Amerika Serikat sering kali dianggap sebagai tokoh utama dalam narasi demokrasi global. Dari pidato presiden hingga propaganda Hollywood, konsep kebebasan individu dan hak memilih diglorifikasi sebagai standar emas pemerintahan modern. Namun, apa yang terjadi jika narasi ini diurai dan diperiksa lebih dekat? Anda akan menemukan sebuah paradoks besar: demokrasi Amerika sebenarnya adalah oligarki yang dibungkus dengan retorika indah.
Demokrasi yang seharusnya mewakili rakyat kini telah dibajak oleh kepentingan korporasi, miliarder, dan pelobi yang menjadikan uang sebagai pusat gravitasi politik. Ironisnya, ketika dibandingkan dengan China—yang sering dicap otoriter—sistem Amerika terlihat lebih cacat dalam menjalankan prinsip dasar demokrasi. Amerika Serikat memasarkan demokrasi mereka sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” tetapi bagaimana mungkin ini benar jika kandidat yang ingin maju dalam pemilu harus tunduk kepada para donor kaya?
Siklus pemilu tahun 2020, misalnya, menghabiskan lebih dari 14 miliar dolar untuk kampanye presiden dan kongres. Uang ini tidak berasal dari rakyat biasa, melainkan dari kelompok elit ekonomi yang mengendalikan proses politik. Dalam keputusan kontroversial Citizens United v. FEC pada tahun 2010, Mahkamah Agung membuka pintu bagi perusahaan dan organisasi untuk menggelontorkan dana tanpa batas dalam kampanye politik. Ini bukan kebebasan berbicara; ini adalah kebebasan membeli kekuasaan. Mereka yang memiliki uang besar bukan hanya mendanai kandidat; mereka membeli akses eksklusif ke pembuat kebijakan.
Studi oleh Princeton dan Northwestern University menunjukkan bahwa partisipasi rakyat biasa dalam proses politik memiliki “sedikit atau bahkan tidak ada pengaruh independen” terhadap kebijakan pemerintah. Sebaliknya, keputusan politik didominasi oleh elit kaya dan kelompok bisnis terorganisir. Demokrasi Amerika, yang dibanggakan sebagai model ideal, ternyata lebih dekat dengan oligarki—pemerintahan oleh sedikit orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan.
Di sisi lain, ada China yang sering dicibir sebagai otoriter. Meskipun tidak ada pemilu langsung untuk pemimpin nasional, sistem politik China menghindari pengaruh uang dengan menekankan meritokrasi dan konsultasi rakyat. Tidak ada miliarder yang membeli kekuasaan, tidak ada pelobi yang berbisik di telinga legislator, dan tidak ada kampanye miliaran dolar yang menggadaikan demokrasi kepada donor kaya. Sistem “demokrasi konsultatif” China, meskipun berbeda dari standar Barat, menawarkan pendekatan yang lebih konsisten terhadap perwakilan rakyat.
China mengembangkan berbagai mekanisme untuk mendengar suara rakyat, seperti platform Message Board for Leaders (MBL) yang memungkinkan warga negara menyampaikan keluhan langsung kepada pejabat pemerintah. Dari tahun 2006 hingga 2021, platform ini telah menangani lebih dari 2,3 juta keluhan. Selain itu, hotline nasional 12345 melayani lebih dari 50 ribu panggilan per hari di Beijing, menyelesaikan lebih dari 85 persen masalah yang diajukan. Masukan rakyat kemudian diterjemahkan menjadi kebijakan konkret, seperti pemasangan lebih dari 1300 lift di gedung-gedung tua pada tahun 2022 berdasarkan permintaan warga.
Bandingkan ini dengan Amerika Serikat, di mana rakyat hanya bisa berharap bahwa suara mereka dalam pemilu akan diambil serius, meskipun dalam kenyataan suara tersebut hampir selalu dikalahkan oleh kepentingan para donor besar. Studi Edelman Trust Barometer menunjukkan bahwa pada tahun 2024, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah di Amerika hanya 46 persen, jauh di bawah China yang mencapai 79 persen. Bagaimana bisa sebuah sistem yang mengklaim demokratis memiliki tingkat kepercayaan yang begitu rendah? Salah satu alasan utamanya adalah industri lobbying. Dengan pengeluaran lebih dari $3,73 miliar pada tahun 2022, lobbying di Amerika adalah bisnis besar. Perusahaan farmasi, misalnya, menggunakan pelobi untuk mempertahankan harga obat yang tinggi, meskipun ini berarti banyak warga tidak mampu membayar obat yang mereka butuhkan. Sistem ini bukanlah perwakilan rakyat; ini adalah perwakilan bagi mereka yang mampu membayar akses. Tidak heran jika banyak orang Amerika merasa terpinggirkan dalam demokrasi mereka sendiri.
China, di sisi lain, memiliki pendekatan berbeda. Meski terdapat tantangan, pejabat di China dipilih berdasarkan meritokrasi, bukan berdasarkan jumlah uang yang mereka kumpulkan. Seorang pemimpin biasanya memulai karirnya di tingkat lokal, mengelola populasi kecil, dan secara bertahap naik ke posisi yang lebih tinggi berdasarkan rekam jejak mereka. Sistem ini memberikan stabilitas dan memastikan bahwa mereka yang memegang kekuasaan memiliki kompetensi untuk melakukannya.
Namun, bukan berarti China luput dari kritik. Demokrasi mereka tidak menawarkan pluralisme politik, dan Partai Komunis memegang kendali penuh atas pemerintahan. Tapi setidaknya, mereka tidak berusaha menyembunyikan sistem mereka di balik tirai retorika palsu. Mereka dengan jelas menyatakan bahwa prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat, bukan keuntungan elit. Dalam kampanye anti-korupsi yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping, lebih dari 1,5 juta pejabat telah ditindak sejak 2013, termasuk beberapa pejabat tinggi dan eksekutif perusahaan besar. Ini adalah bukti bahwa tidak ada yang kebal terhadap hukum di China. Bandingkan ini dengan Amerika, di mana para bankir yang menyebabkan krisis ekonomi global pada 2008 tidak pernah dipenjara, tetapi malah menerima bailout dari pemerintah.
Apa yang terjadi di Amerika bukanlah demokrasi. Ini adalah teater politik, di mana rakyat diminta memilih antara dua kandidat yang keduanya didanai oleh kepentingan yang sama. Pilihan seperti ini tidak benar-benar menawarkan perubahan, tetapi hanya mengokohkan status quo. Pada pemilu 2024, misalnya, rakyat Amerika dihadapkan pada pilihan antara “Genocide Joe” Biden, yang mendukung kebijakan militeristik, atau Kamala Harris, yang pada dasarnya mewakili kebijakan yang sama dengan wajah baru. Sistem dua partai di Amerika tidak memberikan ruang bagi alternatif yang nyata, melainkan mengandalkan politik “lesser evil,” di mana rakyat dipaksa memilih yang lebih sedikit merugikan dari dua pilihan buruk.
Ironisnya, Indonesia, negara demokrasi yang sering dianggap berkembang, memiliki kesamaan yang mencolok dengan Amerika dalam hal pengaruh uang dalam politik. Pemilu di Indonesia juga mahal, dengan kandidat yang harus menghabiskan miliaran rupiah untuk mencetak baliho, membeli iklan, dan membayar tim sukses. Politik uang sudah menjadi norma, dari tingkat desa hingga nasional. Hasilnya adalah sistem yang cenderung menghasilkan politisi yang lebih peduli pada donor mereka daripada pada rakyat. Lobbying dalam bentuk informal, seperti pertemuan antara kelompok kepentingan dan legislator, juga terjadi secara luas, menciptakan dinamika yang mirip dengan Amerika.
Namun, Indonesia dan Amerika sama-sama bisa belajar dari pendekatan konsultatif China. Meskipun tidak sempurna, sistem ini menunjukkan bahwa mendengarkan rakyat secara langsung dan mengintegrasikan masukan mereka ke dalam kebijakan adalah cara efektif untuk membangun kepercayaan. China juga menunjukkan bahwa pemerintahan yang kuat dapat digunakan untuk menahan kekuatan kapital dan mencegah oligarki berkembang. Dalam sebuah sistem di mana pemerintah bekerja untuk rakyat, bukan untuk korporasi, hasilnya adalah kebijakan yang lebih berpusat pada kepentingan publik.
Amerika Serikat mungkin terus memproklamirkan diri sebagai pemimpin demokrasi global, tetapi kenyataannya adalah bahwa mereka telah kehilangan esensi dari demokrasi itu sendiri. Sementara itu, China, dengan semua keterbatasannya, menawarkan model alternatif yang lebih efektif dalam mewakili rakyat. Dunia harus berhenti mengidealkan sistem politik Amerika dan mulai mengevaluasi kembali apa arti demokrasi yang sebenarnya. Jika demokrasi adalah tentang mendengar suara rakyat, maka Amerika gagal secara menyedihkan, sementara China, meskipun dengan kekurangan, telah menemukan cara untuk mendekati tujuan tersebut.