib mereka? Nikmati siksaan ini selamanya!”

Dan di sudut paling kelam, para koruptor kelas kakap yang dulu kabur ke luar negeri, hidup mewah di villa mewah, kini dirantai di dinding lava. Wajah mereka dipaksa menyentuh layar yang menampilkan keluarga mereka di dunia—anak-anak mereka yang jadi pecandu narkoba dan istri-istri yang dijauhi tetangga karena aib korupsi.

“Lihat! Kau hancurkan bukan hanya rakyat, tapi juga generasimu sendiri!” teriak setan sambil menusuk mata mereka dengan uang dollar beracun. Di telinga mereka, bisikan para whistleblower yang dulu mereka bunuh di dunia, mengutuk mereka tanpa henti.

Neraka ini bukan akhir dari dongeng. Ini peringatan. Setiap detik di sini adalah cerminan dari penderitaan yang mereka ciptakan selama berkuasa. Tak ada pengadilan, tak ada kuasa hukum, hanya keadilan murni yang membalas kebusukan dengan kebusukan lebih keji.

Bagi para pejabat di dunia yang masih bermimpi menikmati harta haram, bersiaplah. Neraka sedang menanti dengan golok, rantai, dan api yang tak pernah padam. Kau mungkin bisa lolos dari KPK, tapi takkan bisa lolos dari penghakiman abadi ini.

Bangsat!

Share This Article