Jangan datang ke Mekkah, karena di sana tempatnya orang-orang beribadah. Datanglah ke Indonesia, karena di sini kemiskinan merajalela, korupsi tak ada habisnya, sehingga agamawan pun terkena imbasnya, akhirnya agamalah yang dijual mereka demi mengisi perutnya yang makin hari makin buncit saja. Ini bukan sekadar kenyataan sosial yang bisa kita buang begitu saja.
Tidak, ini adalah fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari cara hidup kita yang terus berputar di sekitar materialisme, di mana simbol-simbol kesucian diperdagangkan layaknya barang dagangan di pasar, dan agama menjadi komoditas yang menguntungkan. Bagaimana bisa kita berpura-pura tidak melihat bahwa para penjaja surga itu sebenarnya sedang menghitung untung rugi dengan hitungan yang sangat manusiawi?
Bacotan Fata, teman saya, di samping tempat saya duduk menulis mengatakan kekesalannya pada tokoh agama. Dia beragama Islam, tentu saja. Atas bacotan inilah saya terinspirasi untuk menulis tulisan ini.
Seperti petuah yang diberikan oleh Fata, kita mulai melihat bahwa agama kini sudah bergeser dari sesuatu yang sakral menjadi sebuah profesi yang terikat pada kontrak sosial: pekerjaan yang menjanjikan status, kekuasaan, dan tentu saja uang.
“Keberkahan” yang diklaim oleh para agamawan kini tidak lebih dari transaksi yang membutuhkan sedikit keahlian retorika dan pelatihan mengelola massa. Dan mereka tahu persis bagaimana cara memainkan narasi ini.
Mengapa di YouTube ada banyak narasi bahwa agama makin tidak relevan di abad 21? Pertanyaan itu melayang, dan jawabannya tak pernah sesederhana yang dibayangkan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset, pemahaman masyarakat terhadap agama kini tak lagi bersifat mutlak, tapi menjadi sebuah pilihan rasional yang didasarkan pada kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Religiusitas, yang dulu mungkin dianggap sebagai jalan hidup yang luhur, kini terbentur dengan realitas sosial yang jauh lebih kompleks. Bahkan di Indonesia, sebut saja namanya Fuad Abdullah Harahap dan mungkin juga ribuan lainnya, menjadi atheis dari berbagai latar belakang agama.
Anehnya, Atheisme dan Agnostisme malah menjadi antitesis theisme, bukannya lahir dari naturalisme-empirisme itu sendiri sebagai epistemologi dalam proses pencarian kebenaran. Ironisnya, mereka yang mencari kebenaran melalui lensa sains, yang seharusnya lebih berbasis pada bukti dan observasi, justru terjebak dalam nihilisme, sementara para agamawan yang seharusnya mencari kebenaran spiritual malah terjebak dalam kebohongan dan manipulasi.
Yah, tentu Anda juga kesal ketika membayangkan tokoh agama yang kesana-kemari dengan jubah Arabnya berjualan surga dan mengancam neraka kepada sesama muslimnya.
Tak peduli pengikutnya itu sedang terbelit masalah ekonomi dan kemiskinan, mereka menjual surga untuk menopang materi; membeli gamis warna putih, sorban dan peci haji, dan penopang kehidupan materialismenya yang dikatakannya sebagai buah dari keshalihannya.
Surga bukan lagi janji yang harus ditebus dengan amal saleh, melainkan sebuah voucher diskon yang dijual untuk menarik calon pelanggan baru. Dengan tubuh buncit yang semakin sulit disembunyikan di balik pakaian haji yang mahal, para agamawan ini semakin dekat dengan kenyataan bahwa iman mereka mungkin sudah lama digantikan oleh kesejahteraan duniawi.
Semua ini adalah simbolisme murahan yang tak dapat lagi disembunyikan di balik dalil-dalil agama yang mereka kirimkan lewat khutbah-khutbah atau ceramah yang lebih mengutamakan branding daripada kedalaman pemahaman.
Saat Islam sudah hidup di jantung hati masyarakat, dijaga dan dipupuk dengan mistisisme, hidup dengan keterbelakangan dan dipertahankan dengan janji surga, malah datanglah habib-habib ba’alawi yang lebih elit daripada elit kyai.
Mereka ini tidak hanya memainkan peran sebagai pemimpin spiritual, tetapi lebih sebagai entrepreneur agama, yang tahu betul bagaimana memanfaatkan ketakutan dan harapan masyarakat untuk keuntungan pribadi.
Jika Anda pernah membaca buku Sangkar Besi Agama, Anda akan terbuka dengan fakta bahwa agamawan yang bernama kyai itu sudah jauh berbeda dengan kyai tempo dulu yang benar-benar merasakan denyut nadi masyarakat.
Kyai sekarang lebih banyak berurusan dengan uang dan simbol-simbol kemewahan daripada dengan keadilan sosial yang mereka klaim sebagai bagian dari ajaran agama.
Kiai tempo dulu, memang wajar saat masyarakat masih belum meningkat literasinya. Mereka tidak punya sumber referensi lain dalam ilmu agama kecuali dari petuah kiai.
Namun tidak terjebak dalam iming-iming duniawi, bahkan kiai adalah pelayan umat yang datang sebagai penerus para nabi dan memahami jeritan rakyat, sehingga kyai lebih sering berada di tengah setiap keluh kesah masyarakat daripada duduk di kediamannya. Namun, itu semua kini telah usai.
Kiai-kiai sekarang, dengan segala gelarnya, mulai merasa terancam oleh kemajuan zaman dan terus berusaha mempertahankan struktur yang usang. Mereka mengandalkan dogma dan simbol-simbol tak lagi relevan untuk menutup mata dari kenyataan bahwa masyarakat sudah jauh lebih cerdas, lebih kritis, dan lebih terbuka pada sains.
Tapi sekarang? Pengetahuan sudah maju, dan masyarakat semakin tahu bahwa ilmu agama seharusnya tak hanya berpatok pada teks-teks kuno, tetapi juga pada perkembangan tafsir yang menggunakan pendekatan sains.
Sudahkah para kyai mempelajari tafsir yang mengintegrasikan temuan-temuan ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran? Pertanyaan ini penting, karena tafsir agama seharusnya tidak hanya mengajak umat untuk memahami moralitas dalam kerangka fiqh, tetapi juga untuk memahami alam semesta secara lebih dalam—dan itu memerlukan wawasan yang lebih luas daripada sekadar dogma yang telah usang.
Tak heran jika dinding agama kini semakin terpecah oleh tindakan amoral para agamawan dan pemikiran-pemikiran kontra yang berkembang pesat di luar sana.
Baca saja berita pengasuh pesantren, ustadz, guru ngaji terjebak dalam kasus pelecehan seksual—tak terkecuali habib yang baru-baru ini viral. Benar atau tidak, fitnah atau tidak, isu ini sudah menunjukkan tanda-tanda kerapuhannya.
Bukankah ini ironis? Tokoh agama yang seharusnya menjadi teladan dalam moralitas malah terjerat dalam skandal yang tidak hanya merusak reputasi pribadi mereka, tetapi juga memperburuk citra agama itu sendiri. Ini adalah fenomena sosial yang tak bisa dibiarkan begitu saja, karena sudah terlalu banyak pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan oleh sang kyai.
Tak bisa lagi sekadar mengandalkan kepatuhan ala feodalisme, karena masyarakat berubah. Barokah bukan lagi klaim yang menarik dan menakutkan. Narasi mistis dan kewalian tak lagi relevan di zaman ini.
Di era digital, di mana informasi dapat diakses hanya dengan sentuhan jari, tokoh agama yang hanya bisa berbicara tentang tahlilan dan rokatan tidak akan mampu mempertahankan relevansinya. Keahlian spiritual tak lagi cukup untuk memikat generasi muda yang lebih mendambakan ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Jadi, kyai masih mempertahankan kerangka seperti ini, generasi akan menjauh. Kyai hanya dianggap sebagai kelompok tua yang akan dijauhi oleh kelompok muda. Namun, jangan salah, ini bukanlah proses alami yang bisa dianggap begitu saja.
Ini adalah kesalahan yang lebih besar dari sekadar pergeseran zaman—ini adalah kegagalan untuk memahami esensi zaman itu sendiri. Lalu saya menyahut pada teman saya itu, “Bagaimana jika kelompok muda itu dipondokkan?”
Setelah sekian banyak kasus, misalnya perundungan di pondok, apakah orang tua tidak merasa khawatir pada anaknya? Jika pondok masih berjibaku pada kerangka lama, maka memondokkan anak sama saja seperti menghambat perkembangan mereka. Tidak hanya terjebak dalam rutinitas agama, mereka akan kaget saat berhadapan dengan kemajuan dunia yang terus berkembang.
Tidak perlu data, saya punya sampel sendiri bagaimana santri yang pada awalnya sangat ‘alim’ tapi masih ngentot ketika lulus, bahkan meski saat sedang berstatus santri, itu sering terjadi. Ini adalah bukti bahwa pengetahuan spiritual yang didasarkan pada dogma yang tertinggal tidak cukup untuk menanggapi tantangan zaman.
Ketika kultus masyarakat berubah, ketika anak-anak mereka diasuh oleh media sosial, ketika arus kemajuan tak bisa disingkirkan, kyai hanya sibuk mempertahankan tahlilan? Rokatan? Atau kompolan? Apa tidak sebaiknya ikut ngopi di warkop sekitar? Kenapa tidak berfokus pada pemahaman dan penerimaan bahwa akhlak dan kesopanan pun berubah? Kelompok muda jangan dipaksa untuk sungkem layaknya generasi feodal, karena mereka tidak akan sungkem kepada status atau gelar, tetapi pada keilmuan dan wawasan.
Karena banyaknya pekerjaan rumah sang kyai, akhirnya dia berpikir politiklah salah satu jalan perjuangannya, yang justru akan menambah apatisme kelompok muda. Sebab masuk
ke politik itu sama seperti menajisi tangannya sendiri. Apalagi dia tidak tahu apa yang sebenarnya kelompok muda inginkan. Mengapa? Karena dia masih terperangkap dalam simbolisme usang yang tidak lagi bisa mengikat generasi yang lebih kritis dan lebih terbuka.
Bersambung…