Pelestarian budaya di Indonesia sering dianggap sebagai kewajiban moral dan identitas nasional. Namun, di balik narasi indah tentang menjaga warisan leluhur, terdapat masalah mendasar yang jarang diakui: pelestarian budaya lebih sering menjadi belenggu daripada katalisator kemajuan.
Obsesi terhadap masa lalu membuat kita terpaku pada kepercayaan mistik dan ritual kosong yang tidak relevan dengan realitas saat ini. Ironisnya, alih-alih menjadi pelaku sejarah yang menciptakan budaya baru, masyarakat justru membekukan diri dalam siklus nostalgia yang tidak produktif.
Budaya adalah Produk Sejarah, Bukan Relik Mistik
Budaya adalah hasil dari perjalanan sejarah manusia. Setiap elemen budaya—mulai dari bahasa, pakaian, makanan, hingga adat istiadat—lahir dari kebutuhan, kondisi sosial, dan konteks zamannya.
Dalam arti ini, budaya bukanlah sesuatu yang sakral atau tidak dapat diubah. Sebaliknya, budaya adalah cerminan dinamika masyarakat yang terus berkembang. Namun, di Indonesia, budaya sering kali diperlakukan seolah-olah ia adalah sesuatu yang suci dan harus dilestarikan apa pun yang terjadi.
Pendekatan ini berbahaya karena mengabaikan fakta bahwa budaya tidak pernah statis. Tradisi yang kita warisi dari leluhur dulunya adalah inovasi yang lahir dari tantangan zaman mereka. Misalnya, rumah adat tradisional dirancang sesuai dengan kondisi geografis dan teknologi pada masanya, bukan sebagai objek estetika yang harus dilestarikan selamanya. Jika leluhur kita berpikir seperti kita saat ini—terjebak pada pelestarian tanpa inovasi—maka mereka tidak akan pernah menciptakan budaya yang kini kita anggap bernilai.
Lebih parahnya, budaya sering kali diikat dengan kepercayaan mistik yang tidak lagi relevan. Penggunaan ritual tertentu, sesajen, atau mitos leluhur sering kali menjadi bagian dari pelestarian budaya, tanpa upaya untuk memahami konteks historisnya. Ketika masyarakat lebih sibuk menginternalisasi kepercayaan mistik daripada mempelajari sejarah budaya itu sendiri, mereka kehilangan peluang untuk menciptakan interpretasi baru yang relevan dan progresif.
Pelestarian yang Hanya Bersifat Seremonial
Pelestarian budaya di Indonesia mayoritas berbentuk seremonial. Perayaan tradisi, festival budaya, atau pagelaran seni sering kali dilakukan dengan tujuan simbolis semata, tanpa menggali esensi dari tradisi itu sendiri. Pemerintah daerah dan komunitas budaya biasanya menjadikan acara ini sebagai ajang “jualan” untuk menarik wisatawan atau menunjukkan identitas lokal. Namun, di balik semua kemeriahan itu, substansi budaya sering kali terabaikan.
Misalnya, upacara adat seperti sedekah laut atau ruwatan sering dijalankan tanpa penjelasan tentang asal-usul atau maknanya. Masyarakat yang mengikuti acara ini sering kali hanya bertindak sebagai penonton pasif, tanpa memahami konteks sejarah atau nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan modern. Dengan demikian, tradisi yang seharusnya menjadi sarana edukasi justru berubah menjadi tontonan kosong.
Pelestarian yang seremonial juga menciptakan ilusi bahwa kita menghormati budaya, padahal kenyataannya kita hanya memfungsikannya sebagai alat dekorasi sosial. Hal ini tidak membawa manfaat nyata bagi perkembangan masyarakat. Bahkan, upaya seperti ini hanya membuang sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk menciptakan budaya baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman.
Generasi Baru: Pencipta, Bukan Penjaga Relik
Sebagai pelaku sejarah, tugas utama kita bukan hanya menjaga warisan masa lalu, melainkan juga menciptakan warisan baru untuk masa depan. Generasi sekarang seharusnya menjadi inovator budaya, bukan hanya penjaga museum hidup yang sibuk mempertahankan tradisi lama. Namun, ketika pelestarian budaya dijadikan agenda utama tanpa memberikan ruang untuk inovasi, kita menciptakan masyarakat yang stagnan.
Ketergantungan pada pelestarian budaya masa lalu menunjukkan kegagalan kita dalam menciptakan sesuatu yang lebih baik. Ini juga mencerminkan ketidakpercayaan diri bahwa budaya yang kita ciptakan hari ini mampu menjadi warisan yang layak dikenang. Padahal, budaya yang relevan adalah budaya yang mampu beradaptasi dan mencerminkan kebutuhan serta nilai-nilai zaman.
Lihat saja budaya pop atau teknologi modern. Keduanya adalah hasil dari inovasi kontemporer yang mampu menggantikan banyak tradisi lama karena lebih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Jika kita terus-menerus terpaku pada pelestarian budaya lama, kita hanya akan menjadi generasi yang gagal meninggalkan jejak budaya untuk masa depan.
Budaya Sebagai Kenangan, Bukan Keterikatan
Budaya lama seharusnya diposisikan sebagai kenangan, bukan sesuatu yang harus dihidupkan secara artifisial. Memuseumkan budaya adalah cara terbaik untuk menghormati warisan leluhur tanpa menjadikannya beban bagi generasi sekarang. Museum tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan artefak, tetapi juga sebagai ruang edukasi yang memungkinkan masyarakat mempelajari sejarah budaya tanpa harus terikat padanya.
Dengan memuseumkan budaya, kita memberi masyarakat kebebasan untuk mengenang tanpa kehilangan kemampuan untuk berinovasi. Ini adalah langkah yang jauh lebih produktif daripada melestarikan budaya dalam bentuk ritual kosong yang kehilangan relevansi. Memuseumkan budaya juga memungkinkan kita untuk memprioritaskan penciptaan budaya baru yang mencerminkan semangat zaman dan kebutuhan masyarakat.
Kesimpulan
Pelestarian budaya di Indonesia telah menjadi ironi besar. Alih-alih memajukan masyarakat, pelestarian ini sering kali membelenggu inovasi dan kreativitas. Budaya adalah produk sejarah yang seharusnya berkembang, bukan relik mistik yang harus dipuja secara buta. Jika kita ingin maju, kita harus berani melepaskan diri dari obsesi terhadap masa lalu dan mulai menciptakan budaya baru yang relevan, progresif, dan visioner.
Generasi sekarang harus memahami bahwa tugas mereka bukan sekadar menjadi penjaga tradisi lama, melainkan pencipta tradisi baru yang bisa menjadi warisan bagi masa depan. Pelestarian budaya yang tidak relevan hanya akan menciptakan generasi yang gagal berkembang. Sebaliknya, inovasi budaya adalah kunci untuk membangun peradaban yang lebih baik. Masa depan adalah milik mereka yang berani menciptakan, bukan mereka yang sibuk melestarikan fosil budaya.