Budaya Sungkan itu Penyakit Pembunuh Kebenaran

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 5 Mnt
Budaya Sungkan itu Penyakit Pembunuh Kebenaran (Ilustrasi)
Budaya Sungkan itu Penyakit Pembunuh Kebenaran (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Di Indonesia, ada sebuah penyakit sosial yang lebih berbahaya dari korupsi, lebih mematikan dari narkoba, dan lebih menular dari hoaks.

Namanya budaya sungkan. Ini adalah sebuah kultus dimana menjaga perasaan orang lain dianggap lebih penting daripada menjaga kebenaran, sebuah sistem nilai dimana “tidak enakan” menjadi hukum tertinggi yang mengalahkan logika, keadilan, dan bahkan agama sekalipun.

Kita hidup dalam masyarakat yang aneh. Seorang kyai bisa dengan leluasa menyebarkan kebohongan di mimbar Jumat, dan ratusan jamaah yang tahu itu salah hanya akan mengangguk-angguk. “Ah, nanti dianggap kurang ajar kalau membantah,” bisik mereka dalam hati.

“Beliau kan sudah sepuh, masak kita mau menyalahkan?” Lalu hoaks itu menyebar, meracuni pikiran umat, tapi tak ada yang berani menghentikannya. Sungkan telah menang, kebenaran kalah. Ini bukan lagi tentang kesopanan, tapi tentang kemunafikan kolektif yang kita rawat dengan penuh kesadaran.

Lihatlah bagaimana kita memperlakukan kesalahan di lingkungan terdekat. Tetangga mencuri listrik? “Kasihan, dia kan kurang mampu,” kata kita sambil memalingkan muka. Saudara korupsi di kantor? “Jangan dilaporin, nanti malu keluarga,” bisik kita sambil tutup mata.

Teman menyebar fitnah? “Diam saja, nanti dianggap provokator,” kita berkelit dalam hati. Kita telah menjadi bangsa penjaga keburukan, pelindung kejahatan, hanya karena tidak ingin dianggap tidak sopan.

Di dunia pesantren dan pendidikan agama, penyakit ini mencapai stadium terminal. Seorang ustadz ketahuan menipu jamaah? “Tabayun dulu,” kata mereka, meski bukti sudah segunung.

Seorang kyai melakukan pelecehan? “Jangan diumbar, nanti merusak nama Islam,” protes mereka. Kritik terhadap kesalahan tokoh agama langsung dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ukhuwah.

Lucunya, ketika tokoh agama berbeda ormas saling menghujat, tiba-tiba ukhuwah tidak lagi penting. Ternyata ukhuwah hanya berlaku ketika kita harus diam melihat kesalahan, bukan ketika harus bersatu melawan kebatilan.

- Advertisement -

Dalam birokrasi, budaya sungkan telah menjadi pelumas korupsi. Seorang pegawai tahu atasannya menilep uang negara? “Nggak enak soalnya dia baik ke saya,” gumamnya sambil menandatangani laporan palsu.

Seorang pejabat tahu rekannya korupsi? “Biar saja, nanti juga ketahuan sendiri,” dia berfilsafat sambil menikmati bagiannya. Kita telah membangun sistem dimana kejahatan bisa berkembang biak dengan subur, dibuai oleh kesantunan palsu dan ketakutan untuk bersikap jujur.

Yang lebih parah, kita telah mengkorupsi istilah-istilah agama untuk membenarkan kemunafikan ini. “Husnuzhan” yang seharusnya berarti berprasangka baik, kita artikan sebagai “berpura-pura tidak melihat kesalahan”.

- Advertisement -

“Tabayun” yang mestinya berarti klarifikasi, kita jadikan tameng untuk menunda-nunda tindakan sampai masyarakat lupa. “Tasamuh” yang seharusnya bermakna toleransi, kita pakai sebagai pembenaran untuk membiarkan kemungkaran. Kita telah mengkhianati agama kita sendiri demi memelihara budaya bisu yang merusak ini.

Lihatlah hasilnya!

Koruptor bebas berkeliaran, penipu berjubah agama leluasa beraksi, hoaks menyebar tanpa hambatan. Semua karena kita terlalu sibuk menjaga perasaan pelakunya daripada menjaga kepentingan masyarakat.

Kita lebih takut disebut “kurang ajar” daripada membiarkan kejahatan terus terjadi. Kita lebih mementingkan “tidak enakan” sesaat daripada keadilan yang abadi.

Ironisnya, kita masih bisa tidur nyenyak di malam hari. Kita masih bisa bangun pagi dan merasa diri orang baik. Kita masih bisa menganggap diri religius sementara membiarkan kemungkaran merajalela.

Inilah puncak kesuksesan budaya sungkan: menciptakan masyarakat yang secara kolektif membohongi diri sendiri, yang menganggap diam di atas kesalahan sebagai sebuah kebajikan.

Mungkin inilah saatnya kita bertanya: sampai kapan kita akan terus membiarkan kesopanan palsu ini membunuh kebenaran? Sampai kapan kita akan mengorbankan keadilan demi “tidak enakan”? Sampai kapan kita akan menjadi penonton pasif bagi kehancuran negeri sendiri?

Jawabannya ada pada kita semua. Tapi saya bisa menebak: kita mungkin akan terlalu sungkan untuk menjawab.

Share This Article