Pagi yang cerah di dunia maya berubah menjadi petang yang kelam dengan viralnya aksi lima remaja putri yang bercanda tentang makan tulang dan darah anak-anak Palestina. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, tingkah mereka bikin geger warganet yang segera bertindak layaknya detektif dadakan. Sungguh, zaman sekarang, anak-anak bukan lagi dibesarkan oleh orang tua saja, tapi juga diasuh oleh TikTok, Instagram, dan kawan-kawannya.
Dalam video yang bikin netizen gatal jari, kelima remaja ini melontarkan lelucon yang tidak hanya tidak lucu, tapi juga menyakitkan hati banyak orang. Tentu saja, ini membuat kita bertanya-tanya, “Di mana peran pendidikan dan pengasuhan orang tua?” Ternyata, bukan hanya sekolah dan orang tua yang gagal menanamkan nilai-nilai moral, tapi pikiran mereka sudah diimpor langsung dari media sosial. Kalau zaman dulu, anak-anak masih bisa dimarahi karena malas mengerjakan PR, sekarang yang harus dimarahi adalah algoritma TikTok yang lebih paham selera humor anak-anak daripada guru mereka sendiri.
Bayangkan, saya ingat dulu waktu kecil, orang tua selalu bilang, “Jangan main-main, belajar yang rajin, biar jadi orang.” Eh, sekarang malah anak-anak lebih sering dinasehati oleh tren TikTok. Pernah lihat kan tren “Jago Nyengir” di TikTok? Itu buktinya, anak-anak lebih jago mengikuti tren nyengir daripada belajar matematika. Kalau terus begini, bisa-bisa generasi kita berikutnya lebih pintar joget daripada berhitung.
Lucunya, dalam video itu, remaja-remaja ini tampak begitu polos, mungkin mereka pikir mereka hanya mengikuti tren, tapi dampaknya luar biasa besar. Seperti peribahasa, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” ulah mereka yang sepele berdampak besar. Padahal, di zaman sekarang, peribahasa yang lebih relevan mungkin adalah, “Karena video satu menit, rusak reputasi seumur hidup.”
Tak bisa dipungkiri, teknologi memang sudah menjadi bagian integral dari kehidupan anak-anak kita. Namun, tanpa pengawasan yang tepat, teknologi bisa jadi bumerang. Kita perlu kembali mengingatkan bahwa mendidik anak bukan hanya soal memberi mereka akses ke informasi, tapi juga membimbing mereka untuk bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau tidak, jangan heran jika pikiran mereka lebih banyak diisi oleh konten viral daripada nilai-nilai etika.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu netizen, “Ini bukan salah TikTok, tapi salah kita yang membiarkan TikTok jadi orang tua kedua anak-anak kita.” Jadi, mari kita introspeksi, apakah kita sudah cukup hadir dalam kehidupan anak-anak kita, ataukah kita sudah menyerahkan tugas mendidik ini sepenuhnya kepada media sosial?
Ingat, TikTok memang bisa mengajarkan cara berdansa, tapi tidak bisa mengajarkan cara menjadi manusia yang baik.