Adab Kritik dan Kritik Adab

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 4 Mnt
Adab Kritik dan Kritik Adab (Ilustrasi)
Adab Kritik dan Kritik Adab (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Di ruang publik Indonesia yang sesak oleh gemerisik wacana dan desir jubah kesakralan, suara kritik kerap disambut dengan tuduh dan tuding.

Ketika kau mengiris kebijakan seorang otoritas dan lembaganya—sebuah institusi yang mengatur hajat hidup orang banyak, yang menggenggam kuasa atas pendidikan, fatwa, bahkan arah politik umat—kau bukan sedang menyerang pribadi yang tersembunyi di balik tembok rumahnya.

Kau menyorot kinerja publik. Menelanjangi kontradiksi antara khotbah dan praktik. Mengukur jarak antara janji dan realitas. Di sini, kritik adalah purnama yang menerangi gelapnya akuntabilitas.

Menyebutnya ad hominem adalah kekeliruan fatal—seperti menyamakan petir yang menyambar menara dengan lilin yang membakar kelambu. Kritik yang menyoal lembaga, transparansi yang berkabut, atau dampak sosial kuasa keagamaan yang merambat, adalah kritik ad rem. Itu juga harapan.

Ia menyasar urat nadi peran sosial, bukan darah dan daging personal. Ia membedah bayang-bayang kekuasaan, bukan menusuk tubuh manusia.

Adab. Kata itu bergetar bagai mantra sakral di negeri ini. Diangkat sebagai tameng untuk membungkam suara yang tak sepaket dengan nada istana. Ketika kritik tak datang dengan bahasa kromo inggil, tak berbisik lirih di balik tirai, tak membungkuk serendah-rendahnya—ia dicap “biadab”.

Tapi di manakah letak adab sesungguhnya? Apakah dalam kepatuhan buta pada figur yang mengklaim diri wakil langit? Atau justru dalam keberanian menyatakan ketimpangan meski dengan suara serak dan diksi yang menggeledah.

Tuntutan “tatakrama” sering kali adalah senjata pamungkas otoritas untuk melindungi zona nyaman mereka dari interogasi publik. Ini ketidakadilan kesaksian—ketika substansi kritik dikubur hanya karena gaya penyampaian dianggap “kurang ajar” oleh tribunal norma buatan.

Adab versi penguasa adalah ritual kepatuhan yang mengawetkan hierarki. Sementara kritik yang lahir dari kegelisahan rakyat—meski pedas, meski sarkastik—adalah kesalehan sosial tertinggi. Di negeri di mana otoritas keagamaan bisa menjelma hyper-public figure, melampaui mimbar merambah parlemen dan pasar, menuntut kritik selalu berbalut bahasa istana adalah kemunafikan yang berselimut kesucian.

- Advertisement -

Lihatlah baik-baik yang kau kritik bukan keluarga sang otoritas itu. Bukan kehidupan privat anak-istrinya. Bukan pula pilihan warna jubahnya. Yang kau sorot adalah kuasa institusionalnya. Kebijakan lembaganya yang mengatur hidup mati banyak orang. Kuasa simbolik yang ia genggam untuk membentuk opini publik.

Ketika lembaga itu menerima dana umat, mengelola sekolah, mengeluarkan fatwa yang meminggirkan—ia telah masuk ruang publik. Dan ruang publik adalah medan verifikasi. Di sini, segala klaim kebenaran harus siap diuji.

Segala otoritas harus berani dipertanggungjawabkan. Menyembunyikan diri di balik jubah “kesakralan” sambil menuding pengkritik “tidak beradab” adalah pengalihan isu—strategi untuk mengubur substansi di bawah ritual penghormatan semu.

- Advertisement -

Maka pertanyaan hakikinya bukan tentang gaya kritikmu, melainkan validitas isinya. Jika tuduhanmu berdasar—data akurat, analisis tajam, relevan dengan kepentingan publik—maka sarkasme sekalipun tak mengurangi kebenarannya. Sejarah membuktikan, kritik paling transformatif sering lahir dari bahasa yang membakar.

Dari Ronggowarsito hingga Tan Malaka, dari Kartini hingga Wiji Thukul—kata-kata yang mengubah negeri ini kerap bergetar dalam nada keras, bukan bisikan halaman istana. Tuduhan “tidak beradab” justru mengungkap ketakutan tersembunyi, takut pada transparansi, gentar pada akuntabilitas, alergi pada kesetaraan wacana.

Di ujung semua debat, ingatlah ini! Demokrasi bukan panggung pemujaan otoritas. Ia adalah gelanggang pergulatan gagasan—tempat kritik, meski disampaikan dengan pisau kata-kata, adalah bentuk kesalehan baru.

Kesalehan untuk menyelamatkan agama dari jadi komoditas. Kesalehan untuk mengingatkan; di hadapan hak publik, kesakralan pun harus siap diinterogasi.

Share This Article