jlk – Sudah saatnya kita membahas arak-arakan dan pawai menyambut haji baru di Madura.
Tradisi ini seolah tak pernah mati, malah semakin menggila dengan motor-motor berkenalpot brong yang bikin sakit telinga.
Benar-benar mengganggu ketenangan warga, seakan-akan kepulangan dari Tanah Suci harus selalu dirayakan dengan kebisingan maksimal. Serius, apa gak ada cara lain yang lebih elegan?
Kita semua tahu bahwa haji adalah ibadah penting yang diakui dalam Islam. Tapi, tidak semua hal harus dirayakan dengan kegaduhan.
Orang yang benar-benar paham makna haji mestinya lebih fokus pada introspeksi diri setelah menunaikan rukun Islam kelima ini, bukan malah jadi ajang pamer yang mengganggu ketentraman. Tahun sudah 2024, cara pikir masih cetek.
Ini bukan hanya masalah tradisi, tapi masalah evolusi budaya yang harus lebih dewasa dan menghargai ketenangan publik.
Arak-Arakan dan Status Sosial
Oke, kita semua paham bahwa menunaikan ibadah haji adalah pencapaian besar dan simbol status sosial di masyarakat Madura.
Mereka yang baru pulang haji disambut dengan meriah, diarak sepanjang jalan, dan diperlakukan seperti selebriti lokal.
Tapi, apakah harus selalu dengan konvoi motor dan mobil yang berisik? Apa ini cara paling bijak untuk menunjukkan rasa syukur dan penghormatan?
Kita juga perlu mempertanyakan apa yang sebenarnya dirayakan di sini. Apakah status sosial baru yang diperoleh setelah menunaikan haji?
Jika demikian, ini adalah bentuk pamer yang dangkal. Status sosial seharusnya tidak diukur dari seberapa keras suara motor atau mobil yang digunakan dalam arak-arakan, tetapi dari kontribusi positif yang diberikan kepada masyarakat.
Konformitas sosial dan tekanan untuk menunjukkan status sosial ini hanya memperlihatkan betapa rapuhnya kepercayaan diri individu di masyarakat kita.
Syukuran Panjang yang Menjenuhkan
Syukuran yang berlangsung selama 40 hari? Siapa sih yang punya waktu sebanyak itu di tahun 2024 ini? Semua orang sibuk, punya urusan masing-masing.
Syukuran yang terlalu panjang hanya akan menambah beban bagi yang diundang, belum lagi yang harus mempersiapkan segala macam hidangan. Ingat, kebersamaan tidak diukur dari panjangnya waktu, tetapi dari kualitas pertemuan.
Banyak orang yang mungkin merasa tertekan dengan harus mengikuti rangkaian acara yang panjang ini. Mereka datang bukan karena ingin, tetapi karena takut dianggap tidak menghormati.
Ini adalah contoh nyata dari tekanan sosial yang tidak sehat. Teori konformitas oleh Solomon Asch menjelaskan bahwa banyak orang cenderung mengikuti norma kelompok meskipun mereka tidak setuju secara pribadi.
Dalam konteks ini, orang-orang datang ke syukuran karena tidak ingin dianggap aneh atau tidak sopan, bukan karena mereka benar-benar ingin merayakan.
Kenalpot Brong, Simbol Ketidakpedulian
Kenalpot brong itu memang menyebalkan. Suara yang dihasilkan bukan hanya mengganggu, tetapi juga menunjukkan rendahnya kesadaran sosial.
Bayangkan, jika dalam satu arak-arakan ada 100 motor berkenalpot brong, berapa banyak gas beracun yang dilepaskan ke udara? Menurut data, sepeda motor bisa mengeluarkan 0.75 gram karbon monoksida per kilometer.
Jika setiap motor dalam arak-arakan menempuh 5 kilometer, berarti 100 motor tersebut melepaskan 375 gram karbon monoksida ke udara.
Gas ini sangat berbahaya, dapat menyebabkan sakit kepala, mual, bahkan kematian jika terpapar dalam jumlah besar.
Kita belum bicara soal partikulat dan hidrokarbon yang juga dikeluarkan oleh motor-motor tersebut.
Partikulat ini bisa menyebabkan asma, bronkitis, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Hidrokarbon, di sisi lain, dapat memicu kanker jika terpapar dalam jangka waktu lama.
Meski saya juga pengguna kendaraan bermotor, madharatnya masih bisa dianulir dengan fungsi dan tujuannya, seharusnya saya pakai motor listrik, tapi jalan di desa hanya cocok untuk bersepeda bahkan berkuda.
Ini bukan hanya soal suara berisik, tetapi juga tentang polusi udara yang memperburuk kualitas hidup masyarakat.
Selain polusi udara, mari kita lihat dari sisi ekonomi. Menghabiskan bahan bakar untuk pawai yang tidak penting jelas merupakan pemborosan. Setiap liter bensin yang dihabiskan hanya menambah beban ekonomi keluarga, belum lagi emisi gas rumah kaca yang memperparah pemanasan global.
Opportunity cost dari penggunaan bahan bakar ini bisa sangat besar. Daripada dihabiskan untuk arak-arakan, bahan bakar tersebut bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif. Membajak sawah misalnya.
Mentalitas Pamer yang Asudahlah
Mari kita jujur, arak-arakan dengan segala kegaduhannya itu lebih banyak soal pamer daripada rasa syukur. Kembali dari ibadah haji seharusnya membawa dampak positif, tidak malah menambah keributan di kampung halaman.
Sikap sok suci dan merasa paling beriman karena sudah haji itu justru menurunkan derajat orang itu sendiri. Ketulusan dan kerendahan hati seharusnya menjadi ciri utama mereka yang baru kembali dari perjalanan spiritual.
Teori Pierre Bourdieu tentang “distinction” menyebutkan bahwa praktik budaya dan konsumsi dapat menjadi alat untuk menunjukkan status sosial.
Arak-arakan dengan kendaraan mewah dan kebisingan dapat dilihat sebagai upaya untuk menunjukkan status sosial yang tinggi dan prestise, meskipun sering kali tidak efektif dan malah mengganggu orang lain. Ini adalah bentuk kapital simbolik yang disalahgunakan.
Sumpah, kalau saya naik haji nanti (aminkan dong), saya pulang naik becak yang ramah lingkungan, gak percaya? lihat saja nanti.
Pesan untuk Pak Haji Baru, Haji Lama dan Pak Kyai
Untuk Pak Haji yang baru pulang, janganlah merasa paling hebat. Perjalanan ke Tanah Suci bukan tiket langsung ke surga. Jangan sok suci dan sok pamer. Untuk Pak Kyai yang mendukung tradisi ini, pikirkanlah ulang.
Apa benar ini cara terbaik untuk menyambut kepulangan haji? Arak-arakan yang berisik hanya menurunkan wibawa tradisi itu sendiri.
Sebagai seorang pemimpin agama, Kyai seharusnya menjadi teladan dalam mengarahkan masyarakat untuk lebih bijak dan dewasa dalam bertradisi.
Mendorong kegiatan yang lebih bermanfaat dan tidak mengganggu orang lain akan jauh lebih dihargai.
Jika ingin mempertahankan tradisi, buatlah dalam bentuk yang lebih santun dan tidak merusak.
Pasukan Arak-Arakan, Ente Biar Apa?!
Dan untuk pasukan yang merasa keren karena ikut arak-arakan, cobalah berpikir ulang. Menghabiskan waktu untuk arak-arakan yang tak berfaedah itu lebih baik digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Belajarlah, kembangkan diri, dan berhenti menjadi bagian dari kegaduhan yang tidak perlu. Era sekarang butuh orang-orang yang berpikiran maju, bukan yang masih terjebak dalam euforia sesaat.
Banyak dari pasukan ini mungkin masih terjebak dalam budaya pamer yang tidak produktif. Mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan arak-arakan daripada mengejar pendidikan atau pekerjaan yang lebih bermakna.
Ini adalah contoh dari rendahnya kesadaran intelektual di kalangan generasi muda kita. Kebisingan dan keramaian sesaat ini tidak akan membawa mereka ke masa depan yang lebih baik.
Mobil Mewah yang Padahal Isinya Cuma Dua Orang
Jangan lupa, orang kaya lokal yang ikut pawai dengan mobil mewah mereka juga tidak kalah mengganggu. Meski hanya berisi dua orang, keberadaan mereka hanya membuat jalan semakin sesak dan macet.
Apakah ini benar-benar perlu? Tidak. Semua ini hanya menunjukkan betapa noraknya budaya pamer yang tak kunjung hilang.
Mobil-mobil mewah ini hanya menambah polusi udara dan kemacetan. Mereka yang menggunakan mobil mewah untuk pawai sebenarnya hanya menunjukkan betapa tidak peka mereka terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Jadi, selain tidak berguna, mereka menambah sesak jalan, mempersulit orang-orang yang harus beraktivitas harian, seperti pedagang yang harus mengantar barang atau orang tua yang harus menjemput anak dari sekolah, kurir yang mengantar paket, dan sebagainya yang jelas lebih berguna.
Anda mungkin merasa keren dan kaya, tetapi tindakan Anda menunjukkan kebebalan yang absolut. Carbon footprint yang Anda tinggalkan dari aksi pamer ini tidak main-main, dan dampaknya bisa sangat luas, mulai dari peningkatan emisi CO2 hingga partikel polutan lainnya yang berbahaya bagi kesehatan.
Tradisi yang Perlu Dievaluasi Bahkan Dikuburkan
Tradisi arak-arakan menyambut haji memang bagian dari budaya Madura, tapi sudah saatnya dievaluasi.
Ganti dengan cara yang lebih elegan, lebih bermakna, dan tidak mengganggu orang lain. Hidup ini bukan soal pamer, tapi soal bagaimana kita bisa memberi dampak positif bagi sekitar.
Mari kita semua menjadi bagian dari perubahan yang lebih baik.
Evaluasi ini bukan berarti menghilangkan tradisi sepenuhnya, tetapi merubah bentuknya menjadi lebih santun dan tidak merusak.
Misalnya, bisa diganti dengan syukuran sederhana di masjid atau rumah, dengan doa bersama dan kegiatan sosial yang bermanfaat.
Ini akan lebih mencerminkan esensi dari ibadah haji itu sendiri, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan membawa kebaikan bagi sesama.
Dengan segala hormat dan keprihatinan, semoga kritik ini bisa menjadi bahan renungan dan perubahan positif bagi kita semua. Udah, cukup! gak terima dikritik? tulis kritikmu ke sini.