Seandainya saja Hadratussyekh Kyai Haji Hasyim Asy’ari masih hidup hari ini, di tengah riuhnya kabar tentang “jatah tambang” untuk Nahdlatul Ulama, entah ekspresi apa yang akan terukir di wajah beliau.
Mungkin senyum tipis, penuh kearifan yang sulit diartikan, atau mungkin justru kerutan dalam di dahi, menyiratkan gundah yang tak terucap. Sebuah hipotesis yang menggelitik, sekaligus sebuah cermin bagi kita yang mengaku melanjutkan estafet perjuangan beliau.
Coba bayangkan. Kyai Hasyim, sang pendiri NU, ulama pejuang kemerdekaan yang hidupnya diabdikan untuk pendidikan, dakwah, dan kemaslahatan umat, kini harus berhadapan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024. Sebuah regulasi mutakhir yang, dengan segala kebaikannya, membuka pintu bagi organisasi keagamaan untuk mengelola konsesi tambang.
Katanya, ini demi kemaslahatan umat. Ya, umat yang mana? Umat yang selama ini hidup di desa-desa sekitar tambang, atau umat yang tiba-tiba mendapat berkah dari konsesi ini?
Pastinya, beliau tidak asing dengan urusan ekonomi. Bukankah beliau penggagas Nahdlatut Tujjar, wadah bagi para pedagang untuk berdaya secara ekonomi? Visi beliau jelas: kemandirian umat tak bisa lepas dari kemandirian finansial. Beliau ingin santri dan pedagang kecil punya modal, punya jaringan.
Tapi, Nahdlatut Tujjar itu bicara tentang koperasi, tentang usaha kecil menengah, tentang pemberdayaan akar rumput. Bukan tentang mengelola ladang batubara jutaan ton atau tambang nikel yang berpotensi merusak lingkungan. Ini ibaratnya dari mengajar santri menanam padi, lalu tiba-tiba diberi amanah mengelola perkebunan sawit seluas kabupaten. Lompatan yang terlalu jauh, barangkali.
Kyai Hasyim juga dikenal sebagai ulama yang sangat menjunjung tinggi integritas. Beliau mengajarkan zuhud, menjauhi gemerlap dunia, dan wara’, sangat berhati-hati dalam setiap langkah. Kata beliau, ilmu jangan dipakai “hanya untuk tujuan duniawi semata.”
Dan yang paling menusuk, beliau tak segan mengkritik ulama yang “tunduk terhadap penguasa kolonial dan keinginan untuk mengumpulkan kekayaan daripada menjunjung tinggi nilai-nilai agama.” Ironi terbesar abad ini adalah, kita tak lagi berhadapan dengan kolonialisme fisik, melainkan mungkin kolonialisme ekonomi yang datang dari “dalam” dengan bungkus “kemaslahatan.”
Ingatkah bagaimana Kyai Hasyim menolak segala bentuk pemberian atau penghargaan dari penjajah? Beliau tak mau integritasnya tercoreng, tak mau posisinya sebagai pembela umat ternoda oleh “hadiah” yang sesungguhnya adalah jebakan.
Kini, tawaran konsesi tambang ini, yang disebut-sebut sebagai “prioritas” bagi ormas keagamaan, apakah akan dipandang sebagai “hadiah” yang tulus atau justru ujian yang lebih berat dari gempuran peluru penjajah? Dulu, musuhnya jelas: Belanda, Jepang. Sekarang, musuhnya kabur, bersembunyi di balik janji-janji manis dan angka-angka rupiah yang menggiurkan.
“Virus kekuasaan politik” adalah salah satu kekhawatiran terbesar Kyai Hasyim, karena bisa memecah belah umat. Kira-kira, bagaimana dengan “virus kekuasaan ekonomi” dari konsesi tambang yang luar biasa besar ini? Industri tambang, kita tahu, adalah sarang laba-laba kepentingan; modal besar, lobi politik, intrik bisnis, dan tentu saja, dampak lingkungan yang seringkali tak terpulihkan.
Apakah sebuah organisasi keagamaan, dengan misi suci menjaga persatuan dan akhlak, siap terjun ke arena pertarungan “kotor” semacam ini? Ataukah, jangan-jangan, mereka akan terseret arus dan kehilangan sentuhan spiritualnya, berubah dari penyokong moral menjadi konglomerat dadakan?
Petinggi PBNU saat ini memang menyambut baik tawaran ini, menyebutnya sebagai “ibadah sosial” dan “hikmah ekonomi.” Sebuah narasi yang indah, tak terbantahkan. Namun, Kyai Hasyim mungkin akan melihat lebih dari sekadar narasi. Beliau akan melihat jejak tapak buldoser, debu batubara, aliran sungai yang keruh, atau bahkan gesekan sosial antara perusahaan dan masyarakat adat.
Apakah itu semua masih bisa disebut “ibadah sosial” jika ada air mata di baliknya? Beliau akan menimbang, apakah janji profesionalisme dan transparansi itu benar-benar akan terealisasi, atau hanya retorika di atas kertas.
Beberapa ormas lain, seperti KWI, dengan bijak menolak tawaran ini. Mereka mengakui keterbatasan, memilih fokus pada pelayanan umat dan kemanusiaan. Sikap ini, dalam konteks ajaran Kyai Hasyim tentang wara’ dan menjaga kemurnian misi, mungkin akan lebih mendapatkan apresiasi dari beliau.
Sebab, terkadang, kekuatan terbesar itu bukan pada berapa banyak kekayaan yang kita miliki, melainkan seberapa besar integritas dan kepercayaan umat yang kita jaga.
Jika Kyai Hasyim masih hidup, beliau mungkin akan memanggil para petinggi PBNU. Dengan nada yang teduh namun tegas, beliau akan bertanya, “Anak-anakku, apakah ini benar-benar jalan kita? Jalan yang saya rintis, jalan yang menuntun umat pada kemandirian sejati, bukan kemandirian yang bersandar pada lubang di perut bumi yang bisa habis sewaktu-waktu.
Apakah ini akan memperkuat ukhuwah, atau justru memicu fitnah dan kesenjangan baru?”
Beliau mungkin akan mengingatkan bahwa kekuatan NU bukan pada berapa banyak hektar tambang yang dimiliki, melainkan pada ketulusan kiai di pesantren-pesantren pelosok, pada semangat gotong royong warga Nahdliyin, dan pada konsistensi dalam menjaga akidah dan akhlak.
Jatah tambang mungkin akan membawa pundi-pundi rupiah, tapi juga bisa membawa beban moral yang tak terhingga. Dan di sinilah ujian sebenarnya bagi para pewaris Hadratussyekh.
Apakah mereka akan menjadi ulama pejuang, atau ulama penambang? Pilihan ada di tangan mereka, dan sejarah akan mencatatnya. Kyai Hasyim Asy’ari, entah dengan senyum atau dahi berkerut, pasti akan terus mengamati.