Pameran artefak Rasulullah SAW sering diiklankan sebagai kesempatan istimewa untuk melihat benda-benda peninggalan Nabi Muhammad dan para sahabat. Mulai dari pedang, jubah, rambut, hingga mangkuk minum, semua dikemas dengan narasi emosional yang menggugah keyakinan umat.
Tapi tunggu dulu—apakah ini benar-benar tentang penghormatan kepada Rasulullah? Atau sekadar eksploitasi agama demi keuntungan? Ketika klaim besar tidak diimbangi dengan bukti yang jelas, pameran ini layak disebut komersialisasi agama yang menjual ilusi.
Saya tahu tempat dimana beli replikanya. Tapi nanti akan saya bahas di artikel selanjutnya. Sekarang silahkan simak beberapa kejanggalan pameran artefak, yang kelihatannya asli padahal membagongkan.
3 Kejanggalan Utama
Panitia penyelenggara menyebutkan bahwa artefak yang dipamerkan telah diasuransikan, memiliki sertifikat keaslian, dan telah melalui uji laboratorium selama 30 tahun, termasuk uji karbon. Bahkan, diklaim bahwa barang-barang ini telah diuji sanad oleh para ahli sejarah, arkeolog, dan pakar ilmu sanad. Sekilas, semua ini terdengar profesional. Tapi di mana buktinya?
Sertifikat Asal-Asalan
Klaim bahwa artefak ini memiliki sertifikat keaslian tidak ada artinya tanpa transparansi. Sertifikat ini diterbitkan oleh siapa? Bagaimana proses autentikasinya? Institusi terpercaya seperti universitas atau museum besar dunia tidak pernah dikaitkan dengan pameran ini. Jadi, sertifikat itu lebih mirip stempel abal-abal yang dirancang untuk meyakinkan orang awam.
Uji Karbon dan Laboratorium
“Uji laboratorium 30 tahun”? Kedengarannya mengesankan, tapi tanpa laporan hasil uji karbon atau penelitian yang dipublikasikan, ini hanya klaim kosong. Penyelenggara tidak pernah memberikan bukti ilmiah apa pun tentang usia atau asal-usul barang-barang ini. Apa yang mereka harapkan? Bahwa umat Islam akan percaya begitu saja tanpa bertanya?
Kejanggalan Uji Sanad
Uji sanad memerlukan dokumentasi historis yang lengkap dan jelas. Misalnya, untuk membuktikan bahwa sebuah pedang pernah digunakan oleh Rasulullah, harus ada catatan kepemilikan dari generasi ke generasi. Tapi di sini? Tidak ada bukti sejarah yang dipaparkan. Sekadar klaim sepihak bahwa “ini milik Rasulullah” tidak cukup untuk membuatnya sah.
Kejanggalan Galeri Warisan MAR dan The Dinar Islamic Museum
Dalam narasi pameran ini, dua institusi sering disebut sebagai pendukung utama: Galeri Warisan MAR dan The Dinar Islamic Museum. Namun, keberadaan dan kredibilitas kedua institusi ini justru menjadi masalah besar.
Galeri Warisan MAR
Galeri Warisan MAR, yang diklaim dimiliki oleh Profesor Dr. Abdul Manan Embong dari Malaysia, disebut-sebut menyimpan ribuan artefak Rasulullah dan para sahabat. Tapi di mana galeri ini? Informasi tentang lokasi fisiknya tidak jelas.
Satu-satunya jejak digital adalah blog amatir yang terakhir diperbarui pada 2009, menampilkan barang-barang dekoratif yang jauh dari kesan artefak bersejarah. Tanpa lokasi fisik yang bisa diverifikasi dan dokumentasi yang mendukung, Galeri Warisan MAR lebih terlihat seperti nama besar kosong yang digunakan untuk mendukung klaim palsu.
Di malaysia sendiri itu gak seramai di Indonesia dan tidak sesering di Indonesia, memang ada tokoh yang bernama Abdul Manan Embong, tapi saya tidak menemukan satupun karya ilmiahnya. Ada beberapa vidionya memang dalam bahasa malaysia, dan ketika kita bandingkan, narasi dalam video Youtube itu dengan narasi dalam pemberitaan di Indonesia, adalah substansinya sama. Sedangkan di pemberitaan di malaysia, jarang pemberitaan tentang artefak tersebut. Indonesia adalah marketnya: tepatnya.
The Dinar Islamic Museum
Museum ini benar-benar ada di Makkah dan berfokus pada koleksi mata uang Islam seperti dinar dan dirham. Tapi, tunggu dulu. Apa hubungannya dengan artefak Rasulullah? Situs resmi museum tidak pernah menyebutkan bahwa mereka memiliki keahlian dalam mengautentikasi artefak sejarah selain mata uang. Jadi, klaim bahwa museum ini memberikan sertifikat keaslian adalah omong kosong.
Ketidakkonsistenan Jumlah Artefak
Yang lebih mencurigakan adalah fakta bahwa jumlah artefak yang dipamerkan berbeda-beda di setiap lokasi. Di Pontianak, ada 35 artefak. Di kota lain, jumlahnya berbeda. Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah mereka “menemukan” artefak baru di tengah jalan? Atau ada barang yang sengaja ditambah atau dihilangkan untuk menciptakan kesan eksklusivitas?
Jika artefak ini benar-benar asli, jumlahnya harus tetap dan tidak berubah. Ketidakkonsistenan ini adalah tanda jelas bahwa pameran ini lebih didorong oleh kebutuhan komersial daripada penghormatan terhadap sejarah.
Risiko Pengamanan
Artefak bersejarah sejati tidak akan dibawa keliling dunia seperti barang dagangan di bazar malam. Jika barang ini benar-benar peninggalan Rasulullah SAW, mengapa mereka mempertaruhkan integritasnya? Risiko kerusakan, pencurian, atau bahkan pemalsuan terlalu besar.
Selain itu, klaim bahwa artefak telah diasuransikan tidak relevan. Asuransi hanya melindungi nilai finansial barang, bukan membuktikan keasliannya. Ini hanya taktik pemasaran untuk menutupi fakta bahwa bukti autentikasi barang-barang ini tidak ada.
Komersialisasi Berbalut Agama
Semua ini menunjukkan satu hal: pameran ini adalah bisnis, bukan penghormatan. Dengan tiket masuk yang dijual kepada masyarakat, panitia jelas mencari keuntungan. Mereka tidak peduli apakah barang-barang ini asli atau tidak. Yang penting adalah menarik perhatian sebanyak mungkin orang dan mengeruk uang dari mereka yang percaya tanpa bertanya.
Menggunakan nama Rasulullah SAW untuk kepentingan finansial seperti ini adalah tindakan yang memalukan. Alih-alih mengajarkan umat untuk menjalankan ajaran beliau, mereka justru mengalihkan perhatian kepada benda-benda mati yang belum tentu asli.
Kesimpulan
Pameran artefak Rasulullah ini bukan tentang sejarah, bukan tentang agama. Ini tentang komersialisasi agama yang mengeksploitasi kepercayaan umat. Klaim besar mereka—keaslian, sertifikasi, uji laboratorium—semua runtuh di hadapan pertanyaan sederhana: Mana buktinya?
Umat Islam harus lebih kritis. Jangan mudah terpesona oleh narasi emosional yang tidak didukung fakta. Menghormati Rasulullah SAW tidak memerlukan pemujaan terhadap benda-benda yang keasliannya diragukan. Fokuslah pada ajaran beliau, yang jauh lebih berharga daripada tiket masuk ke pameran yang menjual ilusi.