Indonesia adalah negara yang memiliki populasi terbesar keempat di dunia, dengan sekitar 270 juta jiwa. Namun, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia masih jauh dari ideal. Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2020, rasio dokter per 100.000 penduduk di Indonesia hanya 4,04, sementara rasio perawat dan bidan masing-masing 17,37 dan 24,32. Padahal, standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan rasio dokter minimal 10, perawat 30, dan bidan 23 per 100.000 penduduk.
Kesenjangan layanan kesehatan ini tidak hanya terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan, tetapi juga antara pulau-pulau di Indonesia. Misalnya, di Pulau Jawa, rasio dokter per 100.000 penduduk mencapai 6,62, sementara di Papua hanya 1,28. Hal ini berdampak pada kualitas dan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terutama yang berada di daerah terpencil dan tertinggal.
Salah satu solusi yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan ini adalah pemanfaatan teknologi informasi, khususnya artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. AI adalah cabang ilmu komputer yang berfokus pada penciptaan mesin atau sistem yang mampu melakukan tugas-tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia, seperti pengenalan suara, penglihatan komputer, pembelajaran mesin, dan pengambilan keputusan.
AI memiliki potensi untuk membantu meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, dengan cara:
- Meningkatkan pencegahan dan deteksi dini penyakit. AI bisa digunakan untuk menganalisis data kesehatan masyarakat, seperti riwayat penyakit, faktor risiko, gejala, dan hasil tes laboratorium, untuk mengidentifikasi pola dan tren penyakit, serta memberikan rekomendasi tindakan preventif atau intervensi. Contohnya, aplikasi Halodoc yang menggunakan AI untuk memberikan konsultasi online dengan dokter, mendiagnosis penyakit, dan memberikan resep obat.
- Meningkatkan diagnosis dan pengobatan penyakit. AI bisa digunakan untuk membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit dengan lebih akurat dan cepat, dengan menggunakan teknik pencitraan medis, pengenalan pola, dan pembelajaran mesin. Contohnya, teknologi IDx-DR yang menggunakan AI untuk melakukan skrining gangguan mata pada penderita diabetes melitus, dengan tingkat akurasi mencapai 87%.
- Meningkatkan akses dan ketersediaan layanan kesehatan. AI bisa digunakan untuk menghubungkan pasien dengan tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, tanpa terbatas oleh jarak dan waktu. Contohnya, aplikasi Sehati yang menggunakan AI untuk menyediakan layanan kesehatan primer bagi ibu hamil dan menyusui, dengan fitur edukasi kesehatan, monitoring kesehatan, dan konseling dengan bidan.
- Meningkatkan pengambilan keputusan berbasis bukti. AI bisa digunakan untuk membantu penyedia layanan kesehatan dalam mengambil keputusan yang lebih efektif, efisien, dan adil, dengan menggunakan teknik analitik prediktif, optimisasi, dan simulasi. Contohnya, sistem Sistem Informasi Rujukan Terintegrasi (SISRUTE) yang menggunakan AI untuk mengelola proses rujukan pasien antar fasilitas kesehatan, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kondisi pasien, ketersediaan tempat tidur, dan jarak.
Meskipun AI memiliki banyak manfaat potensial bagi layanan kesehatan di Indonesia, ada juga beberapa tantangan dan hambatan yang perlu diatasi, seperti:
- Kesenjangan infrastruktur telekomunikasi. Untuk mendukung transformasi kesehatan digital berbasis AI, diperlukan infrastruktur telekomunikasi yang memadai, seperti jaringan internet, komputer, dan perangkat seluler. Namun, di Indonesia, masih banyak daerah yang belum memiliki akses internet yang cepat dan stabil, terutama di luar Pulau Jawa dan Bali. Hal ini menghambat penggunaan aplikasi kesehatan digital yang membutuhkan konektivitas yang baik.
- Keterbatasan sumber daya manusia. Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan AI di bidang kesehatan, diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan di bidang teknologi informasi, khususnya AI. Namun, di Indonesia, jumlah tenaga IT yang berkualitas masih terbatas, terutama yang memiliki spesialisasi di bidang kesehatan. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam merekrut, melatih, dan mempertahankan tenaga IT yang mampu mengelola dan mengoperasikan sistem AI.
- Kurangnya regulasi dan standar. Untuk menjamin keamanan, kualitas, dan akuntabilitas AI di bidang kesehatan, diperlukan regulasi dan standar yang jelas dan komprehensif, yang mengatur aspek-aspek seperti hak cipta, privasi, etika, dan tanggung jawab. Namun, di Indonesia, regulasi dan standar yang berkaitan dengan AI di bidang kesehatan masih belum ada atau belum lengkap, sehingga menimbulkan potensi risiko hukum, etis, dan sosial.
- Kurangnya kesadaran dan kepercayaan masyarakat. Untuk mendorong penerimaan dan penggunaan AI di bidang kesehatan, diperlukan kesadaran dan kepercayaan masyarakat terhadap manfaat dan keamanan AI. Namun, di Indonesia, masih banyak masyarakat yang belum mengenal atau memahami AI, atau bahkan meragukan atau menolak AI, karena alasan-alasan seperti ketakutan, kekhawatiran, atau kebiasaan. Hal ini menghambat penyebaran dan adopsi AI di bidang kesehatan.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan potensi AI dalam mengurangi kesenjangan layanan kesehatan di Indonesia, diperlukan kerjasama dan koordinasi antara berbagai pihak, seperti pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat. Selain itu, diperlukan juga peningkatan kapasitas dan kesiapan di berbagai aspek, seperti infrastruktur, sumber daya manusia, regulasi, dan edukasi. Dengan demikian, AI bisa menjadi solusi yang inovatif dan inklusif bagi layanan kesehatan di Indonesia.